Perpisahan

953 Kata
Tiba-tiba matanya terasa sangat panas. Sabine sudah tidak sanggup lagi menahan tangis. Niko lalu memeluknya. “Sabine. Ini bukan berarti kita pisah. Terus nggak ketemu lagi. Kita masih bisa ketemu, jalan-jalan kayak dulu. Kamu nggak musti sedih, Sayang.” Sabine menggigit bibirnya. Dia terus terisak. “Aku takut nggak ketemu laki-laki kayak Om Niko. Yang ngerti aku,” lirihnya. “Yah, jangan takut. Itu cuma perasaan kamu saja. Awal-awal pasti berat. Tapi lama-lama kamu akan terbiasa. Oke? Om sayang kamu,” ujar Niko sambil mengusap kepala Sabine. “Kamu pasti ketemu dengan laki-laki yang pantas, yang baik, karena kamu gadis baik. Ok? Jaga diri ya? Besok jangan lupa datang sama Mbak Erni, juga Mama Carmen. Dandan yang cantik kayak dulu pas kamu hadir di wisuda Om.” Sabine mengangguk. Perasaannya berangsur tenang. Apalagi Niko mengecup kepalanya berulang-ulang dan memeluknya erat. Sabine terus memandang wajah Niko di tengah tangisnya. Ingin sekali bibirnya dikecup seperti yang pernah Niko lakukan sebelumnya. Tapi Sabine tidak kuasa untuk meminta, karena dia sangat tahu, Niko tidak akan mau memenuhinya. Daripada dia akan merasa kecewa karena permintaannya ditolak nanti, lebih baik dia urung memohon. Sabine hanya mampu menahan diri saja. “Udah. Jangan nangis ya?” bujuk Niko sambil mengusap air mata Sabine yang terus mengalir di pipi mulusnya. “Iya, Om,” desah Sabine. Perasaannya berubah hangat. *** Sungguh sendu malam itu bagi diri Sabine. Bukan karena pernikahan Niko dengan Evi. Bukan. Tapi Sabine sedih karena Niko tidak akan lagi mendampinginya belajar. Tidak akan lagi membacakannya cerita di tiap-tiap malam menjelang tidur. Tidak akan lagi menemaninya makan di dapur. Lebih menyedihkan lagi baginya, membayangkan kamar Niko yang sebentar lagi akan kosong. Sabine terus menerus menangis di malam menjelang pernikahan Niko dan Evi. Tidak seperti gadis-gadis lain yang memiliki ayah dan menganggap ayah mereka adalah cinta pertama mereka. Bagi Sabine, Niko adalah cinta pertamanya. Niko adalah lelaki pertama yang sangat dekat dengannya. Lelaki pertama yang menyentuh tubuh dan jiwanya. Lelaki pertama yang memahami perasaan dan keinginannya. Niko adalah segala-galanya bagi hidup Sabine. Laki-laki itu akan pergi. Sabine memeluk boneka lolnya erat-erat. Menangis sejadi-jadinya. Sepuas-puasnya. Berharap ini malam terakhir dia tumpahkan seluruh perasannnya. Berharap esok dia tidak menangis lagi. Berharap kuat melihat cinta pertamanya bersanding esok hari. *** Sabine memang gadis kuat. Dia tetap cantik saat menghadiri pernikahan Niko dan Evi. Bu Carmen memaklumi jika Sabine sedih. Wajar, Sabine sangat dekat dengan Niko. Tapi mengenai perasaan yang tidak biasa Sabine terhadap Niko, hanya akan menjadi rahasia antara Sabine dan Niko. Sabine cukup menyadari bahwa dirinya memang terlalu muda untuk memiliki perasaan cinta terhadap lelaki yang jauh lebih tua dari usianya. Dia pun memutuskan untuk menyimpan rahasia cinta dan kecupan pertamanya dari Niko rapat-rapat di hatinya. Sabine mantap menghadiri pernikahan Niko. Dan Niko senang melihat gadis itu tersenyum saat menyalaminya di pelaminan. Sabine pun dipeluk Evi erat. “You’re still sad, but I know you’re a strong girl,” ujar Evi saat memeluk Sabine. Sebelum mengucapkan ijab kabul tadi, Evi sempat menanyakan Niko tentang perasaan Sabine. Niko pun mengungkapkan bahwa Sabine sangat sedih. Evi memakluminya, karena hubungan keduanya memang sangat dekat. “Iya, Tante. Tapi aku sudah besar sekarang,” jawab Sabine penuh senyum. Dia tidak lupa menunjukkan senyum manisnya ke Niko. Sabine pun berlalu dari pelaminan. Entah kenapa perasaan Niko lagi-lagi sangat kacau saat melihat punggung kecil itu melangkah jauh dari tempatnya berdiri. Apalagi ternyata Sabine langsung mengajak Erni dan Bu Carmen pulang. Berulang kali dia usir perasaan aneh yang menyusup dirinya. Tidak tahu kenapa tiba-tiba dia merasa ingin mendekap gadis kecil itu lagi. Niko memejamkan matanya sejenak dan mengambil napas dalam-dalam, mengatur perasaan yang sungguh tidak dia harapkan singgah di saat pernikahannya. *** Tentu saja malam pertama dilalui Niko dengan perasaan gundah. Bayang-bayang wajah Sabine selalu menari-nari di benaknya. Tapi dia tetap menunjukkan wajah penuh senyum ke Evi, istrinya. Sudah seminggu Evi dan Niko menghabiskan bulan madu mereka di pulau Bintan. Wajah keduanya sangat cerah selama berada di sana. Apalagi Evi, dia senang sekali dimanja Niko. Niko tidak pernah bosan melayani keinginan Evi. Hingga Evi benar-benar larut dalam perasaan cinta yang sangat dalam terhadap diri Niko. Niko adalah lelaki sejati, sekaligus cinta sejati bagi diri Evi. Namun, malam terakhir di pulau Bintan, Niko menghabiskan malamnya dengan duduk-duduk di balkon kamar hotel yang dia sewa sambil merokok. Cukup lama dia menghabiskan waktu termenung sambil melepas pandangannya ke arah laut. Tentu saja ini mengundang reaksi aneh dari istrinya. Evi pun menghampirinya. “Kenapa, Nik?” tanyanya hati-hati. Niko sedikit kaget. Dia matikan rokoknya dengan cepat. “Nggak papa. Tiba-tiba ingat Sabine,” tanggap Niko sambil mendudukkan tubuh Evi di pangkuannya. Kemudian Niko memeluk tubuh Evi dan mengecup-ngecup pipi Evi penuh rasa sayang. “Kok?” delik Evi heran. “Ya, ingat anak itu aja,” gumam Niko. Dia menghela napas berat. “Sepertinya wajar sih Sabine sedih pas kamu berhenti mengurusnya. Dia juga sayang banget sama kamu. Dia kehilangan sosok ayah dari kecil. Lalu ketemu kamu yang mengurus hidupnya. Yang menyayanginya. Pasti Sabine sedih banget. Aku bisa ngebayangin, juga merasakannya. Sepi, sendiri, di rumah yang besar. Jadi ikut sedih ingat Sabine.” Niko tersenyum. “Mungkin awal-awal sedih. Ntar lama-lama juga hilang sedihnya. Aku yakin Sabine sudah senang sekarang. Temannya sudah ada beberapa yang dia ajak main ke rumah. Dia nggak akan kesepian lagi, Vi.” Niko mengecup bibir Evi bertubi-tubi. “Aku yakin dia baik-baik saja. Aku sudah membimbingnya. Hanya sekarang, nggak tau tiba-tiba teringat dia saja. Kangen sama celoteh dan manjanya dia.” Evi tergelak. Sabine memang sangat menggemaskan. Cukup sering dia bertemu dengan gadis itu, khususnya di awal-awal bulan saat menerima gaji. Sabine senang diajaknya jalan-jalan. “Ntar kalo punya anak perempuan. Aku pinginnya kayak dia, cantik, pintar, penurut.” Niko menjawil hidung Evi dan menggigit-gigit kecil. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN