Perbincangan malam itu berakhir tanpa jawaban, meninggalkan rasa penasaran terhadap kisah hidup Jasmine. Meskipun wanita itu mengeklaim sudah melakukan percintaan sebelumnya, tapi sikap tubuhnya menyiratkan sesuatu yang bertentangan.
Dr. Lawson melirik kursi di sampingnya, menyaksikan Tuan Hawthorne tenggelam dalam lamunan panjang. Sudah dua jam berlalu tanpa satu pun kata di antara keduanya.
"Pasien-pasienku merasa tak nyaman dengan kehadiranmu, sebaiknya kau pergi sekarang jika tak ada urusan denganku," desak Dr. Lawson dengan tegas.
Tuan Hawthorne menghela napas, tangannya beralih memijat dahi. "Kau tahu, Nona Everhart—"
"A-ha! Jadi, penyebabmu terlihat frustrasi adalah kucing kecil itu," sindir Dr. Lawson.
Dahi Tuan Hawthorne berkerut. "Kucing kecil?"
Dr. Lawson mengangguk mantap. "Ya, matanya memandangku seperti seekor kucing kecil yang butuh bantuan. Sungguh menggemaskan. Tidakkah kau juga merasakan hal yang sama?"
Tuan Hawthorne ikut membayangkan sosok Jasmine, lalu berkata, "Daripada kucing kecil, dia lebih seperti rubah licik. Berulang kali, dia berhasil membuatku menyingkirkan karakterku hanya dengan usahanya yang tak seberapa. Seharusnya dia bersujud dan memohon sampai kehabisan napas."
"Itu berarti bukan karena dia yang licik, melainkan karena kau masih menyimpan rasa kasihan pada mangsamu." Tidak lama setelah berucap, Dr. Lawson tiba-tiba terkejut. "Atau ... mungkin saja kau sudah jatuh hati padanya?"
"Itu tak mungkin, aku dan Nona Everhart adalah musuh," sahut Tuan Hawthorne tegas.
Dr. Lawson memutar kursinya, menyorot pandangannya pada Tuan Hawthorne, lalu berkata dengan serius, "Sebagian besar orang yang kutemui akan mengatakan hal itu, sebelum akhirnya mereka menelan kata-katanya sendiri."
Alis Tuan Hawthorne bergerak tipis, merasa terperangkap dalam sudut pandang Dr. Lawson. Enggan terjebak dalam percakapan yang tak berguna, dia menyahut, "Kau memotong pembicaraanku, membawa kita pada bahasan yang tak relevan. Nona Everhart bicara aneh padaku tadi malam, mengeklaim sudah dijamah sebelum kami bertemu, tapi sikapnya berkata sebaliknya."
"Mungkin dia berbohong untuk memengaruhi pandanganmu terhadapnya."
"Awalnya aku beranggapan demikian, tapi saat menyentuhnya secara langsung, rasanya seperti ada lebih banyak yang terjadi." Tuan Hawthorne menatap Dr. Lawson, menuntut jawaban setelah dua jam penantian.
Dr. Lawson merenung sambil mengusap dagunya. "Dari ceritamu, memang terdengar seperti Nona Everhart sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi tanpa pertemuan langsung, sulit bagiku untuk memberikan analisis lebih lanjut. Mungkin dengan pertemuan tatap muka bisa menjadi langkah untuk menemukan jawabannya."
"Aku tak akan memaafkanmu jika ini adalah trik untuk melepaskannya dariku. Jangan kira aku tak tahu apa yang kau lakukan di penthouse waktu itu, kau memberinya kartu namamu untuk bisa menghubungimu kapan saja."
Dr. Lawson tersenyum. "Kau sudah mengetahuinya. Niatku memang membantunya lepas darimu, meski aku tahu itu sulit dilakukan."
"Tapi kau masih mencobanya."
"Harapan sekecil apa pun tetap harus dicoba, bukan?"
Tuan Hawthorne mengeluarkan sekotak rokok dari saku, tapi sebelum sempat menyulutnya, Dr. Lawson menyela, "Kau tak boleh merokok di rumah sakit."
Tidak bisa membantah, Tuan Hawthorne menyimpan rokoknya sambil bertanya, "Lalu, pendapatmu tentang Nona Everhart?"
"Aku tetap harus menemuinya, Kins. Ini hanya asumsiku, mungkin dia punya kenangan buruk di masa lalu. Kita perlu menyembuhkannya sebelum benar-benar mengganggu aktivitasnya, terutama aktivitas percintaan kalian."
Tuan Hawthorne tak menanggapi lelucon Dr. Lawson, memilih tenggelam dalam pikirannya tentang masa lalu Jasmine yang belum pernah dia telusuri.
"Aku akan memberi tahu kapan jadwalku kosong untuk bertemu Nona Everhart," ucap Dr. Lawson, lalu sibuk kembali pada data pasiennya.
***
Jasmine memikirkan bagaimana staf kebersihan bisa masuk ke apartemen Tuan Hawthorne, terutama karena akses masuk menggunakan pengenalan wajah.
"Kami sudah membersihkan pecahan kaca di dapur seperti yang Tuan Hawthorne minta. Jangan ragu untuk memberi tahu kami jika ada hal lain yang perlu diperhatikan," ucap petugas manajemen apartemen.
"Bolehkah saya bertanya?" ucap Jasmine dengan hati-hati.
"Ya, Nona Everhart?"
"Bagaimana kalian bisa masuk kemari? Saya pikir Tuan Hawthorne menggunakan sensor wajah, dan dia tak di sini saat ini."
Petugas manajemen apartemen membaca kebingungan itu. Tak ingin ada kesalahpahaman, dia pun menjelaskan, "Kami mendapatkan akses melalui kunci cadangan elektronik yang disediakan oleh manajemen, sebagai langkah yang diambil saat penghuni tak ada di tempat saat layanan diperlukan."
Jasmine mengangguk sambil menatap intens kunci cadangan elektronik yang ditunjukkan padanya. "Ah, begitu rupanya. Saya khawatir tak bisa membersihkan pecahan kaca itu tanpa Tuan Hawthorne di sini."
"Kami selalu berusaha menjaga keamanan dan privasi penghuni. Kalau tak ada yang ingin ditanyakan lagi, maka kami akan pamit. Semoga hari Anda menyenangkan," ucap petugas manajemen apartemen dengan sopan, lalu pergi bersama staf kebersihan.
Jasmine mengulurkan tangan, ingin menghentikan langkah mereka, tapi dia menyadari satu hal; meminta pinjaman kunci cadangan elektronik hanya akan menimbulkan kecurigaan. Jika tindakannya sampai ke Tuan Hawthorne, maka rencananya untuk kabur akan hancur.
"Ah, kepalaku berputar," keluh Jasmine, lalu dengan dramatis menghempaskan diri di sofa.
Seharian Jasmine memikirkan cara untuk kabur, tapi semakin dia mencari, semakin sulit menemukan jalan keluar. Bahkan Mrs. Ramsey, yang pernah menjadi harapan tak bisa dilibatkan demi keselamatannya.
Tiba-tiba, Jasmine teringat kartu nama Dr. Lawson. Dia lupa menyembunyikannya di mana, lalu bergegas menuju kamar untuk mencarinya.
Tak menemukannya di kamar, Jasmine melangkah menuju ruang cuci, tempat di mana akhirnya dia menemukan kartu nama Dr. Lawson yang terselip di saku d**a kemeja.
"Untunglah aku menemukannya," ucap Jasmine, membuka lipatan pada kartu tersebut. Dia mencoba menghafalnya untuk berjaga-jaga.
Keluar dari ruang cuci, Jasmine melintasi ruang tengah, dan di sanalah dia tak sengaja melihat telepon apartemen. Sebuah ide muncul—dia bisa menggunakannya untuk menghubungi Dr. Lawson dan menyusun strategi untuk kabur. Selama dia tak menelepon di depan Tuan Hawthorne, rencananya tetap aman.
Bertepatan dengan saat ini, Tuan Hawthorne tak ada di apartemen. Jasmine bergegas mendekati telepon dan menghubungi Dr. Lawson sesuai nomor yang tertera pada kartu nama. Dalam keheningan, dia menunggu sambungan sambil harap-harap cemas.
Tidak lama kemudian, sebuah suara terdengar, "Halo?"
"Dr. Lawson ...." Jasmine berkata dengan ekspresi seolah-olah tak percaya bahwa dia benar-benar terhubung dengan pria yang diyakini bisa membantunya.
"Oh, kau ...?" Suara Dr. Lawson terdengar ragu di seberang sambungan.
"Ya, Dr. Lawson. Ini aku, Jasmine Everhart. Aku menghubungimu menggunakan telepon apartemen. Tuan Hawthorne tak ada di sini sekarang, jadi aku mengambil kesempatan ini untuk meneleponmu. Mengenai ucapanmu yang ingin membantuku keluar dari penthouse—"
"T—tunggu, jangan dilanjutkan."
Jasmine tampak bingung saat berkata, "Y—ya? Kenapa, Dr. Lawson?"
Suara helaan napas berat terdengar. "Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu. M—maksudku ...."
"Kau sedang bicara dengan Nona Everhart?"
Jasmine menelan ludah, genggamannya pada gagang telepon melemah. Dia bisa mendengar suara Tuan Hawthorne di seberang telepon, meski samar. Apakah mereka bersama saat ini?
"T—tidak!" seru Dr. Lawson.
"Tingkahmu menunjukkan semuanya. Berikan padaku ponsel itu." Suara Tuan Hawthorne semakin terdengar jelas.
"Ini bukan Nona Everhart, dia adalah ... baiklah, kau terlalu pintar, Kins!"
Jasmine mendengar kekacauan itu sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhiri panggilan telepon. Tangannya menempel di dinding, berusaha menahan tubuh lemasnya agar tak ambruk.
Jasmine dan Tuan Hawthorne sudah menjalin kesepakatan. Meskipun pembuktian urung dilaksanakan, tapi upaya Jasmine tak sia-sia. Tuan Hawthorne memercayai bahwa dia tak berniat melarikan diri, tapi sekarang ... semuanya berantakan.