Malam itu, sekitar jam satu malam terjadi keributan di kamar sebelah, membuat Kinanti yang baru bisa memejamkan mata karena memikirkan tentang kejadian yang dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri beberapa waktu lalu, kini membuatnya kesulitan tidur.
”Aku harus tahu apakah kecelakaanku emang di sengaja?” Gumam Kinanti sembari memasang telinganya.
”Jangan meributkan masalah Kinanti, Nissa! Kita sudah sampai di titik ini, tolong jangan memperkeruh kedaan!!” Teriak suara dari kamar yang memang tidak tertutup rapat.
”Sayang. Kinanti itu memimpikan kita? Apa mungkin mimpi itu kebetulan, atau jangan-jangan dia memang melihat kita, makanya dia bisa berkata padaku begitu? Kita harus waspada maksudku. Bukan mau memperkeruh keadaan.” Wanita yang bertugas sebagai pengasuh itu menekan kalimatnya.
”Trus apa namanya? Kamu mempermasalahkan mimpi wanita cacat! Sudah jelas dia tidak bisa berjalan, bagaimana mungkin dia melihat kita?”
”Ayo kita buktikan malam ini.” Amar menarik tangan wanita cantik di sampingnya sembari membawa kayu.
”Mau apa kamu, Amar? Bagaimana kalau kita dilaporkan polisi, karena kasus penganiayaan?” Tanya Nissa dengan suara ketakutan.
”Aku mau memastikan kakinya apakah masih sama atau memang dia berpura-pura selama ini? Tapi, aku sangat mengenal wanita itu. Dia polos dan bodoh. Tidak mungkin dia menipuku. Dia wanita yang paling jujur padaku.” Tegas Amar lalu mendekat kearah kamar tidur mereka dengan berjingkat. Lalu dia mendekati ranjang.
”Amar, kamu mau apain? Bagaimana kalau dia terbangun?”
“Justru itu. Dia tidak akan terbangun kalau memang dia masih lumpuh…” tegas Amar. Dengan cepat dia menekan kaki Kinanti sekuat tenaga.
”Amar! Kamu bisa buat dia bangun…”
”Lihatlah! Dia bahkan tidak bereaksi sama sekali. Jadi sudahi kebodohanmu. Kita lanjutkan rencana kita berikutnya, agar kita bisa segera mengeksekusi dia di villa.” Tegas Amar lagi menatap sang kekasih dengan wajah lekat.
”Maksudmu mengadopsi anak?” Bisik Nissa perlahan, tapi jelas saja Kinanti mendengar semua percakapan kedua insan itu. Dia menggertakkan giginya menahan rasa sakit di kakinya dan kemarahan yang merasuki.
‘Aku tidak boleh gegabah. Jika aku ketahuan sekarang, aku tidak memiliki kesempatan untuk kabur dan menjebloskan mereka ke penjara. Aku harus mencari strategi agar bisa terhubung dengan pengacaraku.’
Gumamnya sembari menahan nafasnya agar tidak terlihat mencurigakan, dia menghembuskan nafas perlahan.
”Besok aku akan membawa Vanya ke rumah ini. Dan Kinanti pasti setuju semua keputusanku.”
“Akhirnya kamu membawa Vanya kesini…” Nisa tersenyum senang.
“Makanya bersabar kataku. Selagi kamu ikut apa kataku maka semua akan berjalan. Aku tidak mungkin melupakan anak itu. Hanya saja aku juga harus penuh perhitungan. Kamu saja yang selama ini menuduhku yang bukan-bukan…”
”Benarkan? Kalau begitu, setelah Kinanti merayakan penyambutan Vanya. Kita bisa mengeksekusinya dengan segera?” Nissa menatap ke arah pria yang sangat dia cintai. “Apakah tidak terlalu mencurigakan dengan apa yang kita lakukan?” Imbuhnya masih ragu. “Aku tidak mau berakhir di penjara, Sayang. Aku mau menikmati kebersamaan kita hingga tua…” rengek Nissa dengan manja.
“Orang tidak akan curiga karena konteks nya kita sedang merayakan kehadiran anak angkat ke puncak. Jadi semua aman…”
“Benarkah?” Nisa menatap lekat
”Sayang, selagi aku yang berkata, semua pasti baik-baik saja. Sudah sejak lama aku membahas ini dengan team yang aku percaya. Semua akan aku lakukan demi cinta kita…” pria itu mengecup pipi sang kekasih gelap.
”Kamu janji? Aku kawatir, semua tidak sesuai rencana…”
“Kamu lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas, aku mau kamu tidak perlu ragu dengan langkahku. Bertahun-tahun lamanya rencana ini kita buat. Sudah pasti matang.” Amar menggandeng Nissa untuk meninggalkan kamar.
Sepeninggal sang suami, Kinanti meraih bantal untuk menutup wajahnya agar tangisnya tak terdengar. Hatinya benar-benar hancur setelah mengetahui penghianatan sang suami dan rencana pembunuhan yang dilakukan orang yang sangat dia cintai.
”Bagaimana mungkin orang yang sangat aku percaya ternyata dia memiliki rencana untuk melenyapkanku?” Kinanti menarik nafasnya perlahan, dia tidak ingin terus menangis karena kawatir akan menyisakan sembab di matanya. “Apakah anak yang mereka maksud untuk membuat seolah Amar tidak serakah dan memberikan semua asetku pada anak itu setelah aku tiada, begitu?” Imbuhnya lagi dengan tangan menyeka air matanya. “Kuatlah wahai hati. Kita buktikan bahwa yang salah yang akan kalah. Dan Kinanti…ayolahh…jangan menangis lagi. Berhenti menangisi pria b***t seperti Amar, yang mendekatiku hanya demi mendapatkan sesuatu…” Kinanti memukul-mukul dadanya yang terasa sesak dan membuatnya kesulitan bernafas.
Keesokan harinya, Kinanti menikmati suasana pagi di balkon. Hingga sang suami datang menyapnya.
”Sayang…maaf aku tadi tidak ada di samping kamu, saat kamu bangun. Kamu gak ketakutan bukan? Aku gak di samping kamu?” Tanya Amar mendekat kearah sang istri sembari menggandeng seorang anak prempuan di tangannya. Mata Kinanti nanar melihat bocah yang berpakaian rapi melangkah ke arahnya.
“Heii…natap apa kamu, Sayang? Kok sampai bengong gitu?” Tanya Amar dengan penuh percaya diri, matanya melirik pada wanita yang berdiri di samping sang istri.
Semua yang dilakukan sang suami tak lepas dari sorot mata Kinanti. Tangannya bergetar melihat seorang anak kecil melepas genggaman tangannya pada sang suami dan berlari ke arah sang pengasuh dengan riang.
”Mamaaaa!!” Panggilnya memeluk wanita yang menjadi pengasuh dirinya, membuat matanya menatap nanar kearah sang pengasuh.
”Mama?” Kinanti mengulang panggilan bocah kecil itu tanpa sadar dengan dahi berkerut. Seketika Nissa menelan ludahnya melihat reaksi sang majikan setelah mendengar panggilan itu. Dengan mata menyala dia menatap ke arah anak kecil yang meraih tangannya.