Mandi di tengah malam, yang tak pernah menjadi kebiasaannya, kini Tuan Hawthorne lakukan untuk menjernihkan pikiran. Dia memejamkan mata sambil menyugar rambut basahnya ke belakang. Saat menggapai botol sampo, kejanggalan segera menyerang pikirannya. Botol yang seharusnya berat terasa jauh lebih ringan, padahal belum lama ini dia menggantinya dengan yang baru.
Tak ingin terjebak dalam perkara sepele, kejanggalan yang sempat menyelinap dalam pikirannya pun ditepis. Tuan Hawthorne bergegas melanjutkan mandinya.
Setelah keluar dari kamar mandi, rasa penasaran muncul dalam diri Tuan Hawthorne. Dia ingin tahu apa yang dilakukan oleh Jasmine saat dirinya tak mengawasi.
Untuk kali ini, saat Tuan Hawthorne mendekati area peristirahatan, perkiraannya tak terwujud. Jasmine tertidur pulas. Dia cukup lama memandangi Jasmine di tempat berdirinya, ingin memastikan bahwa wanita itu tak sedang berpura-pura.
Rasa penasaran yang menguasai masih belum terpuaskan, dan untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam, dia memutuskan untuk mempersingkat jarak mereka dengan duduk di tepi ranjang.
Tangan lembapnya menggenggam kaki Jasmine, sementara tatapannya terfokus pada ekspresi wanita itu. "Dahimu mengerut dalam sekali," ucapnya.
Kerutan di dahi Jasmine perlahan memudar dalam keadaan mata masih terpejam. Tuan Hawthorne tersenyum penuh arti, menyaksikan kepura-puraan Jasmine.
Dengan gerakan lembut, dia mengusap-usap tangannya di sepanjang kaki Jasmine, perlahan naik hingga mencapai lutut.
Sebelum Tuan Hawthorne dapat menyentuh paha, Jasmine bangkit dengan cepat, mendorong tubuhnya hingga terdesak ke kepala ranjang. Dia seperti mangsa yang tengah terancam oleh hewan buas.
"Aku berencana untuk tak menagih pembuktianmu terhadap perkataanmu sebelumnya, tapi saat melihatmu pura-pura tidur membuatku berubah pikiran," ucap Tuan Hawthorne dengan nada serius.
Jasmine tahu betul apa yang sedang dibicarakan oleh Tuan Hawthorne. Pembuktian bahwa dia bersedia menjadi seorang gundik adalah kisah yang masih belum terselesaikan di antara mereka.
"Aku terbangun karena kau menyentuhku!" ucap Jasmine dengan nada tegas.
Sementara itu, Jasmine juga teringat akan kejadian di dapur. Tuan Hawthorne langsung menuju kamar setelah mendorongnya. Kali ini wajah pria itu tak begitu merah seperti sebelumnya.
"Kenapa memandangiku seperti itu?"
Jasmine tersadar dari lamunan, lalu dengan ragu dia mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Suasana berubah menjadi canggung, dan tak ada tanda-tanda bahwa Tuan Hawthorne akan mengajaknya bicara.
Bola mata Jasmine bergerak perlahan, mengintip Tuan Hawthorne, hanya untuk menemukan pemandangan bahwa pria itu juga tengah memandanginya. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangan kembali.
"Kau tak berniat menjawab pertanyaanku, huh?"
"Mengenai pembuktian akan kata-kataku, bukankah sebaiknya kita melakukannya—"
"Malam ini," sela Tuan Hawthorne, seolah-olah tahu apa yang sedang Jasmine pikirkan.
Jasmine berniat mengatakan bahwa mereka bisa menunda percintaan hingga besok, tapi kini merasa gelisah oleh jawaban lugas Tuan Hawthorne.
Gerakan Tuan Hawthorne menyisir udara, menarik perhatian Jasmine yang segera menoleh. Pria itu meraih tubuhnya, memperpendek jarak di antara mereka.
Kedekatan itu membawa Jasmine tanpa sengaja menyentuh d**a Tuan Hawthorne yang terselimuti jubah mandi. Jari kelingkingnya melintasi batas jubah, membuatnya merasakan kencangnya d**a pria itu.
Tuan Hawthorne menyentuh lembut dagu Jasmine, mengangkatnya untuk menyatukan pandangan mata mereka. Kedekatan itu berlanjut dengan sebuah ciuman perlahan yang berlangsung singkat, dan saat mata mereka bersatu kembali, suasana di antara mereka menjadi semakin intens.
Tatapan Tuan Hawthorne turun ke bibir Jasmine yang dagunya masih tersentuh oleh jarinya, menyatukan kembali bibir mereka dengan gerakan cepat dan mendalam.
Jasmine merasakan desakan dari Tuan Hawthorne yang menembus dinding pertahanannya. Desakan demi desakan di dalam rongga mulutnya membuat dia berpegang erat pada bahu Tuan Hawthorne. Meskipun tubuhnya dipenuhi gairah, tapi air mata mengalir dari sudut matanya.
Mata Jasmine terpejam, mengikuti Tuan Hawthorne yang sudah lebih dulu menikmati saat-saat melahap mangsanya.
Bagi Jasmine, ketakutan merayap dalam dirinya. Bayangan kegelapan seolah-olah ikut melahapnya saat tangan Tuan Hawthorne menjelajahi setiap lekukan di tubuhnya.
Jasmine harus menahan diri, berkorban demi sebuah pembuktian.
Namun, tangisan tak selalu bisa disembunyikan. Tuan Hawthorne bisa merasakan kulit yang basah saat hendak menangkup wajah Jasmine.
Perlahan, Tuan Hawthorne menjauh, menemukan air mata yang sudah membasahi pipi Jasmine. Lebih dari itu, tubuh Jasmine gemetar, memperlihatkan ketakutan yang semakin jelas.
Dengan tangan lebarnya, dia memegang kedua tangan Jasmine yang berada di d**a, seolah-olah dalam posisi melindungi diri.
Senyum mengejek muncul di wajah Tuan Hawthorne saat dia mengingat sesuatu. "Kau berkata tak lagi menjadi wanita yang bernilai, tapi sikapmu saat ini justru menunjukkan sebaliknya."
Setelah berpikir sejenak, Tuan Hawthorne bersuara lagi, "Baiklah, kita akan menundanya sampai besok."
Mata Jasmine yang masih basah langsung terbuka sepenuhnya. "Tidak! Kau bisa melanjutkannya. A—aku, aku baik-baik saja."
"Tubuhmu gemetar, lalu kau berkata baik-baik saja?"
Tuan Hawthorne menghela napas panjang. "Aku bisa memaksakan keadaan, tapi percintaan seperti itu tak memberi kepuasan, hanya membuang waktu."
Jasmine mengusap pipinya, lalu berkata, "Sekarang atau nanti, keadaannya akan tetap sama."
Tuan Hawthorne menjelajahi tubuh Jasmine dengan pandangannya, menegaskan lagi bahwa wanita itu tengah merasa takut.
"Pertama kali melakukannya memang terasa sedikit tak nyaman," ucap Tuan Hawthorne sambil memijat lehernya, terlihat kebingungan bagaimana menjelaskan.
Tuan Hawthorne meraih tangan Jasmine dan mengepalkannya erat. Dia memasukkan telunjuknya ke sela yang berlubang.
"Kau bisa merasakannya? Sangat sulit membuatnya masuk karena peluangnya begitu sempit. Itulah yang akan terjadi pada dirimu saat pertama kali melakukannya," jelas Tuan Hawthorne dengan serius, sambil sesekali melirik Jasmine untuk memastikan kalau wanita itu mendengarnya.
Tuan Hawthorne melanjutkan, "Jika kau sering melakukannya, peluang yang sempit akan merenggang, sensasi sakit itu pun akan menghilang." Dia melepaskan genggamannya pada tangan Jasmine.
Jasmine melepaskan tawa yang telah ditahannya sejak tadi, meskipun seharusnya tak bersikap demikian di hadapan musuhnya. Menyaksikan Tuan Hawthorne serius berbagi ilmu dengannya sambil wajahnya memerah dan terkesan polos, membuat perutnya terasa geli.
Tuan Hawthorne menunjukkan ekspresi tak senang. "Aku berusaha membantumu memahami situasi, tapi kau malah tertawa?"
"Maaf, Tuan Hawthorne. Sulit bagiku membayangkan seseorang yang terlihat ngeri sekarang bisa bersikap polos seperti anak kecil."
Tuan Hawthorne tak menyangkal, perilakunya memang agak aneh setelah tiba di penthouse. Mungkin karena selama ini dia hanya menikmati minuman keras sendirian, sehingga tak terbiasa dengan kehadiran orang lain di sekitarnya.
"Kau mengerti sekarang?" tanya Tuan Hawthorne tanpa mengubah ekspresi tak senangnya.
Dilemparkan pertanyaan itu membuat Jasmine merenung dalam waktu lama. Dia adalah wanita berusia 24 tahun yang telah menemui kepahitan hidup, ditambah dia telah cukup usia untuk mengetahui hal-hal yang bersifat intim.
"Ini bukan pertama kali bagiku, Tuan Hawthorne," ucap Jasmine dengan ekspresi sendu, seolah-olah menunjukkan penyesalan yang mendalam dari setiap kata-katanya.