Sabine terlihat santai dengan rokoknya di sebuah warung kopi kecil dekat dengan sekolahnya. Seragam sekolah yang masih dia pakai tertutup dengan jaket hitam seadanya. Ada juga gelas berisi kopi hitam pekat di hadapannya.
“Nunggu Bella ama Katie, Sab?” tanya Bu Ida, penjaga warung kopi sambil membersihkan meja yang ada di sebelah Sabine duduk. Bu Ida memang sangat mengenal Sabine, karena Sabine adalah salah satu pelanggan tetap di warungnya.
“Iya, Bu. Biasa ... tumben sepi ya?”
“Yaa, mungkin karena masih pada kejar setoran tuh kuli-kuli,”
Tak perlu menunggu satu rokoknya habis, sebuah mobil mewah meluncur cantik dan berhenti di depan warkop Bu Ida. Dua orang gadis cantik turun dari mobil tersebut sambil tertawa centil.
“Dah lama nunggu, Sab?” tanya Bella basa basi.
“Bentar doang,” balas Sabine cuek sambil menghisap rokoknya yang tinggal setengah batang.
Bella duduk di hadapan Sabine, sementara Katie pergi menuju Bu Ida dan memesan sesuatu.
“Gimana? Udah mantap keputusan lo?” tanya Bella sambil mengeluarkan rokoknya dan menyodorkan ke arah rokok Sabine yang masih menyala.
“Ya. Gimana lagi? Pakde gue sakit-sakitan melulu. Lama-lama nggak tega juga gue liatnya,” jawab Sabine setelah menyalakan rokok Bella lewat rokoknya. Lalu dia menyambut dua kopi s**u yang dibawa Katie.
“Wah, self-service, diskon dong Bu Ida!!” teriak Bella cuek.
“Enak aja lo! Udah murah ni gua kasih harga! Biasa lo lo anteng banget bayar di café-café mahal,” pekik Bu Ida dari dalam warungnya. Katie dan Bella hanya tersenyum simpul mendengar pekik Bu Ida.
Katie dan Bella duduk di kelas 12 di SMA yang sama. Awalnya Sabine juga mendaftarkan diri di SMA mereka, tapi karena lokasinya lumayan jauh dari rumah Bude Rita, Sabine memilih di SMA Negeri terdekat. Biar tidak berat di ongkos.
“Awal gue mikir sih, Bel. Tapi ya, gue juga nggak mau hidup gue begini-begini terus. Lagipula juga nggak ada yang peduli ma gue,” keluh Sabine sambil menekan-nekan rokoknya yang sudah habis. Lalu diseruputnya kopi hitam pahitnya.
Bella prihatin mendengar alasan Sabine.
“Gitu dong, ntar gue kasih tips-tips jadi sugar baby yang bisa bikin pusing Om o*******g kalo mereka nggak ketemu kita-kita. Ya nggak, Ket?” Katie terkekeh mengiyakan.
“Dari dulu gue tawarin lo, Sab. Pake mikir segala. Kita nih punya problem sama. Orang-orang yang hidupnya kagak jelas,” lanjut Bella.
“Iya, Sab. Coba aja. Lo kan butuh duit. Jadi sugar baby aja. Hm, kayak gue nih, bentar lagi gue dapet jatah I-phone terbaru. Tipe paling tinggi. Tinggal kontak … asyik-asyik sama Om Beni. Hm, kerja enak, duit banyak,” celoteh Katie.
Sabine senyum-senyum.
“Lo lo dapetin info Om o*******g dari mana, coy,” tanyanya.
“Lo mau ikut nggak?”
Sabine mengangguk sambil tersenyum menyeringai.
“Lo nggak usah khawatir. Kita bisa atur. Lo ikut kita ke café tempat biasa nongkrongnya Om o*******g. Ntar gue yang nanya g***n gue, apa masih ada bokap asuh buat lo,” timpal Bella sambil menyeruput kopi susunya.
“Pengalaman pertama rasanya gimana sih?” tanya Sabine. Ada sedikit perasaan ngeri di benaknya. Menjadi peliharaan para p****************g bukan keinginannya sama sekali. Tapi karena dia butuh uang dan memikirkan Pakde Yono yang sakit-sakitan. Sabine pun tidak tahan. Setiap malam mendengar rintihan Pakde Yono yang kamarnya bersebelahan dengan kamarnya, sangat menyiksa batin Sabine.
Sabine pun merasa dirinya menjadi beban mereka selama tinggal di sana. Karena mereka pun harus bekerja keras memenuhi kebutuhan sekolah Sabine, karena Mama Lita sudah enam bulan tidak lagi mengirimkan uang buat Sabine.
“Ya awalnya sih ngeri kalo gue. Nggak tau kalo Bella yang udah biasa sama Sapta nge s*x di kosan,”
“Lah iya dong, biar fasih bercinta. Jadi pengalaman, nggak kayak lo, nangis-nangis habis dipecahin perawan ama Om Beni lo,”
“Habis tititnya gede banget. item,”
“Hahahaha,”
“Tukeran dong. Punya Om Ikhsan kecil … terpaksa nyari gaya yang pas. Gaya gue gitu-gitu aja tiap kencan. Nggak asyik,”
“Najis!”
“Kita udah jadi najis, Kucing!”
Sabine menggeleng-geleng melihat celoteh dua sahabatnya.
***
Evi mengusap-usap punggung Niko saat Niko membuka surat dari dokter Andrologi. Niko dinyatakan memiliki gangguan kesuburan di sistem reproduksi dan fungsi seksualnya. Harapan memiliki anak sepertinya pupus sudah.
“Maaf, Sayang. Mungkin ini jawabannya kenapa kita sulit memiliki anak. Aku minta maaf jika selama ini selalu menolak diperiksa,” ucap Niko seraya membuka kacamatanya dan menyeka keningnya.
Hampir enam tahun lebih Niko dan Evi menunggu kehadiran buah hati. Selama itu juga mereka sudah melakukan berbagai macam usaha, namun tidak membuahkan hasil. Sebelumnya Evi sudah memeriksakan dirinya ke dokter kandungan. Hasilnya tidak ada gangguan di kandungannya, malah semuanya dinyatakan sangat sangat normal. Hasil pemeriksaan terhadap kandungan Evi tersebut justru membuat Niko menjadi tiap siap untuk diperiksa, khawatir tidak siap dengan hasilnya.
Akhirnya, Niko pun memutuskan untuk memeriksakan dirinya. Ini karena hampir setiap malam menjelang tidur, Evi selalu tampak sedih dan sering membuka-buka laman mengenai berbagai cara agar memiliki keturunan.
“Nggak papa, Niko,” ucap Evi lirih.
“Maaf,” ucap Niko sekali lagi. Lalu dengan langkah gontai dia menuju ke balkon kamar, duduk termenung, lalu menyalakan rokok.
Evi hanya memandang nanar punggung Niko. Sedikit menyesal karena kerap menyuruh Niko memeriksakan diri. Dia sebenarnya hanya berharap Niko bisa menerima kenyataan dan mau mengikuti saran-saran dari dokter. Tapi sepertinya hasil pemeriksaan yang sudah diterima malah membuat perasaan Niko sangat terpukul dan tidak lagi percaya diri.
***
“Jika kamu memang sangat menginginkannya. Kita bisa pisah baik-baik. Kamu normal, Sayang,”
“Aku nggak mau, Niko. Aku nggak sanggup pisah,”
“Aku juga nggak mau jadi beban kamu terus menerus, Evi,”
“Kita cari jalan lain. Pasti ada, Niko,”
“Sampai kapan? Kamu lelah nanti,”
Niko memandang wajah istrinya lamat-lamat. Sungguh dia tidak ingin menjadi penghalang bagi Evi yang menginginkan seorang anak.
“Niko. Aku mau menunggu,”
“Sampai kapan, Sayang?”
Evi menggelengkan kepalanya.
“Aku belum siap. Please, jangan bicarakan tentang pisah. Aku nggak mau,” isak Evi lalu memeluk Niko erat-erat.
“Mungkin memang seharusnya aku memeriksakan diri sedari dulu. Ini sudah enam tahun lebih,” ujar Niko sambil membelai rambut Evi dan mengecup kepala Evi berulang-ulang. “Usiamu semakin bertambah, Sayang. Aku malah takut kamu nggak punya kesempatan lagi untuk memilikinya,” lanjutnya. Suara Niko terdengar sangat serak.
Pasti sangat berat bagi keduanya. Sebelum menikah, mereka menjalin kasih selama lima tahun, lalu menikah. Dan kini usia pernikahan mereka sudah hampir memasuki tahun ke tujuh. Berpisah sangatlah tidak diinginkan keduanya. Karena mereka saling sayang dan cinta.
Evi mengeratkan pelukannya. Bimbang sudah menyelimuti jiwa dan raganya. Tidak sanggup membayangkan berpisah dari Niko, namun di sisi lain dia sangat menginginkan seorang anak.
Bersambung