Rangga masih mengikuti arahan-arahan dari Aletta menunjukkan jalan. Tapi Rangga hafal, ini bukan jalan menuju rumah Aletta.
"Lo mau ke mana, Let?" tanya Rangga bingung.
"Ke kafe, Ga." jawab Aletta lirih.
"Kafe? Ngapain? Lapar ya? Mau makan bareng gue?" tanya Rangga beruntun.
"Enggak." jawab Aletta singkat.
"Terus mau apa?" Rangga semakin penasaran.
"Setiap pulang sekolah gue selalu kerja di kafe sebagai waiters, Ga." jawab Aletta merasa malu kepada Rangga.
Cit...!
Rangga mengerem motornya secara tiba-tiba saat mendengar Aletta bekerja di kafe sebagai waiters.
"Lo kerja sebagai waiters, Let?" tanya Rangga tak percaya.
"Iya, kenapa? Lo malu ya punya teman kayak gue yang cuma pelayan kafe?" tanya Aletta.
"Enggak Let, kenapa gue harus malu. Enggak ada yang salah kan?" Rangga kembali menjalankan motornya lagi.
"Kalau memang lo malu punya teman pelayan kafe kayak gue enggak apa-apa kok. Mending lo jauhin gue." ucap Aletta kencang untuk mengalahkan angin yang berembus.
"Enggak Let, lo enggak usah pesimis begitu."
"Gue cuma merasa enggak pantas saja berteman sama anak orang kaya kayak lo." ucap Aletta minder.
"Jangan ngomong begitu. Oh ya, lo dari kapan kerja di kafe?" tanya Rangga semakin penasaran. Kenapa gadis dalam boncengannya itu rela melepaskan masa mudanya untuk bekerja.
"Dari kelas tiga SMP, tepatnya setelah Bapak meninggal." jawab Aletta mencoba tegar.
"Kelas tiga SMP? Wah, sudah tiga tahun dong. Kok bosnya menerima sih? Kan lo masih di bawah umur."
"Pak Andrean memang baik. Beliau juga teman Bapak semasa sekolah, maka dari itu beliau mau menerima gue."
"Owh, begitu." Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
"Stop Ga, sudah di sini saja." Rangga menghentikan motornya di depan sebuah kafe yang lumayan besar di pinggir jalan.
"Ini kafenya?" tanya Rangga sambil menunjuk kafe di belakang Aletta.
"Iya, thank ya sudah mengantar. Lo hati-hati di jalan pulangnya."
"Gue boleh ngomong sesuatu enggak sama lo, Let?" tanya Rangga berubah menjadi serius.
"Bukannya dari tadi sudah ngomong ya?"
"Ini lain lagi, gue mau bilang kalau gue suka sama lo." ucap Rangga pelan namun pasti sambil menatap kedua mata Aletta.
Aletta kaget akan ucapan Rangga barusan. Aletta tak percaya kalau lelaki itu memiliki rasa untuknya. Aletta kira selama ini hanya menganggapnya sebagai teman satu bangku. Aletta masih diam tak merespons atau menjawab.
"Let, lo mau enggak jadi pacar gue?" tanya Rangga lembut sambil menggenggam tangan Aletta.
"Gue?" tanya Aletta tak percaya.
"Iya, lo." jawab Rangga berusaha meyakinkan.
"Apa yang lo suka dari gue, Ga? Gue enggak cantik, gue enggak kaya, gue cuma pelayan kafe. Gue bukan siapa-siapa." ucap Aletta sambil menundukkan kepalanya.
"Syut... Kenapa lo ngomongnya kayak begitu sih, Let? Cinta enggak butuh semua itu. Cinta cuma butuh hati, dan hati gue memilih lo sebagai wanita yang gue cinta."
"Tap..."
"Gue enggak menerima penolakan, pokoknya mulai sekarang kita pacaran. Lo pacar gue, titik." ucap Rangga menuntut.
"Tapi Ga, lo bisa mendapatkan cewek yang lebih baik dan cantik dari gue." Aletta masih berusaha menolak.
Aletta memang memiliki rasa untuk Rangga. Tapi Aletta takut untuk menjalin hubungan spesial dengan Rangga. Terlebih karena perbedaan mereka, Aletta hanya putri dari tukang cuci baju. Sedangkan Rangga, putra dari pemilik salah satu perusahaan ternama di negeri ini. Bagaimana mungkin Aletta bisa menerima cinta dari seorang Rangga.
"Gue maunya lo yang jadi pacar gue, Let." pinta Rangga lagi.
"Gu..."
"Sudah, pokonya mulai sekarang lo resmi jadi pacar gue." Rangga mengacak-acak rambut Aletta sekilas dan tersenyum sangat manis.
"Gue pulang ya sayang, semangat kerjanya." Rangga mengecup kening Aletta sekilas lalu menaiki motonya dan meninggalkan Aletta yang masih mematung di depan kafe.
"Pacar? Sayang? Semangat?" tanya Aletta pada dirinya sendiri. Aletta masih tidak percaya kalau dirinya resmi menjadi kekasihnya Rangga.
"Aletta sadar, lo siapa dan Rangga siapa." Aletta menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
***
Nathan memasuki rumahnya secara gontai. Entah kenapa energinya hari ini berasa terkuras habis. Padahal Nathan tidak melakukan apa-apa, tidak latihan futsal juga.
"Gue pulang ya sayang." pamit Gama yang berada di ruang tamu.
"Hati-hati ya, Kak Gama sayang." balas Zeline sambil tersenyum malu-malu.
"Masih bocah saja sayang-sayangan." cibir Nathan saat langkahnya terhenti di ruang tamu.
"Sirik saja lo." sembur Gama.
"Sudah, enggak usah pedulikan Kak Nathan. Kal Gama hati-hati di jalan ya." Zeline berusaha melerai mereka.
Nathan hanya geleng-geleng saja, lalu melangkah menuju kamarnya meninggalkan Gama dan Zeline.
"Bye, Zeline sayang." Gama melambaikan tangannya pada Zeline.
"Bye..." Zeline membalas lambaian tangan Gama.
***
Kirei menangis dalam diam di atas ranjangnya. Dirinya merasa malu akan pertanyaan kedua orang tuanya tadi di meja makan.
"Lo kalau mau menangis mending keluar deh, Rei. Berisik tahu enggak." gerutu Kenny yang berbaring di samping Kirei.
"Gue ngantuk, mau tidur." gerutu Kenny lagi.
"Lo kenapa sih, lampir?" tanya Kenny yang terusik akan isak tangis dari Kirei.
Kenny menarik bahu Kirei supaya menghadap ke arahnya, namun Kirei menolak.
"Heh lampir, lo kenapa?" tanya Kenny lagi.
"Diam deh!" bentak Kirei galak.
"Eh buset, gue tanya baik-baik malah dibentak. Apa salah hamba, Ya Allah?"
"Lagian lo kenapa tadi enggak jawab saja belum atau enggak atau apa kek. Kenapa lo malah nyengir?" marah Kirei pada Kenny.
"Oh, lo menangis gara-gara tadi?"
"Lo kira gara-gara apaan lagi?" Kirei berganti duduk dan mengusap air mata juga ingusnya.
"Ya gue juga bingung mau jawab apa. Kalau gue jawab belum pasti mereka bakal tanya lagi nantinya. Ya sudah gue nyengir saja. Lagian kan mereka menyangka sudah, jadi enggak akan ditanya-tanya lagi."
"Ya tapi kan gue malu, Ken."
"Ya sudah sih, buktinya bagaimana? Gue enggak apa-ngapain lo kan? Yang penting bikin mereka diam saja dulu." Kenny berusaha menenangkan Kirei.
"Ya tetap saja gue malu meski pun memang kita enggak ngapai-ngapain. Dengan mereka menganggap sudah kan mereka berpikirnya kalau kita memang sudah melakukan itu."
"Sudah Rei, enggak usah menangis lagi. Lagian ini ya, kalau mereka tahu kita benar-benar melakukan itu, mereka enggak akan larang atau marah. Mereka enggak akan meledek kok."
"Lo malu enggak?" tanya Kirei menatap Kenny.
"Malulah, tapi ya mau dibagaimanakan lagi. Memang sudah sewajarnya yang menikah selalu melakukan hubungan itu kan." Kenny hanya mengedikkan bahunya saja.
"Jadi, lo berharap kalau kita juga kayak pasangan yang lain?" tanya Kirei.
"Dih, siapa yang ingin kayak begituan sama lampir macam lo." Kenny bergidik ngeri melihat Kirei.
"Kenny! Lo ngeselin banget sih." Kirei menimpuk tubuh Kenny menggunakan guling di sebelahnya.
"Duh, aduh... Aw... Sakit, Rei." Kenny terus saja berusaha menghindar dari amukan Kirei.
"Puas lo, biar tahu rasa." Kirei menghentikan aksinya lalu kembali berbaring.
"Eh, Rei." panggil Kenny lagi.
"Apaan lagi sih." geram Kirei kesal.
"Tapi kalau lo mau kasih juga enggak apa-apa kok. Gue ikhlas lahir batin menerimanya." goda Kenny menahan tawa.
"Sampai lo mampus, enggak akan gue kasih. Lebih baik gue jadi perawan tua dari pada harus merelakan ke cowok kayak lo." sembur Kirei kesal.
Kirei menarik selimutnya dan menutup tubuhnya sampai kepala.
"Yakin enggak mau, Rei? Mumpung di luar lagi hujan ini. Kan dingin tuh, butuh yang hangat-hangat kan." goda Kenny lagi.
Kirei diam tak merespons. Kirei hanya ingin tidur siang ini. Tubuhnya serasa pegal semuanya.
"Yakin enggak menyesal, Rei? Penawaran enggak datang dua kali loh."
"Lo berisik sekali lagi, gue tendang lo dari atas kasur." ancam Kirei kejam.
"Nasib gue begini amat ya, punya istri galak banget. Hujan-hujan, dimanja kek, disayang kek, dielus-el...."
"Kenny! Berisik oon!" teriak Kirei membuat Kenny langsung kicep tak berani mengeluarkan suaranya lagi.
***
Next...