Suara dorongan ranjang memenuhi lorong rumah sakit yang semula hening menjadi riuh. Satu pasien tergolek lemah tak berdaya di atas ranjang beroda. Kabarnya pagi tadi dia terjatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan hebat. Sepertinya perut yang membesar juga ikut menjadi alasan ia kesulitan bergerak.
Di saat yang sama seorang lelaki terus memegang tangan wanita itu, dengan air mata yang terurai ia terus mengatakan kalimat agar istrinya bertahan. Sementara dokter dan perawat masih membelah lorong dengan cepat, meneriaki agar semua yang berada di depannya memberi jalan.
"Bertahanlah, Hana," ucap lelaki itu dengan panik, seraya terus berlari mengimbangi ranjang.
Hana memandang wajah suaminya, Takeru. Dari balik alat bantu pernapasan yang menempel di wajah, ia berusaha memberi isyarat agar Takeru mendekat.
"Ta-keru ..." ucapnya terbata.
Lelaki yang masih erat menggenggam tangannya langsung mendekatkan telinga, mengerti maksud yang istrinya inginkan.
"Iya, Hana. Aku di sini, bertahanlah sebentar," lirihnya.
"Ta-keru, a-aku punya per-mintaan."
Takeru memandang wajah Hana lembut. "Kau bisa mengatakannya nanti, aku akan menuruti semua itu. Sekarang, kau harus diam dan mendapatkan perawatan dulu, ya."
Namun wanita itu menggeleng, ia takut tak akan sempat mengatakan permintaannya jika bukan sekarang.
"Ti-dak. Dengar Ta-keru," pinta Hana, memohon. "Berjanji-lah, a-apapun yang terjadi, kau ... akan menja-ga anak ini," ucap Hana yang terdengar semakin lemah.
Sementara Takeru tak dapat berkata, ia hanya mengangguk menanggapi perkataan istrinya. Ia tahu, jika Hana tengah berada di antara hidup dan mati. Namun, kendati ia tak bisa memutuskan, ia tetap ingin memilih sebuah kehidupan untuk kedua sosok yang amat sangat ia cintai.
Perawat menghentikan dorongan ranjang di depan pintu sebuah ruangan bertuliskan Unit Gawat Darurat.
"Pak, kau harus menunggu di luar," ucap salah seorang perawat yang di detik berikutnya kembali mendorong ranjang Hana.
Takeru memandang wajah Hana dengan raut yang dibuat setegar mungkin, mengangguk meyakinkan wanita di depannya jika semua akan baik-baik saja. Meski nyatanya ada lubang lebar yang menganga di dalam sana.
"Berjanjilah, Takeru," pinta Hana sebelum ranjang yang membawa tubuhnya didorong masuk.
Takeru mengangguk yakin, seolah berkata jika ia berjanji. Perlahan genggamannya terlepas. Dengan air mata yang tak bisa lagi ditahan, ia memandang Hana yang perlahan menghilang dari matanya.
***
Di sebuah ruang keluarga, seseorang tengah memperhatikan anaknya seraya melipat setumpuk baju yang sudah kering seminggu yang lalu. Sesekali matanya mengekor pergerakan gadis yang mulai bergerak lincah, sementara kedua tangannya sibuk melipat kain dengan hati-hati.
"Ayah, tangkap." Nana -nama gadis itu- melempar bola pada pria yang tengah duduk di sofa.
"Hap!" Takeru menangkap bola yang dilempar Nana dengan tepat, kemudian melemparnya kembali pada gadis di depannya.
Nana kembali berlarian mengitari ruangan. Sesekali melempar bola pada ayahnya, tak jarang juga ia akan menendang bola ke arah pintu yang dijadikannya sebagai gawang. Di umur ya ketiga tahun, wajar jika Nana tengah berada di masa yang sangat aktif. Tenaga yang ia miliki seolah tidak memilih batas. Sayangnya, terkadang semangatnya yang terisi penuh membuat orang dewasa kewalahan saat dihadapkan dengannya dan pekerjaan yang lain.
Gadis itu berkali-kali melempar bola, kemudian mengejarnya dengan riang. Namun saat matanya sibuk mengekor arah bola, kaki yang bergerak lincah tak bisa terawasi. Nana menabrak sesuatu di depannya.
Brugk! Suara hantaman tubuhnya disusul benda yang terjatuh dari atas meja. Di saat yang sama, tangis Nana pecah.
Takeru yang mendengar nada sedih dari anaknya langsung beranjak, meletakkan kain yang tengah dilipat ke sembarang tempat.
Diraihnya tubuh Nana yang masih tersungkur di lantai. "Kau tidak papa? Apakah ada yang sakit?" ucapnya panik, diamatinya satu persatu bagian dari tubuh anaknya.
Setelah anaknya tenang, ia mengambil barang yang tadi terjatuh. Sebuah pigura dengan foto wanita yang sangat dicintainya. Takeru meletakkan kembali foto itu ke atas meja dengan hiasan bunga di setiap sisi. Ia memandang wajah pada foto itu dengan tatapan sedih. Bahkan hingga saat ini, perasaan bahagia saat bersama dan luka saat ditinggalkan masih melekat sempurna dalam hati.
Ini adalah tahun ketiga setelah Hana meninggal dunia. Itu berarti, Takeru sudah merawat Nana seorang diri di waktu yang sama. Jujur, menjadi seorang pekerja dan merawat balita sekaligus sangat melelahkan. Pekerjaan kantor yang menumpuk, juga waktu tidur yang terkuras cukup banyak untuk mengurusi rumah, terutama Nana, anak semata wayangnya.
Tak jarang, Takeru berpikir untuk merelakan salah satunya. Pekerjaan atau urusan rumah tangga. Terlebih saat suasana hatinya sedang kurang baik seperti saat ini. Laporan pekerjaan yang selalu dikejar deadline, tumpukan baju yang sudah seminggu belum juga kelar dilipat, dan cucian kotor yang beranak pinak setiap hari membuat Takeru sempat berpikir untuk menyewa pekerja rumah tangga sekaligus perawat untuk anaknya. Namun, mengingat mendiang Hana ia segera menepis ketinggian itu. Baginya, putri kecilnya adalah yang utama.
"Ayah, lapar." Nana menghampiri Takeru yang masih terdiam di depan meja.
Belum lagi seperti ini. Anaknya sudah kelaparan sementara Takeru belum menyiapkan makanan. Pekerjaan yang tak kunjung habis membuatnya tak sadar jika sudah saatnya bagi Nana makan malam. Libur akhir pekan hanya wacana bagi pengurus rumah tangga.
"Anak ayah lapar, ya?" Takeru mengangkat tubuh Nana. "Mau masak bareng ayah, atau menunggu di kursi?"
Gadis itu menunjuk kursi makan miliknya. Setelahnya Takeru meng-iya-kan, meletakkan Nana di kursi kecil berwarna merah muda. Kemudian ia menuju tempat perapian, menyiapkan bahan sekedarnya yang gampang dimasak. Telur dan sosis.
"Ayo makan, aaaa." Takeru menyodorkan satu sendok nasi lengkap dengan potongan sosis dan telur.
Satu dua suapan berhasil dengan lancar. Namun disuapan yang ketiga, Nana menggelengkan kepala. Ditutupnya mulut dengan kedua tangan, lalu kembali berlari. Disusul oleh Takeru yang masih bertahan dengan sendok mengejar anaknya.
Tumpukkan baju yang menggunung ternyata lebih menenangkan daripada anak yang tak mau makan.
Tiba-tiba Nana berhenti, terpaku di tempat dengan wajah yang memerah, seperti ingin menangis, atau seperti kesulitan melakukan suatu hal. Namun agaknya opsi kedua menjadi pilihan yang pas. Karena setelahnya, aroma keterbalikan dari parfum tercium pekat di hidung.
Takeru meletakkan piring dan langsung menggendong anaknya ala bridal style ke toilet. Benar, Nana pup di celana. Lupakan perihal makan. Lihat, bahkan saat perutnya diisi, anak kecil bisa mengeluarkan isi yang lain di saat yang sama.
Drama makan malam berakhir dengan sepiring nasi yang isinya utuh, dan baju yang basah akibat air kamar mandi yang dimainkan Nana. Di saat yang seperti ini, Takeru hanya bisa bersabar, dan melakukan apapun yang ingin anaknya lakukan. Biar berantakan, toh bisa dirapihkan nanti, atau dibiarkan saja juga tak masalah. Begitu pikir Takeru.
Namun, pelik urusan dengan anaknya tidak berakhir di situ. Saat tiba waktu tidur, Nana kerap merajuk dan meminta hal yang sebenarnya tidak benar-benar ia inginkan. Ketika Takeru kekeh menidurkan Nana, gadis itu akan menangis dan berakhir dengan terlelap secara terpaksa. Terkadang, anak-anak menjadikan air mata sebagai pengantar tidur.
Takeru mengambil napas berat. Anaknya sudah tertidur, tapi pekerjaaan lain seolah melambai ingin dibelai. Setumpuk baju masih berserak di atas sofa. Piring dan gelas kotor masih tersusun cantik di atas wastafel. Juga, lihatlah baju kotor yang hampir keluar dari keranjang, apakah pekan ini juga belum juga terpegang?
"Ya Tuhan ... haruskah ku lepas salah satu? Hana, jika kau jadi aku, apa yang akan kamu pilih?" Takeru mengusap wajah kasar.
Setelah menimbang mana pekerjaan yang akan ia kerjakan lebih dulu, akhirnya Takeru mengambil keputusan. Dibukanya laptop yang belum tersentuh dari pagi. Laporan untuk besok menjadi pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
"Setidaknya pekerjaan rumah tidak akan menangis jika ku tinggal."
Jantung di dinding terus berjalan, menunjukkan pukul dua dini hari. Laporan yang dikebut beberapa jam juga sudah kelar. Kini, Takeru bisa tidur setidaknya untuk mengisi energi besok pagi.
Namun, baru juga ingin beranjak, tiba-tiba suara tangisan Nana menghentikannya. Ranjang dengan kasur empuk yang sedari tadi memanggil, harus kembali diabaikan. Selamat tinggal, tidur nyenyak.
"Aku berharap tubuhku bisa terbiasa," lirihnya, kemudian berlari menghampiri anaknya yang terbangun.