Part 6

1308 Kata
Aska dan Nindi sudah tampak masuk ke dalam rumah Pak Rahmat dan Bu Aini mengikuti Nirmala. Sedangkan kedua body guard yang turut bersama mereka tetap berjaga di luar. Paman dan Bibi Nirmala keluar dari arah dalam rumah dan menyambut para tamu di ruang tamu. Mereka terlihat berbasa-basi sebentar. Bersalaman, berkenalan, kemudian duduk. "Masya Allah." Rahmat Memekik, membuat istrinya dan Nirmala yang di sana juga tampak terkejut. "Di dalam sini, sudah ada buku tabungan berisi dana pembangunan pesantren. Kartu ATM dan Pin ATM-nya, setiap bulan, setiap tanggal satu, anda bisa mengambil dana di dalam ATM tersebut." Jelas Nindi lagi sembari menyerahkan amplop berlogo sebuah bank. Pak Rahmat membuka amplop yang di sodorkan Nindi dan membuka buku tabungan ATM tersebut. "Astagfirllahalazdim, nak Nindi. Apa ini tidak terlalu berlebihan, jumlah ini besar sekali." Pekik Rahmat lagi, yang lagi-lagi terkejut. Bu Aini meraih buku tabungan dari tangan suaminya. "Masya Allah." Terkejut kemudian menunjukkanya pada Nirmala yang duduk di sampingnya. "Benar, Aska. Apa ini enggak berlebihan? Kami hanya menolongku semalam." Jelas Nirmala kali ini. "Berlebihan gimana? Aku juga enggak tahu berapa jumlahnya." Sahut Aska. Aska yang nampak penasaran, segera ingin beranjak dan ingin turut mengintip isi buku tabungan tersebut. Tapi keburu di cegah oleh Nindi. Aska memasang wajah sedikit kesal. "Kenapa?" Bisiknya lirih. Nindi hanya menggeleng samar dan menyuruh Aska untuk duduk kembali, dan Aska terpaksa menurutinya. "Saya hanya melaksanakan perintah dari Tuan besar saja, Pak. Karena menurut beliau, jumlah itu tak sebanding dengan keselamatan putranya." Nindi mencoba meyakinkan. "Saya harap om sama Tante bisa menerima ucapan terimakasih dari mamah dan papah saya, ya?" Bujuk Aska menambahkan. "Mereka akan sedih kalo sampai om dan Tante menolaknya." Rahmat dan Aini saling menatap. "Saya mohon...," Ucapnya lagi. "Ini rejeki untuk pesantren ini, Pak." Tambah Nindi. Rahmat menatap instrinya sekali lagi. " Gimana Uma?" Aini mengangguk. "Yasudah, trima saja, Pak. Mungkin benar ini rejeki untuk pesantren ini, Aba." Jawabnya sembari tersenyum terharu. *** Nirmala, Aska dan Nindi sudah tampak keluar rumah. Dan mereka tampak sedang bercakap-cakap. "Sampaikan terimakasihku pada kedua terimakasihku pada kedua orang tuamu, Aska. Maaf aku enggak bisa mengucapkannya secara langsung. Nanti jika Allah mengizinkan aku kembali ke Jakarta, mungkin aku akan mampir kesana dan berterimakasih langsung pada orang tuamu." Ucap Nirmala pada Aska. "Memangnya kamu mau kemana?" Tanya Aska Penasaran. "Aku harus kembali ke Jogja. Kemarin orang tuaku sudah duluan pulang." Jawab Nirmala Tersenyum. Oh, pantas aku enggak lihat mereka dari tadi. " Terdiam sebentar. "Kalo kamu Kapan?" Menatap sendu. "Besok, subuh-subuh." "Enggak kecepetan, tuh?" Nirmala terkekeh melihat wajah Aska yang sepertinya sedang kesal. Nirmala menggeleng. "Enggaklah, aku malah ngerasa udah terlalu lama disini." "Tapi aku belum puas ketemu kamu." Tiba-tiba Aska terdiam, canggung karena merasa terlalu terus terang. "Em... Maksudnya, kamu enggak lupa kan? Pernah punya janji buat ngajarin aku ngaji?" Ralatnya sembari menatap Nirmala dengan tatapan merajuk. "Aku akan menunggumu sampai selesai shalat magrib." Bujuknya lagi belum ingin menyerah. "Tapi, tuan muda. Tuan muda tidak lupa kan ada acara makan malam di rumah papah saya." Min menyela berusaha mengingatkan. "Aku enggak ikut." Sahut Aska ketus. "Lagian kamu kenapa sih selalu panggil aku tuan muda. Enggak enak tahu di dengernya? Kamu pikir ini drama Korea? Ini Indonesia. Udah ku bilang panggil nama aja." Lanjutnya dengan suara lirih ke arah Nindi. Nindi hanya menatap datar ke arah Aska. Sedangkan Aska memutar bola mata malas. "Jangan tunda urusanmu, Aska." Ujar Nirmala. Aska mengeriyitkan dahinya. "Aku enggak bisa nepatin janjiku hari ini, aku juga ada urusan di pesantren yang enggak bisa aku tinggalin." Jelasnya. "Tapi aku udah lama banget nunggu kamu." Matanya menatap mengiba. "Allah belum mengizinkan hari ini." Jawab Nirmala. Keduanya terdiam dan hanya saling menatap. Tak lama Nirmala menyunggingkan senyum tipis. "Udah ku bilang kan, kamu ganteng pake kopyah." Puji Nirmala. Wajah Aska seketika memerah dan tersenyum malu-malu. "Kamu bisa aja." Aska membuat gerakan tangan seolah ingin mencubit pipi Nirmala karena gemas. Nirmala reflek menghindar dan mundur ke belakang. "Aku sudah wudhu, dan kita tidak boleh bersentuhan karena bukan mahrom." Jelasnya sebelum Aska salah paham. "Oooh... Maaf." Jawab Aska merasa malu. Kemudian menggaruk kepalanya sendiri yang tak gatal. Nirmala mengangguk. Aska reflek melirik Nindi yang masih berdiri di sisinya. Kemudian kembali berkata lirih pada wanita itu. "Kamu bisa enggak tinggalin kami sebentar, aku masih mau ngomong sama Mala. Kamu tunggu di mobil aja bisa kan?" "Baik, tuan muda." Ucap Nindi datar. Nindi melirik ke arah Nirmala sebentar lalu beranjak masuk ke dalam mobil. "Astaga, Masih aja manggil tuan muda, kebanyakan nonton drakor kayaknya tuh anak." Gumamnya lirih setelah Nindi berlalu dari sisinya. Kemudian tatapan Aska kembali fokus ke arah Nirmala lagi. "Terus, kapan kita bisa ketemu lagi?" Ucapnya penuh harap. "Nanti kalo Allah mengizinkan." Ucap Nirmala sembari Tersenyum. Aska mendengus sedikit kesal. "Deh... Pasti deh. Bisa enggak kamu enggak ribet, mending kita tukeran nomer Hp sekarang, biar kita bisa janjian buat ketemuan." Nirmala sontak menggeleng. "Aku enggak mau terlalu berharap dan memberi harapan. Jadi biarkan Allah saja yang mengatur pertemuan kita yang selanjutnya, pasti Dia tidak akan mengecewakan hambanya." Aska terdiam dan mencoba memahami perkataan Nirmala yang selalu berhasil membuatnya berpikir keras. "Aku pastiin kita bakal ketemu lagi, aku bakalan cari kamu." Aska berkata dengan nada menggebu. Nirmala terkekeh kecil. "Terserah kamu aja." "Kamu liat aja, aku enggak bercanda." Nirmala menahan tawa. "Aku enggak pernah nganggep kamu bercanda." Aska kembali terdiam dan menatap Nirmala yang masih tersenyum. "Kenapa?" Tanyanya . Kamu manis banget. Aska membatin. Aska menggeleng. "Pokoknya kamu harus ngajarin aku ngaji kalo kita ketemu lagi." Sahutnya untuk menutupi gejolak hatinya. "Insya Allah." Keduanya sudah ada di ujung pembicaraan. Dan mereka kini hanya saling terdiam dan menatap. Sampai pada akhirnya suara bedug yang di susul azan magrib berkumandang dan membuyarkan pikiran mereka masing-masing. "Aku harus segera ke masjid." "Apa kita enggak bisa ngobrol lebih lama lagi?" Matanya terlihat penuh harap. Nirmala menggeleng. "Allah udah manggil." Aska merasa sedikit kecewa. "Nanti kalo kita ketemu lagi, aku harap kamu akan punya banyak waktu buat aku." "Kalo begitu, minta saja sama Allah. Biar kita bisa ketemu di waktu yang tepat." Tersenyum. Aska hanya bisa menghela nafas panjang. Ternyata Nirmala memang cukup sulit untuk di dekati. "Pulanglah, hati-hati di jalan." Ucap Nirmala lagi. Aska mengangguk. "Iya... Aku balik Yach, daaah..." Aska melambai dan segera membalik tubuhnya menuju mobil. "Assalamualaikum." Ralat Nirmala. Menyahut dari balik punggung Aska. Langkah Aska seketika terhenti, ia terhenyak dan merasa tersindir. Kemudian ia membalik tubuhnya menghadap Nirmala. "Assalamualaikum, Mala." Aska ikut meralat ucapannya sembari tersenyum malu. "Wa'alaikumsalam." Balas Nirmala lagi. Aska melanjutkan langkahnya masuk ke dalam mobil. Nirmala menatap kagum melihat Aska yang di perlakukan layaknya pangeran oleh para pengawalnya. Nirmala sampai tidak sadar ada Aini yang sudah berdiri di sisinya. Nirmala masih menatapi mobil Aska yang sudah bergerak menjauh. "Ada apa, Mala?" Selidik Aini yang melihat Nirmala masih menatap ke arah gerbang pesantren. Tepat saat mobil Aska baru saja keluar dari sana. Nirmala sedikit terhenyak kaget. "Enggak apa, bi." Sahutnya sembari tersenyum. "Aska udah masuk kriteria calon suami belum?" Goda Aini pada keponakannya itu. Nirmala tertunduk malu. "Apa sih bibi, ini. Ayo bi... Udah magrib, ayo shalat." Mencoba mengalihkan pembicaraan. Aini tersenyum melihat tingkah keponakannya itu. "Kamu mau cari yang gimana lagi, Mala? Semua-mua yang datang menta'aruf kamu, kamu tolak. Apa enggak ada yang cocok kah?" "Belum... Bi, belum ada yang sreg di hati. Aku pinginnya yang kayak rasullulah Muhammad. Salallah Alaihi salam." Jawab Nirmala. Aini menggeleng lagi. "Ya... Allah, nak. Emang kriteria kamu itu enggak ketinggian? Kita ini hidup sudah memasuki akhir zaman. Mana ada yang sesempurna Rasulullah? Ada-ada aja kamu. Bisa-bisa kamu enggak menikah kalo kamu pasang standart terlalu tinggi. Ya... Enggak salah sih punya kriteria calon suami, tapi daripada memikirkan kelebihan-kelebihan yang di miliki calon suamimu nanti, kamu lebih baik belajar untuk melengkapi kekurangannya. Cari Ridha Allah sama-sama." Nirmala mengangguk dan berusaha memahami omongan bibinya. Tapi di balik itu semua Nirmala punya alasan tersendiri. "Yaudah shalat, yuk! Bareng pamanmu sekalian." Mereka pun melanjutkan langkah mereka ke masjid. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN