CAST SUDAH UPDATE! YUK MELIPIR KE IGKU : @mushikarastory [Akan aku update lagi ya nnti Castnya]
Note : Disarankan membaca cerita buku 1 dulu : Teach Me How to Play, Om! :)
.
.
Halaman 0
.
.
.
.
Tangan itu bergerak menyentuh setiap inci tubuhnya. Kedua manik hazel kecoklatan itu nampak tersentak, melebar shock saat melihat sosok bertubuh tegap yang biasa hanya muncul dalam bayangan kini benar-benar ada di depannya.
Sosok itu tidak berubah sama sekali, tetap tampan dengan rahang tegas serta kedua manik abu menatap lekat. Seolah tertutup oleh embun, sorot mata itu sukses membuat Ia semakin gugup.
Rasa dingin menjalari tubuh, “O-om? Ke-kenapa bisa ada di sini?” Menelisik sosok yang nampak diam, tanpa suara malah semakin mendekatinya. Bergerak perlahan, “E-eh! Tunggu dulu, Om mau apa?!” Gadis itu berjengit kaget,
Kedua tangannya ikut bergerak cepat menghentikan serangan tiba-tiba lelaki itu. Dalam posisi setengah berbaring, berusaha untuk menghindar.
“Eh, lho?!” Dia malah tambah kaget, saat jemarinya menyentuh kulit dingin dengan sedikit keringat tipis mengalir. “Om, tidak pakai baju?! Eh-eh, tunggu-gah!” Wajah gadis itu makin memerah, tubuhnya terasa lemas,
Melihat tubuh sempurna terpampang jelas di depan mata, tanpa menggunakan pakaian sedikit pun, dalam posisi berbahaya dan tak bisa melawan. Matanya malah melirik ke bawah tanpa sadar,
‘Astaga, kotak perut sempurna, warna kulit tan di bawah sinar lampu temaram. Kedua tangan berotot tanpa cela, dan eh- tu-tunggu dulu!’
Pikiran gadis itu langsung terhalang saat merasakan tubuhnya semakin dipaksa berbaring, menyentuh sesuatu yang empuk. Sebuah kasur besar, dan kali ini saat Ia mencoba menengadah.
‘Jantungku!’ Detak jantungnya berdetak super cepat, melihat jelas ketampanan tiada tara berbalut dengan sebuah senyuman tipis menggoda.
“Kau tidak mau saya melakukan ini?” Suara baritone yang begitu Ia rindukan akhirnya berbunyi. Menggetarkan hati nyaris membuat gadis itu pingsan untuk kesekian kali.
“Me-melakukan apa?!” Dalam kondisi seperti ini, setelah bertahun-tahun masuk ke sekolah khusus bodyguard dan menjadi gadis terkuat, dia masih saja menyisakan banyak kepolosan di otak. Mengerjap tanpa sadar,
Merasakan lagi wajah tampan itu perlahan mendekat dengan seringai, tepat diam di samping telinganya, ikut berbaring.
“Hal-hal yang dulu sempat saya tahan mengingat usiamu, Rasa.”
Suara baritone itu terngiang di telinganya, hempasan napas yang pelan menggelitik. Bulu kuduknya langsung berdiri,
Reflek menjawab tanpa sadar, “Mau-eh bukan-maksudku tidak sekarang-hya!!” Sesuatu yang basah menggigit sengaja cuping telinganya. Menjilat pelan, melumat, bahkan sekarang bisa Ia lihat bagaimana tangan besar lelaki itu bergerak lagi.
Masuk ke dalam pakaian dalam dan sengaja mencari sesuatu. Sesuatu yang cukup sensitive.
“Tu-tunggu dulu, a-aku belum siap, Om!” Melihat dengan jelas, saat Ia terbaring sepenuhnya, sosok Revero Arsyanendra menyeringai nakal, tepat di atas Rasa Dana Paramesti.
Menahan dengan kedua tangan, menyibak perlahan pakaian tidurnya, “Kau tidak suka?”
“Suka!!” Menjawab tanpa pandang bulu, “Ah!! Mulut sialann!” Reflek menutup bibir, wajah Rasa benar-benar memerah,
‘Astaga jangan sampai aku mimisan gara-gara melihat wajah dan badannya,’ batin gadis itu memberontak, berusaha mendorong tubuh Revero dari atasnya, tapi tidak bisa.
Tubuh bisa berbohong tapi hati tetap pada pendiriannya. Keinginan untuk menyentuh tubuh kotak-kotak dan melakukan hal-hal baru, astaga!!!! Rasa Dana Paramesti, sejak kapan kau berubah menjadi sosok yang mesumm seperti ini?
“Bagaimana kalau kita mulai saja,”
“Eh, apa?! Mulai apa-hyaa!! Ta-tanganmu, Om!!” Rasa panik, tangan besar Revero perlahan menyingkap semua bajunya, “Hyaa!! Aku belum siap!!”
“Tenang saja, saya janji akan bersikap lembut, selama beberapa jam ke depan.”
WHAT? Beberapa jam ke depan?! Ma-maksudnya mereka akan melakukan hal itu selama berjam-jam? Mencoba tertawa garing, “Tu-tunggu dulu, Om. Tadi aku salah dengar, bukan beberapa menit tapi jam?”
Sosok itu tersenyum bak malaikat, “Rasa, pikir saya sudah menahan diri selama berapa tahun?” Mengusap pipi Rasa lembut, dan seduktif, perlahan meraba kulit putihnya. “Sekarang karena kau sudah dewasa, jadi tidak ada masalah bagi saya memakanmu Rasa,”
WHAT? MAKAN?! DIA MAU DIMAKAN?!
“Ma-makan apa, Om? Kalau lalapan ayam saya suka,” Otak Rasa eror setengah, mencoba membuat Revero tertawa. Tapi sayangnya, lelaki itu tidak terpengaruh sama sekali.
Dia justru melihat senyuman nakal Revero makin nampak, kalian terakhir sang Arsyanendra membuat Rasa semakin panik.
Menyentuh area-area tertentu dengan lembut, “Tentu saja memakanmu, dari atas-” Mengusap bibir, menuruni pipi, leher, turun lagi ke dadaa, “Hingga ke bawah dan mencicipi menu utama yang sudah saya nanti selama bertahun-tahun,”
Terakhir, saat Revero sengaja menyentuh bagian privasinya. Untuk pertama kali, tubuh Rasa langsung memanas, gadis itu tidak bisa menahan diri lagi.
“JA-JANGAN DULU, OM!!”
“AKU BELUM SIAP!!!”
.
.
.
.
.
.
“Apanya yang belum siap, hah?!”
Satu pukulan kecil di kepala reflek membangunkan gadis berusia 22 tahun itu. Dengan manik terbelalak kaget, wajah memerah disertai keringat mengucur di seluruh tubuh.
“Hah!!” Rasa Dana Paramesti berteriak kecil, merasakan sakit di kepala dan mengerang tipis. Tubuhnya terbangun, dalam posisi duduk, masih tidak sadar dengan sosok teman di sampingnya. Gadis itu malah mencari orang lain, sosok bertubuh tegap nan tampan dengan penampilan shirtless menggoda iman, “Kemana dia?! Lho, kok hilang?!” Panik, gadis yang awalnya menolak sekarang justru merasa kecewa.
“Heh, apa yang kau cari? Pria dalam mimpimu?! Bangun, kita masih ada satu upacara perpisahan lagi sebelum keluar dari sekolah ini!” Tiba-tiba kedua tangan temannya bergerak menangkup pipi Rasa. Pandangan mereka saling beradu.
“Lho, Marre, kau sudah bangun?” Manik Rasa mengerjap polos. Dia baru sadar, sahabat berambut pirangnya sudah tersenyum kecil. Mencubit pipi sang Dana seketika, “Aw, sakit!”
Baru melepas dengan cepat, “Hh, bagus itu berarti kau sudah sadar.” Gadis itu mendengus kesal, berkacak pinggang, “Sebenarnya kau mimpi apa? Berteriak terus menyebut nama pria kesukaanmu,” tanya Marre gamblang.
Mimpi? Rasa masih tak sadar. ‘A-aku bermimpi? Tadi?’ batinnya, perlahan tapi pasti. Mengerjap beberapa kali, memegang kedua pipi yang mulai memanas. Mengingat semua,
Tiap detil mimpi, sentuhan, tubuh menggoda sang Revero. Pandangan teduh yang nampak redup, bantalan roti kotak-kotak di perut dan bagian bawahnya yang be-besar.
Rudal terbesar yang hampir saja Rasa lihat dengan menggunakan indra keenamnya. “Ru-rudalnya besar,” Tanpa sadar berbisik, wajah Rasa memerah.
Marre mengernyit, “Rudal? Rudal apa maksud-” Ucapannya langsung terhenti saat melihat ekspresi Rasa. Hoohoo, Marre baru sadar juga. Menyeringai tipis, gadis itu langsung duduk di samping sahabatnya.
Merangkul Rasa erat, mendekati telinga sang Dana, “Jangan bilang kau baru saja mimpi basah, Rasa?” tanya gadis itu dengan nada menggoda. Tubuh Rasa membeku, kinerja otaknya mendadak berhenti.
“Kau barusan bilang rudal? Jadi seberapa besar rudal pria itu, hm?”
Semakin membeku, prilaku Marre yang blak-blakan membuat Rasa memanas. Mimpi basah? Seberapa besar rudal o-om Revero,
“Jangan bilang gara-gara aku mengajarimu itu, kau langsung memimpikan pria kesayanganmu?”
Satu panah tertancap tepat mengenai jantung. Seolah ketahuan, dalam beberapa detik, Rasa langsung mendorong tubuh Marre. “UWAAA!! APA YANG KAU BICARAKAN?!” Berdiri dengan tubuh setengah berkeringat dan merah.
Menatap Marre yang kini berguling di tempat tidurnya, “Ayolah, beritahu aku. Seberapa besar rudal pria itu?”
“JA-JAGA UCAPANMU, MARRE!!”
“Huahaha!! Xion, Rafa!! Gadis polos kita baru saja selesai mimpi basah!!” Tawa Marre menggema, Rafa dan Xion yang sedang menggosok gigi di kamar mandi reflek keluar sembari memegang gosok gigi mereka kompak.
“Ha? Apa, siapa mimpi basah?” Rafaela melongo tak percaya sementara Xion menguap dengan busa di bibir.
“Dia- huahaha!! Gara-gara kita mengajari hal-hal itu dia sampai kebawa mimpi!!” Masih berguling di tempat tidur Rasa, sang Dana memerah, tubuhnya makin panas. Malu luar biasa!!
“Aku tidak mimpi basah!!” Menendang kaki Marre, menatap Xion dan Rafaela seketika. Ia menggeleng cepat, “Di-dia pasti bercanda! Kalian jangan percaya-”
Rafaela dan Xion sudah lebih dulu termakan ucapan Marre. Mereka menahan tawa, dalam beberapa detik. Kompak menyemburkan busa putih dari dalam mulut.
“HUAHAHA!! BENARKAH?!”
“ASTAGA, RASA!! HAHAHAHA!!”
Tidak ada yang percaya pembelaan Rasa. Pagi itu, di hari terakhir mereka bersama. Rasa justru memberikan pengalaman paling memalukan bagi ketiga sahabatnya. Memimpikan Revero Arsyanendra dalam posisi memalukan.
“SUDAH KUBILANG BUKAN!!”
Hanya gara-gara ajaran ketiga gadis itu mengenai system reproduksi laki-laki dan bagaimana cara memikat bahkan menangkap hati seorang pria dewasa.
Sayangnya Rasa terlalu polos untuk mendengar itu semua. Dia bahkan sampai memimpikan Revero.
SIALAN!