Kekecewaan tergambar jelas di wajah Jasmine saat menyadari hanya sebagian kecil dari barang permintaannya yang dibawakan. Pandangannya berpindah tajam pada Tuan Hawthorne yang duduk tenang di sofa dengan mata terpejam.
Jasmine bersungut-sungut sambil melangkah menuju sisi Tuan Hawthorne. "Kau berjanji bahkan jarum sekalipun akan ditemukan oleh orangmu."
"Kau menuliskan barang-barang tak penting," sahut Tuan Hawthorne enteng.
Jasmine berkacak pinggang dengan ekspresi kesal. "Tak penting? Bahkan satu helai pakaian pun tak ada!"
Tuan Hawthorne membuka mata perlahan, menyaksikan kekesalan di wajah Jasmine. Pikirannya berlabuh pada percakapannya dengan Theodore tadi, di mana dia diberi tahu bahwa Jasmine mengalami perlakuan buruk dari teman-teman kampus.
Jasmine merahasiakan kisah yang pelik, membuatnya sulit membayangkan bagaimana wanita itu mampu bertahan.
"Meskipun kau melotot padaku, aku tak takut!" teriak Jasmine, sementara tangannya semakin tercengkeram erat di pinggang.
Tuan Hawthorne menghela napas. "Pakaianmu sedang dipilihkan saat ini. Karena terlalu banyak, membutuhkan waktu untuk mempersiapkannya. Paling lambat besok sudah tersusun di lemari."
"Aku menginginkan pakaianku, bukan menginginkan untuk dibelikan pakaian."
"Apa kau benar-benar akan pergi ke kampus?" tanya Tuan Hawthorne tanpa menghiraukan kekhawatiran Jasmine mengenai pakaian.
Meskipun merasa agak aneh dengan pertanyaan mendadak tersebut, Jasmine tetap memberikan jawaban. "Bukankah kau akan membiarkanku keluar dari penthouse?"
"Itu benar, tapi apa tak ada keinginan selain pergi ke kampus?"
"Aku hanya butuh ke kampus," ucap Jasmine dengan wajah penuh penantian.
Tuan Hawthorne mengeraskan geraham, menyaksikan tekad Jasmine yang membuat perasaannya campur aduk. Dia mengepalkan tangan dengan kuat, seolah-olah kemarahan ikut membara.
Alasan di balik tekad Jasmine tak perlu dipertanyakan, mengingat upaya keras Thomas untuk mendukung pendidikan putrinya. Hubungan ayah dan anak yang saling berjuang itu menimbulkan rasa kesal dalam dirinya.
Tuan Hawthorne bangkit, langkahnya mendekati Jasmine. "Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Sekretarisku akan menangani alasan ketidakhadiranmu pada pihak kampus agar kau bisa berkegiatan seperti biasa," ucapnya, lalu pergi meninggalkan Jasmine.
Jasmine tampak heran dengan sikap Tuan Hawthorne yang tak seperti biasanya. Dari ekspresi pria itu, dia merasakan ketidaksetujuan, tapi mengapa tak marah padanya?
"Ah, sudahlah. Mungkin dia sedang ada masalah."
Jasmine kembali fokus pada urusan barang-barangnya, mencari benda yang begitu dinantikan. Namun, kekecewaan langsung menghiasi wajah saat benda yang dicari tak kunjung ditemukan.
"Apa dia juga tak membawakan sabunku?!" tambahnya dengan nada kesal.
***
Kegelapan malam beranjak pergi, digantikan oleh sinar lembut fajar yang merayap di langit. Cahaya matahari perlahan menerangi setiap sudut dengan kehangatan. Suara pesawat di luar sana berhasil membangunkan mereka dari ketenangan panjang.
Jasmine menoleh pada Tuan Hawthorne yang bergerak duduk, memijat tengkuk, dan memutar kepalanya perlahan.
Tuan Hawthorne berdiri, lalu membuka satu per satu kancing piamanya. Cahaya pagi membentuk gambaran samar-samar, menciptakan keingintahuan dalam diri Jasmine.
Kemeja itu terlepas dari tubuh Tuan Hawthorne, menunjukkan postur tubuh yang mengagumkan. Jasmine menelan ludah, langsung memejamkan mata saat Tuan Hawthorne hendak bergerak pergi.
Antara terpesona dan malu, Jasmine kembali membuka mata dan menoleh pada punggung kekar Tuan Hawthorne yang semakin membentangkan jarak di antara mereka. Matanya menyipit, menemukan sebuah tato bertuliskan Lilyana.
"Siapa ... Lilyana?" gumamnya.
Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, bahkan setelah Jasmine dan Tuan Hawthorne menyelesaikan sarapan, meskipun dia juga sadar bahwa kehidupan pribadi pria itu bukanlah urusannya.
"Kita akan berangkat dengan mobil terpisah. Aku sudah menyewa seorang sopir untuk menjemput dan mengantarmu."
Tuan Hawthorne memandang Jasmine yang merendahkan kepala tanpa menunjukkan reaksi. Dia tak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh wanita itu.
"Kau mendengarkanku?" tanyanya, mencoba menarik perhatian Jasmine.
Jasmine mengangkat pandangannya, bingung saat menatap Tuan Hawthorne. "Kau bicara padaku?"
Tuan Hawthorne terlihat kesal. "Kenapa kau selalu membuatku bicara dua kali padamu?"
Jasmine berekspresi pahit, merasa seolah-olah dirinya sudah melanggar sebuah aturan. "Maaf, aku sedang memikirkan hal lain tadi. Bisakah kau mengulang perkataanmu?" pintanya dengan wajah memelas.
Tuan Hawthorne menyilangkan tangan di d**a, menahan diri untuk tak mengulangi ucapan yang sama, tapi akhirnya dia menyerah dan berkata, "Aku menyewa seorang sopir untuk menjemput dan mengantarmu ke kampus."
Jasmine ingin menolak, tapi kesadaran bahwa yang berada di hadapannya adalah Tuan Hawthorne membuatnya hanya bisa mengangguk pasrah.
"Nomorku tersimpan di ponselmu. Hubungi aku jika terjadi sesuatu," ucap Tuan Hawthorne.
Jasmine sudah mengetahuinya, bahkan sempat kesal saat Tuan Hawthorne menambahkan kata terhormat di akhir namanya. Namun, pria itu tak menyadari bahwa dia sudah mengubahnya dengan nama yang baru.
"Bagaimana caraku masuk ke penthouse nanti?"
"Kau bisa menungguku sampai teknisi datang untuk mengonfigurasi ulang sensor keamanan. Itu seharusnya tak memakan waktu lama."
Percakapan di meja makan mencapai akhir, mereka pun keluar dari gedung menuju lahan parkir. Di sana, dua mobil hitam sudah menanti kedatangan mereka.
Dengan sikap yang sopan, seorang pria paruh baya melangkah mendekati Jasmine. "Selamat pagi, Nona Everhart. Saya Eduardo Ramirez, ditugaskan oleh Tuan Hawthorne untuk menjemput dan mengantar Anda ke tempat tujuan."
Jasmine menoleh pada Tuan Hawthorne yang berada di sampingnya, pria itu tak bereaksi. Dia kembali menoleh pada Mr. Ramirez dan berkata, "Saya Jasmine Everhart. Terima kasih atas kesediaan Anda, Mr. Ramirez."
Mr. Ramirez membuka pintu kabin belakang, mengulurkan tangan seolah-olah mempersilakan. Jasmine sekali lagi menatap Tuan Hawthorne untuk mencari reaksi pria itu.
"Mr. Ramirez akan mengantarmu," ucap Tuan Hawthorne sebelum masuk ke mobilnya.
Jasmine menyingkirkan keraguan, naik ke mobil, dan berangkat ke kampus. Tak pernah tebersit di benaknya bahwa suatu hari nanti dia akan diantarkan oleh seorang sopir. Dia sedikit bersemangat akan hal itu, karena selama ini selalu diejek atas perekonomiannya.
Bagaimana reaksi teman-teman kampus jika tahu dirinya turun dari mobil mewah? Apa mereka mau menjalin pertemanan dengannya setelah ini?
Dari bangku kemudi, Mr. Ramirez melihat senyuman yang mengembang di wajah Jasmine. Dia ikut tersenyum, merasa puas karena orang yang dilayaninya berada dalam suasana hati yang bagus. Seiring senyuman itu, mobil melanjutkan perjalanannya menuju Manhattan University.
Kehadiran Jasmine mencuri perhatian begitu langkahnya memasuki kampus. Namun, situasinya langsung berubah dari harapan saat langkahnya dicegat oleh orang-orang yang sudah lama menjadi bagian dari kepedihan hidupnya.
"Lihatlah, si Gadis Miskin, bagaimana bisa dia turun dari mobil mewah?" ucap Sabrina Worthington dengan nada sinis dan tatapan merendahkan.
Jasmine memundurkan langkah, tangannya gemetar, dan kepalanya menunduk dalam ketakutan. Bayangan kelam yang sudah susah payah dilupakannya kembali hadir untuk membuatnya merasa sesak.
Sabrina mendekat, merenggut baju Jasmine. "Kali ini dia tidur dengan pria mana lagi?" ucapnya sambil melotot tajam, menunjukkan kebencian yang tak bisa disembunyikan.