Chapter 3

1120 Kata
Dentuman keras yang memekakkan telinga adalah hal pertama yang menariknya paksa dari tidur beberapa saatnya. Belum sempat otaknya memproses segala hal, ia sudah dihadapkan dengan sebuah pedang tajam yang hampir saja menebas lehernya jika ia tidak segera menggulingkan badannya ke posisi lain. Lagi dan lagi, belum sempat otaknya mampu berpikir, namun tubuhnya bergerak lebih dahulu dengan leluasa untuk menangkis pedang tadi dengan pedang yang ada di tangannya, tanpa sadar bahwa sejak kapan dirinya memegang benda dengan bilah tajam itu. Ketika sebelah tangannya menangkis menggunakan pedang, sebelah tangannya lagi menahan tangan lawannya, memelintir kemudian mematahkannya dengan mudah seakan ia tidak mengeluarkan terlalu banyak usaha untuk hal tersebut. Harapan yang terbuat ketika ia pikir semuanya akan selesai ketika lawannya tersebut tumbang harus hancur begitu saja ketika menyadari bahwa ia dikelilingi oleh sekumpulan orang dengan pelindung baju besi yang berbeda dengannya, dan mencoba memusnahkannya bersama sama. Ia dengan refleks memundurkan leher dan kepalanya ketika sudut matanya melihat ada sebuah pisau yang cukup panjang melayang kearahnya. Merasa ada sesuatu yang mengganjal di lengannya, ia kemudian menyadari bahwa ia pun menyimpan sebilah pisau yang sama dengan pisau tadi, melemparkannya kearah lutut musuhnya kemudian berbalik untuk memastikan musuh musuhnya yang lain mengalami kejadian naas yang serupa. Tunggu dulu. Apa ini?? Kenapa ia merasa sangat tidak familiar dengan situasi ini, namun tubuhnya berkata lain. Ia tidak pernah tahu bahwa ia bisa melakukan bela diri sebaik ini bahkan menggunakan senjata untuk melumpuhkan musuhnya. Ketika ia berbalik, tanpa sudi menunggu sepersekian detik, gadis itu langsung membunuh dua orang sekaligus hanya dengan satu sabetan horizontal dibagian d**a dan perut lawanya. Tapi ini pertarung seorang gadis dengan tubuh terluka dan delapan pria sekaligus. Harapan jika gadis itu akan memenangkan pertarungan dengan mudah tanpa sedikitpun kekalahan adalah hal yang cukup sulit. Karena kini, ia merasakan nafasnya sedikit tercekat ketika dingin dari pedang yang mengenai kulit tipis lehernya. Gadis itu menggunakan tubuh bagian bawah dan tangannya untuk sedikit bergerak mundur dari posisi terduduknya, memancing gelagak tawa kasar dari empat orang sisa yang kondisinya masih baik baik saja dihadapannya. “Makanya sudah kubilang, anak manis” ujar salah seorang pria dengan wajah menyebalkan dan bibir yang meludahkan saliva. “Seorang wanita sepertimu, seharusnya diam saja dan sibukkan diri untuk melayani lelaki. Jika kau memaksakan diri seperti ini, aku jadi ingin mengoleksi lengan dengan namamu itu” ucapnya yang jijiknya memancing tawa dari ketiga orang lainnya. Gadis itu pikir, ia akan semakin merasa sesak karena tercekat dan mungkin mengigil ketakutan. Tapi tidak. Sama sekali tidak. Yang ada, matanya memancarkan aura kebencian bahkan sanggup untuk mati saat ini juga jika itu harga yang harus dibayar untuk membawa ketiganya ikut ke neraka bersamanya. “Percaya dirimu tinggi sekali, b******n” dengan senyum meremehkan, gadis itu mengeluarkan sebuah bulatan yang terbuat dari besi dan melemparkannya kearah mereka. Sebuah benda yang sedari tadi ia nyalakan menggunakan pematik ketika tubuhnya berpura pura mundur karena ketakutan. Faktanya, ia menyembunyikan tangannya di samping panggul dan sedikit menutupinya dengan pakaiannya, kemudian membuat rencana baru untuk menghabisi ketiganya tanpa membuang banyak tenaga. Bukan, itu bukan bom. Gadis itu terlampau cerdas jika harus menggunakan bom bunuh diri untuk membunuh tiga buah sampah menjijikan yang bahkan sepertinya keberadaannya tak terlalu dibutuhkan oleh atasan mereka. Itu adalah sebuah tabung bak petasan yang mengeluarkan racun mematikan, yang jika kulit mereka hanya terkena setitik, maka racun itu dengan cepat akan langusng menembus pori pori dan memecahkan pembuluh darah mereka. Gadis itu mungkin sudah memiliki rencana ini sebelumnya, melihat seluruh bagian tubuhnya benar benar terlapisi pakaian dan kain. Bahkan bagian yang terlihat dari tubuhnya hanyalah mata dan sebagian kecil dari batang hidung. Melihat keempat sampah tadi sudah mulai berteriak histeris kesakitan dan mata, telinga juga hidungnya sudah mengeluarkan darah, gadis itu dengan sigap bangun dan pergi dari sana. Matanya melirik kearah pakaian yang ia gunakan. Sebuah pakaian dengan corak khusus dan warna yang berbeda dengan yang lainnya. Sebuah pakaian yang mungkin akan digunakan oleh rekan rekannya juga, mengingat bahwa kemungkinan kini dirinya tengah ada ditengah tengah bentrok dua atau lebih kubu sekaligus. “KOMANDAN!!!” Komandan?? Siapa?? Dirinya?? Gadis itu menengok ke belakang, namun tak menemukan siapa siapa karena kini ia sudah tidak ada ditengah tengah kerumunan, melainkan berlari kearah hutan untuk berpikir lebih dahulu mengenai hal janggal yang sedari tadi ia lakukan. Ia menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya untuk menemukan bahwa sosok yang memanggilnya adalah sosok yang menggunakan baju dengan corak dan warna yang sama dengan dirinya. Sosok yang kemungkinan adalah sekutunya. Maka dari itu, ia semakin mempercepat lari yang sejujurnya sudah terseok itu untuk mendekati si empunya suara. “Komandan!” suaranya terdengar khawatir. Pria yang memanggilnya tadi dengan sigap langsung membopongnya dan membawanya kebelakang pohon besar yang dilingkupi oleh semak semak belukar yang sangat tebal. “Aku kira kau tewas karena bom tadi, syukurlah” ujar pria tadi sembari tangannya dengan lihai merobek celana si gadis- yang tentu saja memancing decak kaget dan tamparan refleks di lengannya oleh si gadis. “Aku tahu aku tak sopan, tapi bisa kah kau diam?? Aku akan mengobati lukamu dahulu” celotehnya dengan nada sebal. “Komandan, aku tahu kau adalah orang yang ambisius, tapi jika sudah terluka parah seperti ini, biarkan aku bekerja. Jika kau tewas, kami akan kehilangan kepala” bisiknya dengan berisik sembari menaruh tanaman yang sudah digilas ke kakinya. Gadis itu mengerang tertahan. Inginnya berteriak kencang, namun menyadari bahwa mungkin saja musuh akan menemukan tempat persembunyian mereka ini. Matanya berkeliling, mencoba mencari dimana keberadaan sekutu lainnya, namun ia tak menemukannya selain beberapa orang yang ada di garis depan berhadapan langsung sebagai pendekar pendang. “yang... lain?” tanyanya dengan lirih. “Ketika kau terkena bom, sebagian dari kami langsung mundur dan menyadari mungkin saat ini kita akan kalah karena kau tewas. Sebagian lagi langsung maju ke garda depan untuk melindungi dan membawa mayatmu. Namun syukurlah kau bangkit kembali” ujarnya. “Selain yang ada disana, mereka semua ada di tempat persembunyian masing masing. Mengisi amunisi untuk melakukan serangan dari jarak jauh” Baik. Jadi, sejauh ini, gadis itu menyadari beberapa hal. Fakta bahwa ia baru saja terkena ledakan bom adalah alasan mengapa tubuhnya penuh luka bakar, bahkan beberapa diantaranya sudah membolongi daging dagingnya. Pun, fakta bahwa dia adalah kepala dari pertarungan kali ini cukup membuatnya berdesis pusing karena apakah benar gadis ini memimpin sebuah perang dahsyat yang bisa menewaskan ratusan orang sekaligus seperti saat ini. Pandangannya beralih ke pedang yang sedari tadi masih digenggamnya. Sebuah pedang dengan ukiran sesuatu. Ukiran huruf yang mungkin saja adalah sebuah nama yang indah. Ketika sudut matanya tak sengaja melirik tattoo yang ada di lengan kanannya. Objek yang tadi dibicarakan salah seorang dari keempat sampah tadi untuk dijadikan koleksi. Lengan yang berisikan tattoo dengan namanya. Semi. Namanya adalah Semi. Gadis itu bernama Semi. Dan dia sedang menyembunyikan fakta bahwa dirinya tengah mengalami amnesia. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN