Restu

1014 Kata
“A-apa? Kalian akan menikah?” pekik calon ibu mertuaku, Sandrina. Tatapannya yang sinis tertuju ke arahku. Ia seolah sedang menilaiku. Aku hanya bisa menarik napas panjang, menenangkan diri. “Kau jangan macam-macam!” gumamnya padaku dan putranya. Perempuan paruh baya itu tampak terkejut melihat kedatanganku ke kediamannya. Ia begitu syok saat mendengar putranya bermaksud memperkenalkanku pada keluarganya sebelum kami memutuskan melangsungkan pernikahan kemudian. “Kenalin, dia Arumi, Ma. Calon istriku.” Nicholas mulai memperkenalkan siapa aku pada ibu dan ayahnya. “Saya Arumi, Ma ... “ kataku memperkenalkan diriku dengan sikap tenang, meski jantungku berdebar menghadapi momen krusial ini. “Tadi kau bilang apa?” Ia masih tidak mempercayai pendengarannya. “Kami akan menikah.” Nicholas mengulangi maksud dan tujuannya memperkenalkan aku dengan keluarganya. “Menikah?” Sandrina memekik keras, tak percaya. “I-iya, Ma.” Aku menjawab dengan terbata-bata mewakili Nicholas, calon suamiku. “Jangan memanggilku, Mama! Aku bukan mamamu!” serunya dengan nada ketus. “Emangnya kamu nggak diajarin ibumu gimana caranya bersikap sama orang yang lebih tua?” Ia mulai membentakku. Terlihat jelas ketidak-sukaannya terhadapku. Belum apa-apa aku sudah mendapat penolakan dari keluarga calon suamiku. Aku hanya terdiam, memilih untuk tidak merespon cibirannya. Tapi sepertinya calon suamiku tidak menyukai sikap ibunya terhadapku. Ia berkata untuk membelaku, “Ma, bisa lebih lembut sedikit nggak bicaranya? Lagi pula Arum tuh yatim piatu, jadi ucapan Mama tadi menyinggungnya,” tegur Nicholas berusaha bersikap setenang mungkin ketika menghadapi sindiran pedas ibunya. “Kok kamu jadi nyalahin Mama sih, Cho? Belum apa-apa kamu sudah berani melawan Mama. Demi perempuan ini?” “Tapi, sikap Mama tuh sudah keterlaluan sama calon istri aku!” “Pokoknya Mama nggak peduli. Kamu nggak boleh nikah sama dia. Mama nggak setuju. Lagipula Mama sudah siapin jodoh yang cocok buat kamu.” Sandrina bersikeras menolak pernikahan kami. “Nicho nggak mau menikahi Tiara. Nicho nggak cinta sama dia.” Nicho lebih berkeras dengan keputusannya. Sandrina mulai kehilangan kesabaran. Ia berdiri di hadapan kami sambil berkacak pinggang. “Kamu mau menolak nikah sama Tiara, perempuan anggun berpendidikan itu cuma karena mau menikahi wanita udik ini?” “Astagfirullah, Ma. Sejak kapan Mama menilai orang seperti ini?” Nicholas memekik tak percaya mendapatkan penolakan mamanya soal rencana pernikahannya denganku. “Cho,” Aku berusaha menenangkan calon suamiku yang emosi ketika berhadapan dengan mamanya sendiri. “Kamu, jangan sok bersikap lembut di hadapanku. Aku tahu niatmu itu!” Tatapan benci Sandrina kini tertuju ke arahku. Entah dosa apa yang telah aku perbuat sehingga lagi-lagi, aku harus menghadapi mertua yang sulit didebat seperti Sandrina. Seharusnya aku lebih bisa mengambil hati calon mertuaku ini, berbekal pengalaman dari pernikahanku sebelumnya. Tapi lain orang lain cerita. Meski kisahku tetap sama, tapi rencana pernikahanku dengan Nicholas dibumbui penolakan. “Pokoknya apapun yang terjadi, Mama nggak akan memberi restu pada kalian!” “Kenapa Mama nggak mau memberikan restu pada kami, hah?” Nicholas menuntut alasan. “Arum wanita yang baik hati. Kurasa dia akan cocok menjadi pendampingku.” “Dia janda.” “Iya. Memangnya kenapa? Apa ada masalah dengan statusnya?” Aku mendengar nada tersinggung dari suara Nicholas. “Kau perjaka, Cho. Seharusnya kau mencari wanita yang statusnya sama denganmu. Bukan yang sudah pengalaman.” “Kalau begitu aku akan tetap menikahinya, meski harus kabur dari rumah ini!” Ancaman Nicho membuat kami semua tersentak. Bukan hanya Sandrina tapi juga diriku. Aku tak pernah mengira calon suamiku ini kuat pendiriannya untuk menikah denganku, meski harus melawan kedua orang tuanya. Aku merasa telah merusak hubungan ibu dan anak ini. Tatapan Sandrina semakin membara. Terlihat jelas kebenciannya terhadapku. “Puas kau sudah membuat anakku durhaka padaku?” Aku menundukkan pandanganku, entah harus berkata apa lagi saat dia menudingku. “Jangan menyalahkan Arumi, Ma. Ini sudah jadi keputusanku! Suka atau nggak, aku sudah memutuskan menikah dengannya. Titik!” Sandrina hanya terdiam. Terlihat ia sudah menyerah berdebat dengan putra semata wayangnya. *** Keesokan harinya Nicholas meneleponku. Ia mengatakan kalau mamanya akhirnya merubah niatnya dan mau memberi kami restu. Dari nada bicaranya terdengar calon suamiku begitu bahagia karena akhirnya ia berhasil merayu mamanya. “Alhamdulillah, akhirnya ia mau memberi kita restu.” Aku juga turut gembira mendengar berita baik itu. “Iya, Rum. Alhamdulillah Allah telah membalikkan hatinya untuk menerima kita, ya?” “Iya.” Sungguh aku tidak menduga jalanku akan semulus ini. “Oh, iya. Nanti sore Mama mau bertemu denganmu. Katanya dia mau meminta maaf atas sikapnya kemarin sekalian mau mengenalmu lebih dekat. Kau mau ‘kan bertemu dengannya nanti sore?” “Wah, aku sungguh sangat senang mendengarnya. Aku pasti akan menemuinya,” jawabku penuh semangat. Tentu saja aku akan bertemu dengannya walau jadwalku padat, aku harus tetap melakukannya. Setelah mendapatkan perlakuan buruk semalam, akhirnya aku bisa mendapatkan restu dari calon ibu mertuaku ini. Aku sungguh sangat bersyukur. Sore harinya setelah mendapatkan kabar dari Nicholas, aku pun segera meluncur ke sebuah kafe tempat kami akan bertemu. Setibanya di kafe, aku tertegun melihat suasana kafe yang tidak begitu ramai pengunjung. Hanya terlihat beberapa tamu saja yang datang, termasuk Sandrina yang sudah lebih dulu datang dan duduk di salah satu kursi kafe. Aku bergegas menghampirinya. Dari wajahnya yang ketus, tampak jelas dia tak menyukai keterlambatanku. Padahal seharusnya aku tidak terlambat, karena jarum jam masih menunjukkan pukul setengah empat sore, sedangkan waktu janji adalah pukul empat tepat. “Kau datang juga akhirnya. Mau minum teh?” Sikapnya terlihat angkuh saat menawariku minuman, seolah-olah ia tak suka jika aku menerima tawarannya. Aku memahami sinyal darinya dan kuputuskan untuk menolak tawarannya, “Nggak usah, Tante. Terimakasih banyak.” Tanpa diduga Ia melemparkan sebuah tas hitam ke pangkuanku. “Saya nggak mau banyak basa-basi. Di dalam tas itu ada uang seratus juta. Tinggalkan Nicholas sekarang juga!” Aku terperangah melihatnya. Nyaris saja menertawai apa yang baru saja ia lemparkan padaku. Jangankan seratus juta, perusahaanku bahkan bernilai lebih dari seratus milliar. “Ini?” “Alah, nggak udah pura-pura bego! Aku tahu banget maksudmu mendekati putraku. Jadi kuharap kamu membatalkan pernikahanmu dengannya sebelum karier artisnya hancur karenamu!” Astagfirullah. Tidak ada lagi yang bisa kuucapkan selain mengucapkan kalimat istigfar berkali-kali agar bisa menenangkan emosiku. ***

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN