cracked
"Gue mau putus."
Sara menatap Nathanael tanpa ekspresi. Kepalanya mengangguk pelan.
"Udah, 'kan? I've gotta go." kata Sara datar langsung bangun dari duduknya.
Nathanael menahan lengan Sara yang membuat Sara menatap mata cokelat terang itu. Nathanael tersenyum singkat, "Sorry for hurting you and choose her."
Sara melepaskan tangan Nathanael tenang. Bibirnya tersenyum kecil, "Bukan masalah. Udah biasa." balas Sara lalu meninggalkan Nathanael yang terdiam.
Langkah kecil Sara membawa gadis itu menuju taman kota yang tidak jauh dari kafe tadi. Sara duduk di salah satu bangku sambil menarik napas dalam.
Mata Sara menatap lurus ke depan. Bohong bila dia berkata dia baik-baik saja. Faktanya, hati Sara tetap merasakan nyeri karena ditinggalkan oleh seseorang yang pernah mengisi hari-harinya. Namun, Sara benar-benar sudah terbiasa dengan rasa sakit.
Sara mengusap peluh di dahinya dengan punggung tangan. Matahari semakin naik. Sara memutuskan untuk menikmati pemandangan anak-anak yang berlarian kesana-kemari sebelum memesan ojek online.
"It's almost 11:11," ujar seseorang. Sara langsung menoleh, kedua alisnya terangkat. "Pardon me?"
Orang tadi melirik arlojinya sebentar kemudian menoleh sambil tersenyum, "It's 11:11. Let's make a wish!"
Setelah mengatakan hal tadi, orang itu memejamkan matanya dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya. Dahi Sara berkerut dalam. Dia benar-benar tidak mengerti maksud cowok di sebelahnya.
"Gue Khai. Lo?"
Sara mengulum bibirnya, "Sara."
Khai mengangguk mengerti. Cowok itu bangun dari duduknya kemudian berdiri di depan Sara dengan sebelah tangan masuk di saku jaket hitam yang dia gunakan.
Khai menepuk kepala Sara lembut, "Nice to meet you, Sara. Semoga di pertemuan berikutnya, lo lagi bahagia." kata Khai langsung berlalu.
Sara tertegun.
Tangannya memegang pucuk kepalanya yang tadi ditepuk pelan oleh Khai. Matanya masih menatap punggung Khai yang menjauh dari taman.
Sara memiringkan kepalanya sedikit, "Khai?" gumam Sara.
Khai berhenti di ujung trotoar menunggu jemputannya. Bibirnya tersenyum tipis saat mengingat wajah Sara.
Khai menghela napas panjang, "Finally," gumam Khai. Khai tertawa pelan, "Sampai ketemu lagi, Sara."
Tin! Tin!
Khai masuk ke dalam mobil. Kale menatap kembarannya geli, "Kenapa lo senyam-senyum? Kesambet setan ayunan?"
Khai mendelik, "Ngaco lo."
Kale menggeleng pelan.
"Lo pasti kabur dari rumah sakit lagi ya!" tebak Khai. Kale menyengir, "Nggak kabur. Gue nunggu antrian." elak Kale.
"Antrian pala lo. Siapa juga yang nyuruh anak pemilik rumah sakit ngantri." cibir Khai.
Kale hanya tertawa. Khai mengacak rambut Kale. Kale menepis tangan Khai sambil menatap sang kakak tajam. Khai pun tertawa melihat ekspresi sang adik.
Begitu matahari semakin meninggi, Sara memutuskan untuk memesan ojek online yang tidak sampai sepuluh menit datang menjemput.
"Pulang jalan-jalan sama temennya, Mbak?"
Sara yang memakai helm samar-samar mendengar suara tukang ojek pun mengangguk, "Iya, Pak. Tumben ya nggak macet."
"Oh iya, biasa emang. Anak saya juga kadang aja mainnya."
Sara yang sudah sibuk melamun tidak menjawab balasan tukang ojek. Gadis itu memikirkan hidupnya sampai motor berhenti di depan rumahnya.
Rumah dua lantai itu membuat Sara ragu untuk masuk ke dalamnya. Apalagi melihat mobil milik ayah dan ibunya ada di halaman rumah, membuat Sara semakin enggan masuk. Sara mengulum bibirnya kemudian masuk ke dalam rumah.
"Loh, Non Sara kok nggak manggil Mamang buat bukain gerbang?"
Sara menghampiri pos satpam rumahnya kemudian menyengir, "Mang, minta rokok dong."
"Nggak ada. Lagian bisa dipecat Mamang kalo ketahuan ngasih rokok ke Non Sara."
Sara mendengus, "Sara masuk ya, Mang."
"Iya, Non."
Baru saja membuka pintu rumahnya, Sara sudah mendengar suara barang pecah bersamaan dengan u*****n sana-sini.
Sara berjalan mendekati sumber suara. Benar saja, di ruang tengah kedua orangtuanya sedang bertengkar. Pecahan guci milik sang ibu ada dimana-mana. Wajah murka sang ayah maupun ibunya terlihat begitu jelas di mata Sara.
"KAMU YANG HARUSNYA MIKIR, MAS! KAMU PIKIR AKU NGGAK CAPEK PULANG DARI KANTOR?!"
"SUDAH SAYA BILANG LEBIH BAIK KAMU DI RUMAH! URUS ANAK-ANAKMU!"
"Urus anak-anakku kamu bilang? Lalu bagaimana denganmu? Aku di rumah beres-beres rumah dan mengurus mereka. Sedangkan, kamu bisa seenaknya check-in dengan wanita lain?"
Plak!
"JAGA MULUTMU, BINAR! KAMU KIRA AKU KERJA UNTUK SIAPA, HAH?! UNTUK KALIAN!"
Sara mengepalkan tangannya erat. Airmata sudah menggenang di pelupuk matanya. Pemandangan seperti ini sudah sering terjadi sejak dia kecil.
Sara mengabaikan pertikaian kedua orangtuanya. Dia lebih memilih menaiki anak tangga tanpa menoleh ke belakang. Sara sungguh muak dengan kedua orangtuanya.
"Sara!"
Langkah Sara berhenti. Tanpa menoleh sedikit pun, Sara berdehem, "Apa?"
"Apa begitu caramu bicara dengan orang tua?" tanya Adit berkacak pinggang.
Sara terlanjur malas. Dia melangkahkan kakinya tanpa menghiraukan panggilan Adit maupun Binar.
Adit menatap Binar remeh, "Begitulah anak kalau ibunya tidak becus."
"Kamu brisik, Mas." balas Binar sinis. "Daripada menghinaku, bukankah lebih hina simpananmu?" Binar tertawa sinis. Tangannya bersedekap, "Apa sebegitu murahnya Farah sehingga dia menikmati seorang pria yang sudah memiliki tiga anak?"
Plak! Plak!
Rahang Adit mengeras. Matanya menatap Binar tajam, "Jangan pernah berani menghina Farah seperti itu, Binar." Adit mendengus, "Lebih baik urusi kekasih mudamu itu. Bukankah dia membutuhkan uang untuk bergaya?"
"Cih, ibu mana yang mempunyai kekasih hampir seumuran anak sulungnya."
Binar melempar hiasan berukuran sedang ke arah Adit, "Persetan denganmu, Mas! Aku lelah!" sentak Binar meninggalkan rumah.
Adit menurunkan lengannya yang menahan lemparan hiasan tadi. Kalau saja dia telat mengangkat lengannya, mungkin dahinya sudah terluka. Adit memanggil Bi Siti untuk membersihkan kekacauan siang ini lalu keluar dari rumah.
Bi Siti membersihkan lantai. Jantungnya masih berdetak kencang karena terkejut dengan suara pecahan dan bentakan tadi. Walaupun sudah mengetahui masalah ini sejak lama, Bi Siti masih belum terbiasa.
Sara menutup pintu kamar kamarnya kemudian terduduk di balik pintu berwarna putih itu. Sara menekuk kedua lututnya. Menopang dagunya dengan lutut, Sara menatap kosong ke depan.
"Kalau mereka udah nggak saling cinta, kenapa harus tetap bersama?" tanya Sara pada Bi Siti saat dia sudah duduk di bangku kelas 7.
Sara ingat betul jawaban Bi Siti saat itu. Bi Siti berkata, "Sebuah pernikahan itu begitu sakral. Saat membentuk sebuah keluarga, bukan hanya ada suami dan istri. Namun, juga terdapat anak yang harus mereka pikirkan."
Sara dulu mengerti, mungkin kedua orangtuanya masih memikirkan dia dan ketiga kakaknya. Namun, ketika dipikir ulang. Sara ragu bila alasan kedua orangtuanya tidak pisah adalah dia dan ketiga kakaknya.
Sara berjalan ke arah kasur. Tangannya membuka laci meja kecil di samping kasurnya. Menatap benda yang sudah menemani dirinya sejak dulu, Sara tersenyum kecil.
"Lucu." gumam Sara menatap sebuah cutter yang sudah ada di tangannya.
Cutter berwarna merah muda dengan motif strawberry itu berhasil membuat beberapa goresan di lengan Sara. Sara memejamkan matanya seusai melakukan tindakan tadi.
Sara Pramana. Anak bungsu dari pasangan Aditya Pramana dan Binar Laksana. Sara memiliki tiga kakak laki-laki yaitu Gala Pramana, Ren Pramana, dan Bara Pramana.
Gala memilih melanjutkan studi di Inggris setelah lulus SMA. Sedangkan, Ren dan Bara duduk di bangku 12 dan 11. Mereka bersekolah di SMA Pelita Harapan seperti Sara.
Bila kalian berpikir hubungan Sara dengan ketiga kakaknya bagus, kalian salah besar. Sejak keluarganya berantakan karena sang ayah, tidak ada hubungan yang baik di dalam keluarganya. Bahkan Ren dan Bara hanya sesekali berkumpul.
Semua anggota keluarga memilih untuk sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan mengabaikan si bungsu Sara. Sara juga sangat tertutup dengan ketiga kakaknya. Namun, diantara mereka, Sara hanya cukup dekat dengan Gala.
"Non Sara." panggil Bi Siti mengetuk pintu Sara.
Sara berjalan menuju pintu. Membuka pintu sedikit agar ada celah untuk melihat Bi Siti.
"Makan siang, Non Sara. Bibi pikir, Non nggak bakal turun ke bawah dulu." kata Bi Siti. Sara tertegun. Selama ini, hanya Bi Siti dan Mang Ujang yang dekat dengannya. Apalagi semenjak Gala ke London.
Sara membuka lebar pintunya sebagai tanda Bi Siti untuk masuk. Beruntung Sara sudah mencuci cutter dan membuang tisu bekas darahnya tadi.
"Bibi sengaja bikin jus alpukat. Soalnya buah naga lagi abis di kulkas. Besok pagi baru Bibi belanja." Bi Siti menaruh nampan di atas meja belajar. Sara duduk di ujung kasur. Kepalanya mengangguk mengerti, "Kalau Bibi besok banyak kerjaan, biar Sara aja yang belanja bulanan."
"Jangan, Non. Nanti Nyonya marah."
Sara mendengus, "Mama nggak pernah merhatiin rumah lagi semenjak kerja, Bi."
"Tapi, Tuan–"
"Papa selalu ngurusin selingkuhannya ketimbang rumah." sela Sara dengan nada jijik.
Bi Siti terdiam. Wanita yang sudah memasuki usia setengah abad itu mengusap rambut Sara lembut sambil tersenyum menenangkan.
"Makan malam mau Bibi buatkan udang saus tiram?" tanya Bi Siti.
Bibir Sara tersenyum lebar. Kepalanya mengangguk antusias, "Mau! Mau!"
Dalam hati, Bi Siti merasa lega karena mood Sara kembali bagus. Bi Siti mengangguk, "Oke, nanti malam Non harus makan yang banyak ya."
"Nanti Sara gendut."
Bi Siti tersenyum geli, "Non Sara masih dalam tahap pertumbuhan. Jadi banyakin makan. Lagian, gendut aja juga cantik kok." balas Bi Siti. "Kecantikan itu bukan diukur dari wajah atau badannya. Tapi dari kecerdasan dan perilaku."
"Nggak semua orang punya pemikiran bagus kayak Bibi," Sara terkekeh. "Diantara banyaknya manusia, masih ada manusia-manusia otak dangkal yang selalu ngukur kecantikan seseorang dari tubuh kurus, kulit putih, hidung mancung, juga bibir tipis."
"Bibir Non Sara nggak tipis juga cantik."
Sara mengibaskan rambutnya, "Sara jelas cantik. Walaupun orang liatnya Sara jelek, pokoknya Sara cantik. Self-love is so important. Tapi, self-praise juga penting." balas Sara dengan ekspresi angkuh. Sedetik kemudian, raut wajahnya berubah. "Tapi tetep aja kadang insecure." ringis Sara pelan.
Bi Siti yang tidak sepenuhnya mengerti hanya mengangguk mengiyakan. Setelah itu, beliau pun keluar dari kamar Sara.
Sara menarik napas dalam, "Shame on you, Dad." gumam Sara sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.