"Pak Rio ini bercandanya kelewatan. Saya kan jadi mikir, kenapa kenal Pak Rio baru sekarang saat Bapak sudah beristri. Padahal kan saya juga ingin punya nasib baik semacam cerita di n****+ yang sering saya baca. Berjodoh dengan CEO ganteng dan kaya raya agar saya nggak perlu bekerja," ucap Rhea yang justru membuat Rio diam. Dalam hati Rio membenarkan apa yang Rhea katakan. Kenapa baru beberapa tahun belakangan dia kenal Rhea. Kenapa tidak sejak dulu saja saat dirinya belum menikah dengan Grace.
Menyadari reaksi Rio yang diam dengan lamunan, membuat Rhea menutup mulutnya. Merasa takut karena dia salah bicara. Padahal kata-kata yang dia lontarkan tadi asal-asalan menanggapi candaan yang diberikan atasannya itu.
"Eum, maaf Pak.Saya hanya bercanda. Lagian saya sendiri juga lebih baik punya suami yang setara saja. Takut jika menikah dengan orang kaya.Tapi ya kalau bisa jangan lelaki yang biasa saja, miskin apalagi sampai nggak punya uang. siapa juga wanita yang mau diajak hidup sengsara."
Ah, lagi-lagi bayangan wajah Haris yang terlintas di kepala Rhea. Tubuhnya bergidik tanpa disadari karena Rhea sungguh tidak mau jika punya suami yang kerjaannya hanya seorang satpam. Setidaknya yang keren sedikit. Seperti staf kantoran, pegawai bank atau pegawai di kantor pemerintahan.
Rio tersenyum getir mengingat Rhea sama sekali tidak peka akan perasaannya. "Kamu ini punya kriteria calon suami kok ya susah sekali. Nggak kasihan sama Tuhan yang bingung nyeleksi."
Tawa Rhea pecah. Sungguh Pak Rio ini selalu bisa membuat lebih hidup suasana. Meskipun seorang CEO akan tetapi pria itu sama sekali tidak terkesan arogan. Di mata Rhea, Rio adalah atasan yang sangat baik. Di mana lagi dia bisa menemukan CEO rasa sahabat jika tidak di Sadewa Property. oleh sebab itulah Rhea betah-betah saja bekerja di perusahaan yang dipimpin oleh pria itu.
Ada tiga tahun Rhea bekerja di Sadewa Property. Tiga tahun itu pula jenjang karir Rhea melesat dengan cepat. Padahal sebelumnya, sedari Rhea lulus kuliah, dia ada dua atau tiga kali sempat berpindah-pindah perusahaan karena tidak sesuai dengan hatinya.
"Makanya itu Pak saya masih dibiarkan sendiri karena Tuhan sedang sibuk menyiapkan jodoh terbaik untuk saya. Ah, sudahlah. Kenapa sejak tadi kita malah membahas tentang jodoh saya. Padahal tadi saya sedang mempelajari lagi tentang proposal yang sudah saya siapkan agar meeting kita nanti berjalan lancar."
Rio hanya tersenyum menanggapi ocehan Rhea. Dia pun tak lagi membahas soalan jodoh sebab Rio kembali sibuk mengagumi sosok Rhea yang tampak serius saat bekerja. Menekuri ipad dengan mulut komat kamit sedang mempelajari sesuatu yang diyakini Rio jika pertemuan dengan perusahaan Adijaya kali ini akan sukses menggondol proyek besar seperti sebelum-sebelumnya.
•••
"Loh, Pak. Kita tidak meeting di kantornya Adijaya?" tanya Rhea yang terheran sebab perjanjian di awal tadi, mereka rencananya akan mengadakan pertemuan di kantor Adijaya Properti, bukan di sebuah hotel seperti yang baru saja Rio infokan padanya.
Sebenarnya lokasi perusahaan dengan hotel berada di satu wilayah yang sama. Karena hotel yang saat ini akan mereka datangi pun sama-sama milik Adijaya Properti.
"Iya. Tiba-tiba saja Pak Irawan mendadak kasih kabarnya.Untung saja kita masih di jalan. Menurut beliau nanti kita akan meeting rame-rame."
"Jadi nanti akan ada dari beberapa perusahaan yang meeting di sana atau gimana?"
"Begitulah."
Rhea bernapas lega. "Untung saja barusan saya pelajari lagi proposalnya. Jika tidak ... bisa malu-maluin performa saya di hadapan orang banyak andai saya tidak menguasai bahan meeting."
"Kamu ini selalu merendah. Padahal tanpa kamu pelajari lagi pun, semua sudah tersusun rapi di kepala."
"Ish, Pak Rio kalau muji saya kebangetan. Ya meski apa yang bapak katakan memang benar."
Rio tertawa. "Rhea ... Rhea. Kadang saya heran. Kamu ini begitu lucu dan asyik diajak ngobrol. Selalu nyambung dengan diselingi guyonan membuat perut saya sampai sakit kadang. Tapi kenapa yang saya dengar, para karyawan itu takutnya kebangetan sama kamu. Mereka kayak segan gitu dekat-dekat sama kamu. Padahal jika saya lihat, nggak ada loh yang menakutkan dari diri seorang Rhea. Yang ada justru menggemaskan. Kok bisa-bisanya mereka ngatain kamu yang judes lah, sok cantik lah padahal kenyataannya memang beneran cantik. Ah, entahlah. Kadang saya sampai bingung sendiri. Apa karena kamu kurang bergaul dengan mereka sampai akhirnya mereka sesuka hati menilai kamu seperti itu?"
"Saya sih masa bodoh Pak dengan omongan orang. Tujuan saya kan bekerja. Saya ingin mendedikasikan diri saya pada perusahaan. Jadi yang saya pikirkan dan lakukan ya hanya tentang pekerjaan. Saya pun jadi malas gaul sama mereka. Bukan karena saya sombong tapi lebih pada menjaga kewarasan. Bukan saya nggak tahu ya, Pak, jika di belakang saya mereka sering membicarakan saya. Terutama dengan jabatan manager yang bisa saya raih dalam waktu singkat. Pastilah mereka bertanya tanya. Kok bisa? Lah, saya sendiri juga harus jawab apa? Yang menentukan saya bisa naik jabatan dengan cepat kan perusahaan. Apa iya saya tolak? enggak dong! Ya sudah. sekarang lebih baik saya fokus saja sama pekerjaan dan tujuan hidup saya. asalkan saya tidak mengganggu hidup mereka ya terserah lah mereka mau ngomongin apa tentang saya."
"Entahlah, Re. Kenapa saya makin salut sama kamu."
"Duh, Pak. Kepala saya langsung berat ini kebesaran karena pujian Bapak."
Baik Rhea dan Rio saling tertawa lepas hingga mobil memasuki gerbang sebuah hotel bintang lima. Petugas valet langsung mengambil alih mobil ketika Rio dan Rhea keluar dari dalamnya. keduanya berjalan bersisihan menuju pintu masuk lobi.
Dua orang petugas keamanan langsung menyapa dan menyambut kedatangan mereka berdua.
Bagaimana bola mata Rhea hampir keluar dari tempatnya begitu mata indahnya bersiborok dengan mata elang milik Haris.
Ya, siapa sangka jika keduanya bertemu kembali di tempat ini.
Bahkan Rhea tak tahu jika Haris bekerja di hotel ini. Selama ini Rhea memang tak pernah ambil peduli dengan sosok Haris yang menjadi tetangganya cukup lama.
Rhea berpura-pura seolah tidak mengenal Haris.
"Ayo, Re!" panggil Rio.
Rhea tersentak karena rupanya sejak beberapa saat lalu dia hanya diam saling melempar tatapan dengan Haris.
Rhea memutus pandangan dan beralih pada Rio. "Iya, Pak."
"Kita langsung masuk saja. sudah ditunggu oleh mereka."
Rhea berjalan mengekori Rio menuju lift.
Sementara Haris, pria itu menoleh ke belakang memperhatikan punggung Rhea yang menjauh dan hilang dari pandangan mata.
'Kenapa dia ada di sini?' tanya yang bercokol dalam benak Haris. Berharap keberadaan Rhea di hotel ini bukan untuk berbuat yang iya iya mengingat wanita itu datang dengan seorang pria.