Pindah

1093 Kata
Hidup Sabine berubah sejak Mama Carmen tiada. Sekarang dia tinggal bersama keluarga Mama Lita yang tempat tinggalnya berada di daerah Kemang. Mama Lita yang sebelumnya tinggal di Melbourne bersama dua anak perempuannya, langsung berangkat menuju Jakarta begitu mendengar kabar duka suami dan madunya. Dirinya sangat terpukul. Betapa tidak, Lita sangat mencintai suaminya. Tapi ternyata suaminya malah meninggalkannya untuk selama-lamanya bersama istri keduanya, Carmenita Azhar. Bahkan mereka merayakan ulang tahun pernikahan mereka di Singapore sebelum ajal menjemput. Sudah hampir dua bulan Mama Lita dan keluarga kecilnya berada di kediamannya di daerah Kemang. Sabine pun ikut dengannya. Kini mereka sedang membicarakan masalah penjualan aset-aset keluarga Mahfouz, juga harta yang dimiliki Carmen. Rencananya akan mereka jual semua, dan kemudian pindah kembali ke Melbourne. Karena dua anak perempuan Lita lebih senang tinggal di Melbourne. Bu Lita pun akhirnya menyetujui keinginan mereka. Namun, ada yang disesali Sabine. Sabine tidak ikut serta. “Kenapa aku nggak bisa ikut, Ma?” protes Sabine bertanya. Dia sedih karena tidak diajak ke Melbourne bersama Mama dan kedua kakaknya. “Kamu pikir proses ke sananya gampang apa? Perlu uang, Sabine,” sela Silvi. Dia adalah kakak Sabine yang paling anti dengan Sabine. “Kan aset-aset Papa dan Mama Carmen sudah dijual semua … bisa buat biaya hidup aku kan?” sanggah Sabine. “Itu buat lunasin mortgage di sana, Sabine. Kamu kira kira tinggal di emperan apa? Kamu kan udah biasa tinggal di Jakarta. Kalo kita kan biasa di sana. Sekolah kita di sana. Kamu sudah biasa sekolah di sini. ngapain ikut-ikut segala?” bela Olive. “Nggak adil buat aku! Aku juga berhak!” Sabine tetap tidak terima. “Eh! Kutu. Kamu masih kecil. Nggak pantes ngomongin harta warisan,” hardik Silvi. “Sudah! Sudah! Ayo, Sabine. Sini Mama jelasin,” Mama Lita merangkul bahu kecil Sabine dan mengajaknya menjauh dari kakak-kakaknya. “Sabine. Dengerin Mama. Kamu tetap tinggal di sini sama Bude Rita. Sekolah kamu juga sudah diurus Bude di sana. Mama sudah titip kebutuhan kamu, jatah kamu juga sampe kamu kuliah. Mama harap pengertian kamu Sabine,” bujuk Mama Lita. Sabine memandang nanar wajah mamanya. “Mama nggak adil. Kenapa Mama benci sama aku? Why?” Mama Lita menghela napas panjang. “Dari dulu aku minta sama-sama, tapi nggak pernah Mama gubris. Aku anak siapa, Ma?” “Sabine. Please, Sayang. Urus ke sana itu butuh proses yang cukup lama. Mama harus kerja, kakak-kakakmu juga masih kuliah. Butuh uang untuk biaya mereka. Kalo kamu juga ke sana … berarti Mama juga harus lebih keras bekerja,” Sabine terdiam. Dipandangnya wajah mamanya iba kali ini. “Apa kamu nggak kasihan sama Mama? Nanti kalo kakak-kakakmu selesai kuliah, mereka bekerja, nanti mereka pula yang akan biayai sekolah kamu,” Sabine masih diam. Tidak yakin dengan bujukan mamanya. Dia melirik kakak-kakaknya yang tengah memandangnya sinis dari kejauhan, lalu memandang mamanya yang sedikit menunjukkan kesedihan. Sabine pasrah. Dia akhirnya menerima pendapat mamanya kali ini. *** Kini Sabine tinggal di sebuah rumah bedeng yang ditempati kakak Mama Lita, Bude Rita. Lokasi rumahnya memasuki sebuah gang sempit, yang hanya bisa dilalui dengan kendaraan roda dua. Sekolah Sabine pun juga tidak lagi yang bertaraf internasional seperti sebelumnya. Sabine harus cukup puas disekolahkan di sebuah SMP negeri yang lokasinya cukup dekat dari rumah, dan bisa dilalui dengan berjalan kaki. Awalnya Sabine keberatan dengan keadaan yang harus dia hadapi. Tapi dia menyadari bahwa kehadirannya memang sangat tidak diharapkan Mama dan dua saudaranya. Jadi untuk apa memaksakan kehendak. Sabine pasrah saja. Untungnya Bude Rita adalah wanita yang sangat baik. Meski renta dia masih bisa berjualan kue di pagi hari di depan rumahnya. Kini Sabine sering membantunya. Di rumah itu juga ada Pakde Yono, suami Bude Rita. Pakde Yono pun juga orang yang sangat baik. Sabine cukup betah tinggal dengan mereka. *** “Sabine! Lo pindah ke mana?” Bella menghubungi Sabine suatu sore. “Di Pondok Cabe. Gue pindah sekolah negeri, Bel,” Terdengar helaan napas kecewa dari Bella. “Kasian banget nasib lo, Sab,” “Haha, biasalah. Lo gimana di sana? Aman? Katie?” “Gue sih aman. Cuma Katie baru putus cinta. Merana dia sekarang,” “Kok bisa putus? Kan udah lama pacarannya,” “Kevin punya WIL, Wanita Ileran, yang ngiler liat cowok ganteng kayak Kevin,” Sabine tergelak. Dia bukannya prihatin dengan nasib Katie, malah tertawa karena mendengar cara bicara Bella yang terkesan konyol. “Tapi, Sab. Katie tetap semangat belajar. Nggak sedih-sedih amat dia. Malah makin tebar sepona. Hehe … lo tau ndiri dia gimana,” Sabine tertawa kecil. Katie memang memiliki kepribadian kuat, pun Bella. “Bella, janji ntar kita satu sekolah SMAnya ya? Gue harus dapetin nilai tinggi nih, biar masuk sekolah negeri di Jakarta. Janjian kita ya?” Terdengar suara Bella bersorak gembira mendengar usul Sabine. *** Niko menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Sabine. Dia tampak sangat gagah sekarang. Sejak menikah dan bekerja, Niko memang sangat berubah, terutama dilihat dari segi penampilannya. Wajarlah, sebagai konsultan keuangan yang kerap bertemu dengan klien dari kalangan jetset, Niko harus terus menjaga penampilannya agar tetap prima. Niko merasa de javu saat memencet bel mesin penjawab. Dia masih ingat saat pertama kali berdiri di depan rumah cantik milik Mama Carmen itu. “Ya, cari siapa? Ada janji?” terdengar suara dari mesin penjawab. “Niko, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Sabine,” jawab Niko sopan. “Sabine? Nggak ada yang nama Sabine di sini,” Niko terperanjat mendengar jawaban dari mesin penjawab. “Hm, ini rumah Carmenita Azhar kan?” tanya Niko heran. Tidak ada jawaban. Tapi sepertinya pagar dibuka otomatis dengan sengaja. “Silakan masuk, Mas,” *** Bukan main terkejutnya Niko setelah mendengar penjelasan dari pemilik rumah baru bahwa Mama Carmen dan Pak Baskoro meninggal dalam kecelakaan pesawat dari Singapore menuju Jakarta beberapa bulan lalu. “Kasian anaknya, Mas. Denger cerita tetangga, anaknya sendirian di Bandara sedang menunggu kedatangan mamapapanya dari Singapore. Dia pulang tengah malam sendiri. Menangis di pojok sana. Pembantunya sedang pulang kampung. Anak itu nginap di pos satpam. Besoknya baru kita-kita pada tahu apa yang terjadi pada anak itu. Saya saja tidak sanggup membayangkannya,” tutur Ibu pemilik baru rumah Bu Carmen. Dia menyeka matanya dengan ujung jilbabnya. Ternyata rumah Bu Carmen dibeli ibu itu yang tidak lain adalah tetangga beda dua rumah dari rumah Bu Carmen. Rumah itu memang dijual dengan harga yang sangat murah oleh Bu Lita. Karena Bu Lita membutuhkan uang untuk biaya anak-anaknya kuliah di Melbourne juga melunasi cicilan rumahnya di sana. Niko ikut menangis. Pandangan mengitar halaman rumah Sabine sambil mengingat-ingat apa yang dulu dia lakukan bersama gadis malang itu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN