Rhea memasuki ruang makan melihat ibunya sedang menyiapkan makanan. "Selamat pagi, Bu."
"Pagi, Re. Tumben berangkat pagi-pagi sekali."
Rhea menarik salah satu kursi ruang makan untuk ia duduki. "Iya, Bu. Nanti harus menemani Pak Rio meeting diluar."
"Kerjaanmu lancar, Re?"
"Alhamdulillah lancar, Bu."
"Sepertinya jika ibu dengar dari ceritamu, bosmu itu sering membawamu keluar. Kalian pergi berdua atau ada temanmu yang lain juga ikut?"
"Ya tergantung dengan kerjaannya gimana, Bu. Kalau misal aku diminta dampingi Pak Rio ... ya kita hanya berdua. Tapi jika pekerjaan memang harus dilakukan bareng tim ... ya kita perginya rame-rame."
Bu Arni mengisi piring Rhea dengan makanan. "Kalau bisa kamu ini jangan pulang malam-malam. Katakan pada bosmu, kalau lembur harus ingat waktu. Kamu ini anak perempuan. Bahaya jika di jalanan malam-malam."
"Tapi kerjaannya memang lagi padat, Bu. Jika aku tidak lembur maka makin menumpuk."
Arni menghela napas panjang. Wanita tua itu selalu saja mengkhawatirkan semua yang Rhea lakukan. "Semalam kamu pulang jam berapa? Ibu sampai sudah ketiduran."
"Eum ... sepuluh lebih dikit."
"Tuh, kan. Pulang malam sekali, eh pagi-pagi sudah harus berangkat lagi. Jaga kesehatan, Re. Ingat. Kamu ini masih muda. Belum menikah juga. Jangan sampai tenaga kamu fotsir sekarang dan nanti pas mulai menua sudah tidak kebagian energi sehatnya."
"Iya, Bu. Aku janji bakalan jaga kesehatan. Rajin olahraga dan makan teratur."
Tak lama berselang, Deni pun ikut bergabung bersama mereka. Makan pagi bersama anak dan istrinya sebelum beliau berangkat kerja. Tadi beliau sempat mendengar obrolan keduanya.
"Rhea. Jangan terlalu dekat dengan bosmu itu. Katamu beliau sudah menikah. Takutnya timbul fitnah. Ayah nggak ingin kamu terlibat masalah dengan rekan kerjamu. Takutnya mereka mengira kamu ini penjilat hingga bisa mendapatkan posisi tinggi di perusahaan."
"Aku paham itu, Yah. Tapi aku cuek saja jika ada yang menganggap demikian. Yang penting aku tidak melakukannya. Posisi Manager Marketing aku dapat dengan susah payah sampai harus lembur dan pulang malam."
"Ayah percaya sama kamu. Kamu memang pekerja keras. Wajar jika kamu mendapatkan posisi yang sekarang sebab dedikasi pada perusahaan juga cukup tinggi. Namun kembali lagi. Kodrat seorang perempuan bukan untuk terus menerus mengejar karir."
Rhea yang sudah paham ke mana arah pembicaraan sang ayah memilih diam tak menanggapi. Lagi-lagi soal dia yang belum menikah akan jadi masalah bagi kedua orangtuanya. Rhea memakluminya. Pasalnya sang kakak lelaki yang bernama Dimas, di usia dua puluh tujuh sudah berani menikah. Bahkan sekarang usia Dimas sudah tiga puluh tahun sudah memiliki dua orang anak.
Daripada direcoki soalan menikah, Rhea gegas menyelesaikan sesi sarapannya agar dia bisa segera kabur meninggalkan ruang makan.
"Aku sudah selesai," ucapnya sembari mengelap mulut dengan tisu. Meraih tas kerja yang tadi ia letakkan di kursi sebelahnya. "Yah, Bu. Aku berangkat dulu," pamitnya kemudian beranjak berdiri menyalami Ayah dan ibunya sebelum pergi.
"Hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa mobilnya."
"Iya, Bu."
Berjalan cepat keluar rumah. Baru juga akan membuka pintu mobil, netranya justru bersitatap dengan tetangga depan rumahnya. Siapa lagi jika bukan Haris Saputra.
Lelaki itu sepertinya juga akan berangkat kerja melihat dari penampilannya yang sudah rapi dengan tubuh tegab berbalut jaket. Haris melemparkan senyuman, akan tetapi hanya ditanggapi sekilas oleh Rhea. Gadis itu membuka pintu mobil memasukkan tas laptop dan tas kerjanya. Barulah dia pun ikut masuk dan duduk di balik kemudi. Mengabaikan Haris yang masih memperhatikannya. Rhea sama sekali tak peduli. Karena ia tak tertarik sedikit pun dengan sosok Haris Saputra. Pria itu bahkan sudah dua tahun tinggal mengontrak di depan rumahnya. Namun, karena sibuknya Rhea dan hampir jarang berada di rumah, jadilah Rhea dan Haris tidak akrab.
Haris tampak kecewa ketika melihat mobil Rhea keluar dari halaman rumah dan berlalu dari hadapannya begitu saja. Pria itu menghela napas. Setidak peduli itukah seorang Rhea dengan orang-orang di sekelilingnya. Entahlah. Haris sendiri tak paham. Padahal Deni Purnama yang tak lain adalah ayah dari Rhea, merupakan sosok yang ramah pada siapa pun juga. Pun juga dengan keluarga Rhea yang lainnya seperti Bu Arini dan juga Dimas. Sayangnya Dimas memang tak lagi tinggal di kompleks perumahan ini sehingga Haris sudah jarang sekali bertemu dengan lelaki yang seusia dengannya.
Daripada dia terus sibuk berpikir mengenai Rhea, ada baiknya segera berangkat kerja. Hari ini dia shift pagi. Bekerja sebagai seorang petugas keamanan yang tidak boleh datang terlambat. Ia pun menunggangi motor besar yang terparkir dengan gagah di depan rumahnya. Begitu dinyalakan, suara raungannya sungguh memekakkan telinga. Haris melajukan kendaraannya meninggalkan rumah. Kontrakan yang lumayan luas untuk ia tinggali seorang diri. Bukan tanpa sebab sebenarnya dia bisa tinggal di rumah ini. Rumah milik saudara sepupunya yang pindah ke Luar Negeri.
Iya, Haris memiliki saudara sepupu dari keluarga kaya. Anak dari Pakde keluarga bapaknya. Namun, meski pun demikian Haris sudah terbiasa menjalani kehidupan sederhana dengan kedua orangtuanya di desa. Oleh sebab itulah ketika saat ini hidup di kota besar, sama sekali tidak masalah bagi Haris menjalani profesi sebagai seorang satpam.
Haris berhenti sebentar di pos jaga yang terdapat di depan kompleks perumahan. Mengulurkan sebuah kantong yang berisikan makanan.
"Pak, kopi dan sarapan," ucapnya pada salah seorang satpam yang sedang berjaga.
"Terima kasih, Mas Haris."
"Saya berangkat dulu."
"Hati-hati di jalan."
Hampir setiap pagi Haris selalu menyempatkan diri singgah di pos penjagaan hanya sekedar membagikan makanan serta kopi panas. Sudah menjadi kebiasaan Haris yang memasak sendiri santapan paginya. Hanya makanan sederhana tapi mampu mengenyangkan perutnya. Kadang pula ia akan membeli makanan di warung dan kadangkala ada para tetangga yang baik hati memberikan ia makanan. Sebagai seorang bujang yang tinggal sendirian, memang Haris kerapkali mendapatkan perhatian yang berlebih dari tetangga kanan kiri rumahnya. Selain wajah Haris yang tampan, pria itu juga lelaki baik yang tak segan menolong orang lain yang membutuhkan.
Laju kendaraan motor besar milik Haris yang membelah jalanan, perlahan mulai dikurangi lajunya sebab adanya traffict loght yang menyala merah warnanya. Pria itu berhenti tepat di sebelah sebuah mobil yang sudah cukup ia hapal di luar kepala.
Menolehkan kepalanya, membuka kaca helm-nya sembari menyunggingkan senyuman pada seorang wanita yang duduk di balik kemudi sebuah mobil.
Ya, Rhea lah wanita itu. Mata gadis itu melotot garang hanya karena senyuman Haris. Sungguh Rhea tak menyukai pria itu yang suka tebar pesona padanya.