Heru melongo. Dia sudah menyelesaikan semuanya, namun sekarang Mas b***t kembali berbuat ulah. Untuk yang kesekian kalinya, Mas b***t kembali mengibarkan bendera perang. Heru muak. Mas b***t terlihat sangat bersemangat ketika bertingkah seperti itu. Sebenarnya Heru sudah belajar untuk menangani manusia seperti itu, namun sekarang teorinya terpatahkan sempurna di depan Mas b***t. Ternyata Mas b***t sangat kuat. Dia mampu menembus pertahanan Heru terhadap manusia hati kejam senyum menawan. Belum lagi Mas b***t itu aneh. Dokter kok gondrong!
Meskipun dia terlihat sangat keren dengan ikat rambut dari karet bungkus nasi itu, sih! Padahal hanya karet murahan begitu, tapi kalau dipakai dokter... kok beda, ya? Heru mencoba menganalisis pendapatnya. Iseng, akhirnya cowok sarkas itu mencoba peruntungan serupa. Siapa tahu dia terlihat sangat ganteng dan kece dengan karet itu. Dia mengikat rambut pendeknya, memelintir karet nasi yang dia temukan sembarangan di lantai. Namun dia lupa. Rambutnya nggak sepanjang Mas b***t karena posisinya masih anak sekolah yang terikat peraturan soal rambut.
Karena itulah karet tersebut hanya mengikat ujung rambutnya, mungil, seupil, dan juga... terlihat menggelikan. Chiko yang baru datang dari kamar mandi hanya melongo dan mengerjap beberapa kali.
"Kamu ngapain?" tanyanya. Heru gelagapan, namun dalam sepersekian detik, dia kembali bertanya. Dengan sangat percaya diri.
"Aku ganteng, nggak?"
Chiko melongo lagi. "Najis!" hujatnya.
"Ini kece, tahu!"
"Di dunia ini, cuma ada satu orang yang cakep kalau pake iket-iket karet kayak gitu."
Heru sudah tahu jawabannya, jadi dia hanya merengut nggak terima. Bagaimana bisa seorang manusia terlihat ganteng hanya dengan karet gelang bungkus nasi begini? Chiko fitnah, ah!
"Rambutnya kan gondrong!"
"Kamu peka banget siapa yang kumaksud!" Chiko tergelak geli. Sejak kejadian waktu itu, dia punya senjata untuk membuat Heru bungkam. Pokoknya Mas Bejo muncul sebagai penyelamat yang akan jadi kunci utama melawan kejahilan dan kesarkasan cowok ini.
"Soalnya selama ini cuma dua cowok yang kutahu deket sama kamu. Selain mas-mas tetangga kamu itu, satunya lagi ya... pastinya kakak tercinta."
Mampus, ah! Chiko tumbang lagi hanya dengan dua kalimat. Meski nadanya manis dan juga penuh persahabatan, namun pedasnya sampai ke tulang-tulang. Heru berniat menyindir Chiko dengan halus. Sengaja. Hanya dua cowok yang Chiko kenal dengan sangat baik, namun bukan itu poin yang ingin Heru sampaikan.
Kakak tercinta.
Heru masih membiarkan karet gelang itu di rambutnya, mengabaikan beberapa cewek yang mengolok. Heru sudah masa bodoh sejak dulu. Dia hanya nyengir dengan penuh percaya diri. Bahkan dengan gaya khas menjijikkan, Heru menyentuh dagunya bangga. Sialan! Chiko nggak tahu bagaimana dan dari elemen apa Heru diciptakan! Apa dari tanah juga? Mungkin Heru diciptakan dari tanah sengketa, makanya dia jadi aneh dan juga membuat orang lain kelimpungan begitu!
"Udah aku bilang, nggak usah telepon-telepon lagi!" Heru menjerit nggak terima. Chiko di sebelahnya langsung terkejut dengan respon Heru. Dia kira Heru itu nggak pernah semarah ini, jadi dia diam saja dan damai. Tapi nyatanya, Heru itu bisa begitu! Heru bisa marah.
Hanya dengan mendengar satu kalimat itu, Chiko tahu siapa yang menelepon Heru sekarang.
"Aku kan kangen..." Suara di sana terdengar sok melankolis. Chiko ikut menguping. Tumben sekali suara Mas Bejo seperti ini. Jadi agak menggelikan, tahu! Suara bass-nya berpadu dengan nada merajuk yang sangat kekanakan.
"Nggak usah ngomong kayak gitu! Jijik!" Heru mengumpat.
"Habisnya... kamu di-SMS juga nggak bisa. Aku kan bisanya telepon. Selain lebih seru karena bisa denger suara kamu, juga lebih adem di hati. Jadi aku bisa nebak apa yang kamu lakuin sekarang ini."
Sabar, Heru! Sabar!
Cowok satu itu memang sudah dewasa, tapi kelakuannya memang nggak normal. Jadi abaikan saja dia! Meski dia iseng setengah mati, tapi kamu nggak boleh kabur! Kalau kabur, artinya kamu kalah! Mana predikat cowok santai sarkas yang kamu sandang itu, Heru? Kamu nggak akan mundur hanya gara-gara mas-mas gondrong yang ganteng dengan karet gelang itu, kan?
"Homo, Mas?"
"Nggak, lah! Aku Herunistic."
Heru sadar sekarang kalau hukum karma itu memang ada. Dia pernah ngomong begitu pada Chiko. Chikolover. Memang kenyataannya begitu. Heru naksir Chiko, tapi nggak naksir cowok lain. Dia nggak tertarik dengan cowok lain karena memang dia sukanya pada Chiko. Kok jadi berputar-putar begitu, Ru? Kalau suka cowok, namanya tetap homo. Sudah. Mau homo terhadap A, B, C, dan lain-lainnya... suka sesama jenis kelamin namanya homo.
Heru menggaruk tengkuknya gugup.
"Jijik!" Heru mengumpat kesal. "Jangan ganggu aku lagi, Mas! Aku lagi di sekolah!"
"Kalau pas di rumah nggak apa?"
"Sialan! Dasar cowok b***t!" Heru mengumpat kasar. Niat hatinya memang ingin bicara kasar begitu, bukannya ingin menjuluki Mas b***t dengan singkatan manisnya.
"Namaku emang Bejo Jatmiko, Ru. Kamu so sweet banget, deh!"
Heru mengernyit jijik. Mungkin Mas b***t ini pernah mengalami kecelakaan, lalu otaknya tercecer di jalan. Pihak rumah sakit lupa memunguti otaknya, makanya Mas b***t jadi agak nggak waras begitu!
"Jangan telepon pas di sekolah! Nggak punya etika, ya?" Heru jadi sok rajin, padahal dia senang sekali telepon-teleponan dengan gebetan.
"Kok aku jadi makin kangen, ya sama kamu?"
"Jijik, b***t!Anjing!" Heru mengumpat. Sayangnya hari itu dia sedang sial. Entahlah, tiap kali bertemu dan berhubungan dengan Mas b***t, Heru selalu sial. Heru menoleh, melongo ke arah teman-teman yang lain. Mereka sedang membisu, lalu mendengar suara teriakan Heru yang kasar itu.
"Heru, nggak boleh ngomong kasar! Cowok ganteng nggak ngomong gitu!" Chiko menggodanya. Heru melotot ganas. Namun godaan Chiko itu bukanlah akhir dari rasa malunya. Karena setelah itu...
"Tadi siapa yang mengumpat pake bawa nama-nama binatang itu?! Sini!" Pak Gunawan, sebagai algojo bagi anak SMA Tiga Lima akhirnya muncul. Heru menunduk, lalu melangkah pelan menghampiri beliau. Dalam bungkamnya, Heru menggerutu. Juga mengumpat kesal.
Awas aja! Dasar b***t!
Mungkin hari ini Heru nggak bisa pulang secepat biasanya!
***
Dulu waktu Heru masih kecil, nenek tercinta pernah memberinya nasihat panjang lebar. Heru nggak boleh menyimpan dendam terlalu lama, sebab nantinya dendam yang terperangkap dalam hati akan menjadi api. Api neraka yang nggak akan pernah padam. Jadi, Heru dengan patuh menuruti semua petuah neneknya. Lihat, kan? Bahkan meski ditolak Chiko, dia nggak pernah dendam. Meski Chiko sering sekali ngutang padanya, namun dia juga nggak pernah dendam yang lebih besar. Pokoknya Heru selalu damai dan bahagia tanpa dendam kesumat. Baginya, dendam yang cantik itu hanya milik Nyi Pelet. Soalnya Nyi Pelet itu cantik, jadi dendam juga nggak apa. Yang penting Heru bisa nonton serial itu sambil memuji betapa cantiknya wanita yang melotot galak itu. Melotot saja secantik itu, apalagi kalau merem.
Sejak kecil, Heru itu sudah terlahir untuk naksir cewek. Dia nggak pernah ada minat dan cita-cita untuk naksir cowok. Nggak mau, lah jadi homo! Nyi Pelet kan masih cantik! Heru mau, kok dipelet oleh cewek secantik itu!
"Aku nebeng, yak!" Chiko nyengir. Heru menggeleng kencang. Kalau dia mengantarkan Chiko, maka rencananya bisa gagal total sekarang. Chiko bisa mengoloknya tanpa ampun.
"Aku harus jemput kucingku yang lagi di pet shop, Ko."
"Sejak kapan kamu pelihara kucing?"
Heru menggaruk tengkuknya. "Sejak hari ini, lah!"
Chiko mencibir nggak percaya. Dia memeriksa isi tas Heru, dan menemukan dua kaset DVD yang mencurigakan. Heru mencoba menyembunyikan kaset itu, namun Chiko bergerak lebih cepat kali ini. Selain karena Heru merasa lelah karena efek hukuman dari Pak Gunawan, Chiko juga mengancam akan menyebarkannya kalau Heru masih keukeh menyimpan rahasia ini.
Jadi Chiko dan Heru duduk diam di pojok kelas, mirip transaksi gelap bandar narkoba. Chiko menelan ludah ketika melihat gambar cewek seksi berdada jumbo di salah satu cover kaset.
"Ini kaset anu-anu?" tanya Chiko pelan. Sebenarnya teman-teman yang lain juga kepo. Sejak tadi, dua orang itu berisik sekali. Setelah Heru mengumpat dan dihukum Pak Gunawan, Heru kembali dengan wajah penuh cengiran. Seragamnya basah, keringatnya membanjiri tubuhnya.
Chiko menggeleng jijik, namun Heru mengejarnya, memeluknya, hanya sekadar ingin menulari Chiko dengan aroma khas itu. Setelah keduanya heboh, sekarang keduanya membisu. Anehnya lagi, mereka seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Iya, lah! Masa iya album religi?"
"Biasanya buat mengelabuhi musuh, Ru. Ya kali kamu berani bawa ginian ke sekolah..."
Heru menggaruk tengkuknya.
"Isinya sih emang bukan video anu-anu beneran." Heru nyengir. Chiko mencoba mengecek sendiri, dan memang benar itu hanya kaset biasa. Isinya>Karena itu kaset Chiko yang dulu. Bahkan ada tulisan tangan Chiko di sana. Karena itulah Chiko yakin ini bukan kaset anu-anu.
"Kok berani pake cover kayak gini? Kalau ada razia gimana?"
"Ya aku umpetin sementara gambarnya, Ko. Aku nggak sepolos itu buat jadi penipu." Heru mengangguk bangga.
"Jadi penipu kok bangga!"
Heru nggak peduli dengan cibiran Chiko, karena setelah itu Chiko menunjuk kaset lainnya. Ada foto dua cowok ganteng di cover-nya. Perutnya six pack, kulitnya kecokelatan, dan juga posenya menantang.
"Kok gambarnya kayak gini?" Chiko menjerit spontan, tapi Heru tanggap dan langsung menutup mulut Chiko. Chiko nggak boleh ember sekarang!
"Ganteng, kan?" tanya Heru pelan. Dia berbisik.
"Ganteng, sih! Tapi kok gini banget posenya?"
"Mirip aku, kan?"
"Sialan! Nggak, ah! Jauh!" Chiko menghujat Heru. Heru tergelak geli dan menggeleng pelan. Sekarang ini dia sedang punya misi yang sangat penting, jadi Chiko nggak boleh tahu apa yang akan dia lakukan dengan dua benda mencurigakan itu.
"Bohong dikit, kek!"
"Jadi, kamu mau apa sama kaset gituan?" Chiko curiga.
Heru menggeleng pelan. Dia harus menyimpan rahasia. Pokoknya Chiko nggak boleh tahu apa yang dia rencanakan. Kalau Chiko sampai tahu, maka rencananya pasti akan gagal. Negara api pasti akan menyerang lagi! Sekarang ini, meksipun mereka berdua teman dekat, sahabat, namun rahasia ya rahasia. Kalau nggak ada orang yang boleh tahu, maka nggak boleh. Pokoknya ini rahasia yang super penting dan nggak boleh diceritakan pada siapa pun!
"Iseng aja..."
"Bohongmu itu, lho!"
"Aku emang anak jujur, makanya kalau bohong dikit pasti ketahuan."
"Cih, menggelikan!"
"Aku nggak boleh gitu, Ko! Aku harus pegang komitmen. Kamu nggak boleh tahu, karena kalau kamu tahu... maka semua rencanaku akan bubar. Kamu kan meragukan ada di pihak mana." Heru mengedikkan bahu. Chiko menelan ludah. Heru menaikkan alisnya. Padahal Heru sudah memberikan clue, tapi Chiko masih nggak paham juga ke mana arah pembicaraannya.
Jadi memang benar kalau Chiko itu sebebal-bebalnya manusia!
Chiko menyerah. Kalau dia ingin tahu lebih banyak, maka Heru akan kembali menyerangnya. Chiko nggak boleh begitu! Dia nggak akan pernah menang melawan Heru. Heru itu jahil absolut. Kesarkasannya itu mutlak. Kalau mau cari musuh sebanding, maka satu-satunya yang bisa adalah...
Mas Bejo, lah!
Begitu bel pulang berbunyi, Chiko keluar kelas lebih dulu. Dia berjanji akan pulang cepat pada Gigih, jadi dia nggak boleh diam di sini lebih lama. Heru celingukan. Ketika dia nggak melihat batang hidung Chiko, dia segera menghubungi seseorang. Persetan dengan kesibukan orang itu! Orang itu juga nggak pernah mikir kesibukan Heru, bahkan dia nggak sungkan ketika menelepon Heru. Jadi, sah, dong kalau Heru juga bertingkah serupa! Maka Heru mulai menghubungi orang itu.
Orang yang dimaksudnya sedang mengerjap, menatap layar HP-nya. Begitu muncul tulisan "Ruuu" dengan tanda love, orang itu tersenyum cerah. Bahkan kelewat sumringah. Ini sudah jadi senyuman nggak normal lagi sepertinya.
"Halo..." Bejo tersenyum lebar. Dia nggak bisa menyembunyikan rasa bahagianya sekarang. Heru meneleponnya lebih dulu, tahu! Bejo makin tersenyum lebar ketika mendengar suara tajam Heru.
"Aku mau ke rumahmu sekarang!"
"Dengan senang hati kusambut kedatanganmu..."
Sialan, Heru mengumpat kencang! Dia mematikan teleponnya dan mengacak rambutnya sendiri. Kenapa Mas b***t jadi makin menjijikkan begitu? Heru melotot nggak suka. Sekarang ini dia harus menegaskan banyak hal. Chiko pernah memergoki Heru berkunjung ke rumah Mas Bejo, jadi sekarang Heru mencari cara yang paling aman untuk bertamu. Heru sengaja menitipkan motornya di rumah salah satu teman, lalu pergi ke rumah Mas b***t jalan kaki.
Heru menghela napas. Jarak dari sekolah ke rumah Mas Bejo memang nggak terlalu jauh, tapi sensasinya itu, lho! Hatinya yang diuji. Nyalinya dipertaruhkan. Dia bukan cowok cemen dan pengecut, jadi ini kali kesekian Heru melabrak Mas Bejo.
Dulu pernah, tapi malah jadi bulan-bulanan Mas Bejo. Sekarang, dia nggak mau begitu! Heru harus mengenali medan perangnya, jadi dia memutuskan untuk observasi terlebih dulu. Sekarang yang paling penting adalah dia sampai di rumah Mas Bejo. Dan lebih menyebalkannya lagi, Mas Bejo malah nggak ada kuliah.
Padahal Heru mengidamkan masa-masa berteriak dengan penuh nada absolut seperti, "Nggak usah kuliah-kuliahan! Urusan kita lebih penting! Jangan kabur dan jadiin kuliah sebagai alasan! Dasar pengecut!"
Maunya begitu, tapi kok ya... Heru selalu dapat bagian ketika Mas Bejo sedang nggak sibuk! Lah, Ru! Kamu mana tahu kalau Mas Bejo ada kuliah dan sengaja pulang hanya karena teleponmu? Dia itu lebih ahli daripada cowok jahil seantero sekolah sepertimu! Dia itu nggak jahil dan iseng, tapi dia itu bijak. Sangat bijak, sampai dia harus jadi pintar dan jenius dalam menangkal radiasi isengmu!
Heru sampai di depan rumah Mas Bejo. Kepalanya celingukan, memindai siapa tahu ada pengintip. Seperti Chiko atau saudaranya yang tunagrahita itu. Ketika yakin nggak ada yang mengintip, Heru masuk ke halaman rumah Mas Bejo. Heru menjerit ketika sebuah gonggongan tiba-tiba muncul. Berisik sekali. Seekor anjing yang lehernya dirantai menggonggong ke arahnya.
Heru menutup mulutnya dengan jari telunjuk.
"Sttt! Diam!" katanya. Dia berjongkok, menatap anjing itu tanpa takut. Ayahnya dokter hewan, jadi dia tahu kalau yang seperti itu adalah insting. Anjing akan menggonggong pada orang yang nggak dikenal. Heru mendekat dengan sangat hati-hati. Dia menyentuh kepala anjing itu dengan sangat lembut. Anjing itu diam dan tunduk padanya.
"Baru kenal kok udah deket aja? Sama aku kok nggak?" Mas Bejo tiba-tiba muncul di belakang Heru. Heru menoleh cepat dan mendengus.
"Jadi anjing dulu, baru aku baikin!"
"Kok mau elus-elus anjing? Katanya najis..." Oh, Mas Bejo sudah mengusik hati Heru yang penuh dengan sumpah serapah dan sarkas itu!
Dan hari itu, Mas Bejo makin kagum dengan Heru karena ucapannya yang ceplas-ceplos namun sangat menawan.
"Kami diajari buat menyayangi semua makhluk. Kalau masalah najis, itu bukan alasan kami saling membenci. Itu cuma alasan karena males bersuci! Nggak usah sentimen jadi orang!"
Mata Mas Bejo berbinar karena umpatan Heru. Lihat itu, Bejo! Kenapa dia begitu menawan dengan cara bicaranya yang ceplas-ceplos itu? Dia memang nggak terlihat alim, bahkan terlihat urakan. Tapi siapa sangka kalau dia juga beribadah sesuai agamanya? Nggak usah bahas SARA, Bejo! Manusia sekarang banyak yang sumbunya pendek, tahu!
Bejo mendekat, lalu mengelus kepala Heru. Namun bukan mengelus lagi. Ada dorongan aneh dalam diri Bejo. Dia nggak puas hanya mengelus. Dia ingin memeluk kepala itu, tapi melihat pelototan Heru itu, Bejo mengurungkan niatnya. Gantinya, dia malah menjambak Heru gemas.
"Sakit, Anjing!" Heru berteriak kesal. Dia benci karena Mas b***t selalu menggusak rambutnya seperti itu. Heru nggak suka. Orang tuanya saja nggak pernah menjambaknya... lah sekarang ada cowok nggak dikenal malah berani melakukan itu! Heru emosi! Nggak terima!
"Anjingku itu, Ru. Ini manusia." Mas Bejo menunjuk anjingnya, lalu menunjuk dirinya sendiri. Sebenarnya Bejo baru saja membawa anjing itu ke rumahnya. Saudaranya sakit dan masuk rumah sakit, jadi nggak ada yang merawat anjing mereka. Karena Bejo nggak mau anjing itu kesepian, jadi dia membawa anjing itu sementara ke rumahnya.
Karena itulah Chiko nggak mau berkunjung ke rumahnya. Chiko takut pada anjing. Bahkan Gigih juga melarang Chiko bertamu ke rumah Bejo.
"Oh, iya... ada apa kamu ke sini? Kangen, yak? Mau ke kamar?" Mas Bejo masih tersenyum iseng seperti biasa.
Heru melotot dan menggeleng kencang. Dia nggak mau masuk ke kandang singa lagi, jadi dia hanya perlu berdiri di sini. Untuk observasi seperti tujuannya semula. Heru mengeluarkan dua kaset dari dalam tasnya, kaset yang sangat berlawanan. Kaset di tangan kanan bergambar cewek seksi, kaset di tangan kiri bergambar cowok macho ganteng. Heru berdehem, lalu mengangkat dua tangannya.
"Mas pilih yang mana? Lebih suka yang mana? Yang kanan, cewek seksi yang mendesah hebat waktu ditusuk. Ukuran dadanya gede, melambai kayak pohon kelapa. Lalu yang kiri... dua cowok tumpang tindih, maen anggar, pedang-pedangan..." Heru meneruskan lagi, "jadi, pilih yang mana?"
Mas Bejo menyentuh dagunya, sok berpikir serius. Padahal dia sudah tahu jawabannya sejak awal, bahkan sebelum Heru mengajukan pertanyaan itu, Mas Bejo lebih tertarik dengan sesuatu.
"Yang tengah, lah!" katanya mantap.
"Mana ada!"
Mas Bejo menunjuk Heru. Heru memang ada di tengah-tengah, di antara dua kaset beda jenis itu. Namun masalahnya, bukan Mas Bejo namanya kalau nggak mencari jawaban sendiri. Juga bukan Heru namanya kalau nggak protes. Jadi, dengan sisa kekesalannya itu, Heru mengajukan protes.
"Aku nggak masuk hitungan!" Heru nggak terima.
"Tapi emang dua kaset itu nggak menarik. Bagusan yang di tengah."
Heru melotot ganas. Jemarinya terulur pada Mas Bejo, namun dia nggak tahu harus bicara apa. Dia hanya tergagap, lalu berbalik untuk pulang. Hari ini Heru gagal lagi membawa sebuah kemenangan. Dia dikalahkan hanya dengan kalimat. Memang Heru itu nggak bakat main fisik, karena itulah dia main kata. Dulu dia merasa di atas angin, namun sekarang baik fisik maupun ucapan... dia kalah.
Dengan hati panas, Heru pulang. Dia pusing sekali! Mungkin Mas b***t memang bukan homo, makanya dia nggak tertarik dengan kaset yang di kiri. Mas b***t juga nggak lurus, buktinya dia nggak berminat dengan cewek seksi d**a melambai gitu! Ah, Heru pusing!
TBC