Bab 11. Garis Takdir

1032 Kata
Jasmine meresapi suara langkah yang bergema dari luar kamar, setiap entakan menjadi detik menegangkan baginya. Bayangan perlakuan kejam mungkin menantinya saat ini. Suara pintu yang terbuka mencapai telinga Jasmine, tapi dia tetap bertahan di kamar mandi. Kegelisahan merayap lebih dalam saat ketukan pintu terdengar. "Kau di dalam?" "Y—ya!" Jasmine bergegas menyalakan keran, membuat keadaan seolah-olah dia baru saja menyelesaikan urusan di kamar mandi. Sebelum keluar, dia mengatur napas, bersikap seperti tak ada yang terjadi. Keraguan masih menyelinap saat Jasmine memegang gagang pintu, tapi tuntutan keharusan mendorongnya untuk segera keluar. Tuan Hawthorne menjadi pemandangan pertama saat pintu terbuka. "Aku sudah selesai. K—kau bisa menggunakan kamar mandinya." "Bukankah kau perlu menjelaskan sesuatu padaku?" tanya Tuan Hawthorne sebelum Jasmine melangkah pergi. Jasmine diam, hanya menunduk. Tuan Hawthorne meraih tangan Jasmine, mengambil sesuatu dari saku, dan menyerahkannya. Saat Jasmine melihatnya, dia terkejut. "Ini ... ponselku," ucapnya, sambil perlahan menatap Tuan Hawthorne. Kenapa Tuan Hawthorne memberikan ponsel Jasmine? Yang membuat wanita itu bisa leluasa untuk menghubungi Dr. Lawson atau siapa pun yang dapat memberikan bantuan dalam situasi sulitnya. "Aku membenci tindakan yang dilakukan secara diam-diam di belakangku. Dr. Lawson bukanlah sosok yang bisa diandalkan untuk meminta bantuan, mengharapkannya hanya akan menambah rasa putus asamu. Bersikaplah bijak, karena sikap keras kepalamu juga berarti melukai mereka yang ingin membantumu. Takdirmu sudah tertulis, terimalah dengan hati yang lapang." Jasmine menggenggam ponselnya dengan erat, alisnya mengernyit dalam. "Takdir apa yang kau maksud? Takdir bahwa aku akan menjadi gundikmu?" Tatapan Tuan Hawthorne semakin tajam. "Aku tahu bahwa kau takkan bisa membuktikannya padaku. Apakah aku terlalu lembut padamu sehingga kau dapat mempermainkanku dengan ucapanmu?" Jasmine didominasi kemarahan, membuatnya tersentak dari rencana awal. Niat merebut hati Tuan Hawthorne dan membebaskan ayahnya dari jerat pria mengerikan itu terlupakan oleh desakan untuk meninggalkan penthouse. "T—tidak." Jasmine menggigit bibir dalamnya. "Aku hanya ingin menyapa Dr. Lawson, karena belum menghubunginya sejak dia memberikan kartu namanya padaku." "Setelah peristiwa ini, kata-katamu terdengar seperti kebohongan. Ingatlah siapa yang menciptakan masalah ini, siapa yang membuatmu akhirnya menjadi seorang gundik." Jasmine menggeleng. "Itu bukan ayahku." "Lalu, maksudmu aku yang menciptakan masalah ini dalam hidupmu?" Tuan Hawthorne melangkah maju, mengangkat dagu Jasmine, dan dengan geram berkata, "Kau seharusnya menyadari siapa dirimu, putri dari seorang pengkhianat. Mencuri dan berlagak tak bersalah, lalu sekarang menyalahkan aku atas kerugianku karena sudah mempekerjakan orang seperti ayahmu. Pikirkanlah baik-baik." Tuan Hawthorne menarik tangannya dari dagu Jasmine, sementara wanita itu menunduk pasrah. Mereka memilih berdiam diri beberapa saat untuk menenangkan suasana. "Aku akan membiarkanmu keluar dari penthouse ini." Tuan Hawthorne akhirnya berkata. Jasmine menaikkan pandangannya dengan cepat, mendapatkan secercah harapan. Meski merasa senang, dia menahan diri untuk tak menunjukkan emosinya pada Tuan Hawthorne. "Tapi kau harus kembali kemari. Jika tidak, aku akan menghancurkan rumah kecilmu itu, agar kau tak punya tempat untuk kembali. Bukankah ini lebih baik daripada berkhianat di belakangku secara diam-diam?" Ekspresi Jasmine tampak lebih lega, tanpa sadar senyum tipis muncul di wajahnya. Tuan Hawthorne memperhatikannya tanpa berniat menghentikan senyuman itu. "Kalau begitu, aku perlu mengambil barang-barangku," ucap Jasmine, mulai tenggelam dalam penawaran tersebut. "Barang-barang apa?" tanya Tuan Hawthorne dengan nada penasaran. Jasmine memikirkan barang-barangnya dengan canggung. "Buku, pakaian, dan semacamnya. Aku perlu ke kampus untuk melanjutkan pelajaranku." "Kau bisa mencatatnya, agar orangku dapat mengambilnya." Kekecewaan melintas di wajah Jasmine. "Aku tak yakin mereka akan dapat menemukan apa yang aku butuhkan." "Mereka akan menemukannya bahkan jika itu sebuah jarum. Kau hanya perlu memberikan daftar barang-barang itu padaku," ucap Tuan Hawthorne dengan tegas. Nada suara Tuan Hawthorne selalu mengandung ancaman, membuat Jasmine memilih untuk tak membantah. Untuk kali ini, Jasmine akan menurut karena dia juga akan keluar dari penthouse cepat atau lambat. *** Tuan Hawthorne sudah mengantongi daftar barang yang diinginkan oleh Jasmine. Sambil menikmati waktu merokok di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, dia membacanya. Sudut bibir Tuan Hawthorne berkerut, membentuk seringai. "Dia menulisnya sebanyak mungkin." Tuan Hawthorne meraih pulpen yang sudah disiapkannya sejak awal, dengan niat menghapus barang yang dianggapnya tak perlu. Tiba-tiba, suara ponselnya berbunyi, memaksa Tuan Hawthorne untuk mematikan rokoknya. Dia beralih menanggapi panggilan dari sekretarisnya, sambil tetap fokus memperhatikan daftar barang Jasmine. "Ada apa, Ted?" "Tuan Hawthorne, saya sudah merangkum apa yang Anda minta siang kemarin." "Kau mendapatkannya dalam waktu cepat." "Karena Anda mengatakan bahwa ini adalah hal mendesak, jadi saya bergegas mengumpulkan informasinya." Tuan Hawthorne mengangguk. "Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah Nona Everhart, kita bisa bicarakan semuanya di sana." "Baik, Tuan Hawthorne. Saya akan segera ke sana." Setelah sambungan telepon ditutup, Tuan Hawthorne kembali memandang kertas di tangannya. "Mengapa dia bahkan ingin membawa sabun?" gumamnya, lalu dengan tegas mencoret barang tersebut dari daftar. Beberapa saat kemudian, Tuan Hawthorne tiba di area tempat tinggal Jasmine. Para pengikutnya sudah lebih dulu hadir untuk mengurus pandangan orang-orang sekitar. "Carikan barang-barang yang ada di dalam daftar ini," ucap Tuan Hawthorne sambil menyodorkan selembar kertas yang terselip di jemarinya kepada salah seorang pengikutnya. "Baik, Tuan Hawthorne," ucap seorang pengikut dengan sopan, lalu membawa beberapa rekan bersamanya untuk masuk ke rumah kecil itu. Sebuah taksi berhenti di sisi mobil mewah Tuan Hawthorne. Sosok Theodore muncul dari dalam, melangkah mantap mendekati bosnya dengan membawa dokumen penting yang tergenggam erat di tangannya. Tuan Hawthorne menyambut dokumen yang diserahkan, matanya perlahan membaca halaman demi halaman. Theodore yang sudah lebih dulu memahami isi dari dokumen, turut memberikan penjelasan mendalam. "Namanya Tristan Vanderbilt, seorang tunggal dari keturunan pemilik Vanderbilt Dynamics Corporation, perusahaan yang meraih ketenaran berkat prestasinya dan kini menjadi salah satu pemain utama dalam jagad bisnis." "Dia tumbuh dalam kemewahan." Tuan Hawthorne menyimpulkan. "Benar, Tuan Hawthorne. Orang tuanya merupakan tokoh berpengaruh dan membentuk kehidupan anak tunggal mereka dalam kekayaan berlimpah." Tuan Hawthorne menyodorkan dokumen itu kepada Theodore, lalu menyulut rokok sambil berkata, "Apa hanya itu yang berhasil kau temukan?" "Masih ada hal lain, tapi saya ragu untuk mengatakannya." "Kau bukanlah tipe orang yang ragu-ragu dalam mengungkapkan hal penting padaku." Tuan Hawthorne mengisap rokok, tatapannya menajam jauh pada rumah Jasmine yang pintunya terbuka, mengamati pengikutnya yang sibuk menemukan barang sesuai perintahnya. "Jadi, pastilah informasi terakhir yang akan kau sampaikan merupakan inti dari pencarian," ucap Tuan Hawthorne dengan tenang. Theodore mengangguk, kemudian menatap Tuan Hawthorne dengan mantap. "Pada tahun pertama perkuliahan, Nona Everhart mengalami perlakuan buruk dari teman-temannya, yang paling ekstrem dilakukan oleh Tristan Vanderbilt."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN