Hanna memandang hamparan sawah di kanan kiri melalui kaca mobil. Ia tengah berada di atas travel yang membawanya dari bandara menuju Bukittinggi. Hanna merekam air terjun Lembah Harau saat mobil mereka terjebak macet di sana.
“Suatu saat kalian harus ke sini. Aku akan mengajak kalian berjalan-jalan menikmati indahnya pemandangan kampung ibuku.” Hanna pun mengirimkannya ke grup Star One. Ia kembali memejamkan mata. Masih ada sekitar satu jam perjalanan lagi sebelum sampai di rumah.
Hanna kaget saat sopir yang membawa travel membangunkannya. “Sudah sampai, uni.” Hanna langsung melepas seatbell dan menarik tasnya. Ia turun setelah mengucapkan terima kasih. Hanna memandangi jalan di sekitar rumah bibinya yang masih sama seperti ketika ia tinggalkan dulu. Aspal dan got di kanan kiri. Ia memandangi rumah bibi yang bertingkat dua itu. “Aku pulang.” gumamnya.
Bibi memeluk Hanna dengan erat begitu ia membuka pintu. Dia menangis sehingga Hanna juga ikutan menangis. Yanuar tersenyum lebar pada Hanna. Isterinya yang tengah masak kue di dapur segera bergegas ke ruang tamu begitu mendengar suara Hanna. Ia juga memeluk gadis itu.
Keponakan perempuan Hanna langsung meminta gendong padanya. Padahal mereka belum pernah bertemu secara langsung. Mereka hanya bertemu via video call. Tak ada kakak sepupunya yang perempuan. Dia ada tugas di Kalimantan dan tidak bisa pulang.
"Sangat disayangkan sekali padahal aku kangen pada Kak Marta."
"Salahkan bosku yang tak memberikan libur. Beginilah nasib kalau bekerja di lapangan yang tidak tahu tanggal merah." Dia mencak-mencak kesal saat mereka melakukan video call. Mengumpat-umpati bossnya yang tidak mau memberi libur.
“Aku akan ke sana nanti membawakan mu rendang," ujar Hanna setengah bercanda.
“Bawakan aku lima kilo dan juga kue lebaran.”
“Astaga itu untuk dimakan sendiri atau kau mau menggelar hajatan?"
“Aku mau nikah sekalian biar bisa punya rumah di sini.”
“Bi, kak Marta ngasih kode keras.” Hanna berteriak pada bibinya yang tengah membersihkan kaca lemari.
“Alah gaya dia saja. Padahal mamak-mamak kalian itu sudah mendesak bibi terus. Bertanya kapan Marta nikah. Bukannya menjawab, dia malah cengengesan saat ditanya. Mau jadi perawan tua apa? Umur segini belum nikah. Keburu nggak laku yang ada."
“Ih, si mama. Ucapan itu adalah do'a lo. Ngomong yang baik-baik aja kenapa. Lagian aku belum tua lo, ma. Masih 27. Cuma beda satu tahun dengan Hanna."
“Alah kalian berdua sama saja. Yang dipikirin cuma karir saja. Cari calon suami sana. Apa gunanya karir kalian itu, kalau nggak punya suami.” Hanna dan Marta saling melirik dan tertawa sembari menutup mulut agar bibinya tidak bertambah marah.
Suasana malam takbiran berjalan heboh. Hanna sangat bahagia. Sama seperti kebiasaan malam takbiran ketika ibunya masih ada. Mereka jarang tidur sampai subuh menjelang. Banyak hal yang harus dilakukan; membersihkan rumah, menyapu setiap sudut, menggelar tikar, membersihkan pernak-pernik sampai hal-hal yang biasanya luput dari penglihatan pun ikut dibersihkan, sarang laba-laba misalnya.
Pukul 03.00 subuh Hanna kembali ke kamar atau lebih tepatnya kamar Marta. Bibi dan abang sepupunya juga sudah masuk kamar masing-masing. Rex, kucing Persia milik bibinya mengikuti Hanna dan tidur menghimpit sebagian leher gadis itu. Hanna memotretnya dan meng-upload story.
“Rumah adalah tempat terbaik untuk kembali. Pertanyaan pertama yang diajukan saat pulang adalah; kapan kalian nikah, umur udah setua ini. Hanna menandai Marta. Pertanyaan sakral yang bikin mabuk. Selamat berlebaran dari Rex. Hihi. Ngomong-ngomong, perkenalkan ini namanya Rex. Badannya berat sekali. Aku nyaris tak bisa bernafas.”
“Selamat lebaran.” Sura mengomentari story Hanna melalui pesan pribadi.
“Terimakasih oppa. Masih belum tidur atau mau tidur?”
“Aku berencana untuk melihat bagaimana kau berlebaran besok.”
“Tidurlah dulu oppa. Di sini masih jam 03.00. Besok aku akan mengirim fotoku memakai baju lebaran. Hahaha.”
“Baiklah. Selamat tidur.”
“Selamat tidur juga.”
Hanna tidak tahu semenjak kapan percakapannya berjalan seperti itu dengan Sura. Hanna merasa senang, tapi ia juga tidak mengerti kenapa bisa senang. Apakah karena ia merasa bahwa Sura menjadi abang yang lain baginya?
Hanna benar-benar menepati janjinya pada Sura. Ia mengirimi Sura foto saat memakai gamis yang dibelikan oleh bibi. Gamis yang sama untuk satu keluarga, bewarna putih dengan hijab putih dengan garis hijau di pinggirnya. Hanna memakai sedikit bedak atas desakan Dini, isteri abangnya dan juga lipstik agak merah. Dia juga memakaikan Hanna maskara dan sedikit make up.
"Astaga, dia mau membawaku ke kondangan atau bagaimana sih? Pasti sekarang mukaku seperti badut," pikir Hanna
“Lihatlah aku didandani seperti orang yang mau pergi ke undangan pernikahan oleh kakak ipar ku.” Hanna mengirimkan pesan itu di bawah foto yang ia kirim ke Sura.
“Akhirnya kau jadi perempuan.” Dia mengomentari foto yang Hanna kirim lengkap dengan emot mengejek.
“Hiya.. Apa maksud kamu oppa?”
“Hahaha. Aku benarkan? Kau selama ini selalu saja berdandan seperti laki-laki. Memakai pakaian laki-laki dan tidak memakai bedak.”
“Bodoh amat. Jomblo mah bebas.”
“Dasar. Kalau dibilangin ada saja jawabannya.”
“Hihi. Oppa tidak tidur?”
“Aku sudah tidur saat kau suruh tidur tadi pagi.”
‘”Ini baru tiga jam semenjak aku menyuruhmu tidur. Kau mau mati muda dengan tidak tidur-tidur.”
“Arasso. Aku akan tidur. Kau cerewet sekali. Telingaku sampai sakit mendengarnya."
“Pintar. Memangnya kau bisa mendengar omonganku apa? Bye bye oppa. Aku mau ke masjid dulu.” Hanna menyudahi chatingan dengan Sura.
"Selamat lebaran tante," ujar keponakannya saat Hanna keluar dari kamar.
"Selamat lebaran sayang." Gadis itu pun segera menggendong keponakannya.
Hanna merasa hari-hari di rumah berlalu dengan cepat. Usai shalat mereka sekeluarga ke makam ibu dan keluarga Hanna yang sudah meninggal duluan. Hana menangis di makam ibunya. Sudah lama sekali ia tidak ke sini.
"Maafkan aku ibu, bukannya mengantarkanmu ke syurga, aku malah mendorongmu ke neraka." Gadis itu bergumam dalam hati.
"Aku benar-benar menyesali perbuatanku di masa lalu, bu. Tapi aku juga tidak bertaubat sekarang. Tinggal di luar negeri, malah membuatku juga ikut melemahkan imanku."
***
Hanna duduk di bangku taman kebun binatang bersama Tiara, keponakannya. Ayah dan ibunya tengah mengambil pakaian Tiara di mobil. "Mereka ngambil pakaian di puncak Merapi po? Dari tadi belum kembali-kembali juga." Hanna mengoceh sendiri dalam hati. Tiba-tiba Tiara berlari. Hanna langsung mengejarnya khawatir dia tersandung sesuatu. Ternyata dia melihat balon.
“Tiara mau?”
“Mau aunty.” Hanna pun membelikannya.
"Gendong aunty," pinta gadis itu sembari mengulurkan kedua tangannya. Hanna langsung menggendongnya. Tiba-tiba HP nya berbunyi. "Dari Sura oppa. Dia salah pencet atau bagaimana?" Hanna kaget saat dia menelpon melalui video call. Ia pun segera mengangkatnya.
“Ya, oppa?”
“Kamu dimana?”
“Ini lagi di kebun binatang." Hanna mengarahkan kamera ke Singa yang tengah berbaring di kandangnya. Keponakannya mengambil alih HP.
“Hy om.”
“Hello.” Suga menjawab dengan Bahasa Inggris.
“Om pacarnya aunty, ya?" tanyanya langsung.
"Astagah, aku tidak terlalu kaget kalau keponakanku ini bisa berbahasa Inggris meskipun umurnya baru tiga tahun. Kalau melihat keajaiban bapaknya. Tapi aku kaget sekali saat mendengar ucapannya, siapa yang mengajarinya kata-kata pacaran ini. Aku yakin bapaknya menjadi salah satu penyumbang ucapan anaknya ini."
“Astaga sayang. Siapa yang ngajari kamu ngomong kayak gitu.” Hanna memandang gemas keponakannya yang tengah menatap layar HP di gendongan Hanna.
“Dad. Katanya aunty Hanna sama aunty Marta bakalan jadi perawan tua kalau tidak segera mencari pacar.”
"Anjir sumpah ya.." Hanna mengumpat dalam hati. laknat sekali ajaran abangku itu pada keponakanku yang imut ini." Sementara Sura? Jangan tanya lagi, dia tidak bisa berhenti tertawa mendengar ucapan keponakan Hanna. Terlebih melihat tingkah lucunya saat dengan polos menjawab pertanyaan Hanna.
“Kamu tidak boleh mengucapkan kalimat itu pada orang lain ya sayang. Nanti orang lain akan tersinggung. Dad kamu itu memang aneh.”
“Ayahnya tidak aneh. Ayahnya hanya menyampaikan kebenaran.” Sura membalas perkataan Hanna.
“Oppa jangan ikut-ikutan meledek deh.”
“Hahaha. Perutku sakit sekali. Tidak bisa berhenti tertawa.”
“Tertawa aja sampai puas.” Hanna mendengus kesal. Meskipun hatinya sedikit berdesir saat melihat Sura tertawa. Sura memang jarang tertawa, makanya saat dia tertawa Hanna merasa takjub.
“Aunty. Siapa laki-laki itu? Dari tadi dia menatap ke sini terus.” Hanna mengikuti arah pandangan keponakannya. Bagai disambar petir, ia kaget begitu melihat siapa yang ditunjuk oleh keponakannya. Nanda. Dia tengah menggandeng anaknya. Hanna membeku tidak tahu mau berbuat apa. Tiba-tiba Nanda mendekat dan berhenti tepat dihadapannya. Tanpa sadar Hanna menggenggam erat ponselnya. Sura ikut diam tak bersuara.
“Apa kabarmu?”
“Baik. Abang sendiri?”
“Alhamdulillah baik juga.”
“Papa siapa tante ini?” Anak Nanda menanyai ayahnya.
“Teman papa sewaktu kuliah dulu.”
“Oh, hai tante. Perkenalkan namaku Randi. Nama tante siapa?”
“Halo sayang. Nama tante, tante Hanna.” Hanna menerima uluran tangan Randi yang ingin mencium tangannya sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik tangan Randi. Hanna kaget. Orang itu adalah Yona, isteri Nanda. Wajahnya tampak berang.
“Hei perempuan p*****r. Mau apa kau dekat-dekati anakku. Kau mau merebut dia dan merebut suamiku kembali?”
"Astaga suara mak lampir ini tinggi sekali, tidak terkontrol." Bukannya malu karena di caci maki, Hanna malah merasa miris dengan Nanda. "Punya isteri kok gini amat. Nggak bisa melihat situasi." Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ia kaget saat mendengar tangisan Tiara yang tiba-tiba.
"Sepertinya dia kaget mendengar suara isteri bang Nanda."
“Cup..cup. Kamu kaget ya sayang?” Hanna berusaha untuk mendiamkan Tiara tanpa mengacuhkan kehadiran Nanda dan keluarganya.
“Ada apa sayang?” Hanna juga ikutan kaget menyadari bahwa videocall dengan Sura belum berakhir.
“Tante itu jahat. Dia membentak aunty dan mengatakan bahwa aunty pelacur.” Tiara menjelaskan disela tangisnya dengan bahasa Inggris.
"Astaga ngidam apa emaknya dulu saat hamil. Kok bisa anaknya sampai tahu bahasa Inggris untuk p*****r bahkan seolah kayak dia mengerti saja dengan apa yang dia ucapkan. Aku perlu mewanti-wanti Bang Yanuar soal ini. Tidak baik untuk anak-anak mengetahui kata-kata seperti itu, terlebih usianya masih sangat belia."
Sura terlihat kaget mendengar penjelasan Tiara. Entah kaget karena Tiara tahu bahasa kasar itu atau kaget karena isteri Nanda mencaci maki Hanna.
“Sudah sayang, kamu jangan nangis ya. Kamu salah dengar. Tante itu nggak bermaksud bicara seperti itu. Tidak mungkinkan dia mengatakan hal seperti itu di depan anak-anak.” Hanna menenangkan keponakannya sembari menyindir. Orang-orang yang mulai berkerumun dikarenakan suara Yona tadi mulai berbisik sumbang.
“Pakaiannya saja yang alim. Tapi berbicara tak tahu saringan di depan anak-anak.”
“Pasti perempuan yang satu lagi menggoda suaminya. Makanya dia sampai lepas kontrol seperti itu.”
Hanna mendengar komentar negatif dan positif orang-orang sambil lalu. Ia tidak begitu peduli. Hanna sudah terbiasa mengontrol emosi untuk urusan yang satu itu. Pekerjaannya sangat menuntut Hanna untuk tetap tenang dikondisi apapun, meski terkadang ia juga sering lepas kontrol.
“Tak ada yang salah. Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Kau mendekati suamiku berniat untuk merebutnya lagi kan? Kau sampai mendekati putraku. Kau mau memengaruhinya juga agar mereka meninggalkanku.” Nada suara Yona masih sama.
“Tenanglah Yona. Malu dilihat orang.” Akhirnya Nanda turun tangan.
“Kau tak usah membela perempuan jalang ini, bang. Kau masih mencintainya ya?” Yona menyerang balik Nanda. Sementara Nanda tidak berkomentar apa-apa lagi.
Hanna hanya menarik nafas berat sembari menutup telinga Tiara. Dia tidak perlu mendengar kata-kata jelek seperti ini.
“Tampaknya ada kesalahpahaman di sini uni. Saya tidak ada niatan atau maksud untuk bertemu dengan suami anda apalagi untuk merebutnya. Kalau anda mau menyalahkan, salah kan saja suami anda yang menyapa saya duluan. Bahkan jika memang kami bertemu di jalan, saya tidak ada niat untuk menyapanya. Saya lebih memilih untuk menganggap tidak melihat apa-apa."
"Kalau begitu kau tidak usah menyahutnya," cerca Yona.
"Aku hanya mengutamakan adat sopan santun saat bertemu orang lain. Karena dia menyapaku aku menyahutinya. Jika dia tidak menyapaku, aku pun juga tidak akan menyahut."
"Gadis itu benar," bisik seorang perempuan pada temannya yang tengah melihat pertunjukan mereka.
"Satu lagi uni, anda seorang dosen, sudah sepantasnya anda memperhatikan tingkah laku di tengah ramai. Jangan sampai anda berniat untuk mengungkapkan kekesalan anda pada perempuan lain yang anda anggap saingan, dengan cara yang akan membuat malu suami anda sendiri. Anda juga sebaiknya menjaga perkataan anda. Ada banyak anak kecil di sini. Dan saya tidak mau merusak isi kepala anak-anak dengan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar.”
"Wah, ternyata dia dosen. Tidak pantas sekali," bisik yang lain dari arah kerumunan.
"Kalau yang anda khawatirkan bahwa saya akan merebut suami anda? Anda salah besar, saya sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi sama dia. Lagi pula saya sudah melupakannya bahkan menganggap dia sudah mati semenjak dia meninggalkan saya dan menikah dengan orang lain yang lebih sederajat dengan keluarganya.
Saya yang hanya berasal dari keluarga miskin ini sadar diri bahwa ada jurang yang memisahkan kami. Saya tidak akan mengejarnya apalagi memohon-mohon. Toh bukan saya yang meninggalkan tapi saya yang ditinggalkan. Pantang bagi saya mengemis cinta dari lelaki yang meninggalkan saya. Sampai matipun saya tidak sudi untuk menerimanya kembali.”
Hanna berbicara setenang mungkin, berusaha menekan emosi yang sudah bergejolak dan memasang wajah datar. Ia berusaha menekankan kata-katanya di beberapa tempat. Hanya untuk menegaskan ucapannya. Hal yang biasa ua lakukan saat memutuskan sesuatu dalam negosiasi. Hanna kembali mendengar kasak-kusuk dari orang-orang yang berkerumun.
“Wah-wah. Lakinya yang ternyata kurang ajar.”
“Bisa-bisanya seorang dosen berbicara seperti itu.” komentar yang lain.
“Ada apa ini?” Hanna kaget melihat wanita yang baru saja datang. Dia adalah kakak perempuan dari Nanda. Hanna ingat sekali bagaimana dia menghina-hinanya dulu.
“Uni.” Tiba-tiba saja Yona menangis dan mengadu pada kakak iparnya itu.
"Astaga dia kekanakan sekali. Tak menemukan pembela, dia malah lari di balik punggung saudara iparnya. Sampai kapan aku harus menghadapi ratu drama seperti ini. Lebih baik menghadapi kecereweran Jun oppa daripada menghadapi keluarga mak lampir ini"
Jun yang tengah syuting seketika bersin. Ia mengusap-usap hidungnya yang perih.
"Kau kenapa hyung? Jeimin menepuk pundak Jun.
"Tidak tahu. Sepertinya ada yang membicarakanku."
"Semua orang juga pasti membicarakanmu, terutama penggemar kita," ujar Jeno.
"Iya juga ya." Jun tertawa sendiri mendengar perkataan Jeno. Jeimin hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapam mereka yang selalu narsis.
“Perempuan ini uni, dia berniat untuk merebut bang Nanda dan Randi.” Yona mengadu sampai menangis tersedu-sedu.
“Plakk.” Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi Hann lalu diiringi oleh tangisan Tiara yang kembali pecah setelah beberapa saat tadi ia tenang. Hanna kaget bukan karena ditampar tapi karena merasa bersalah dengan Tiara yang masih berada dalam gendonganya ini. Hanna takut kejadian ini akan meninggalkan kesan buruk dalam hidupnya.
“Tenang ya sayang. Maafin tante ya. Kamu pasti kaget.” Hanna mencoba menenangkan keponakanku itu. Ia tidak sadar kalau ponselnya yang entah sejak kapan dipegang oleh Tiara masih tersambung dengan Sura yang menyimak dari tadi keributan mereka.
“Sudah kuperingatkan berkali-kali padamu. Jauhi adikku. Aku sudah tidak suka denganmu dari awal. Dari awal kalian pacaran aku sudah tidak setuju. Kau tidak paham ha? Harus berapa kali aku bilang bahwa keluargamu itu tidak pantas disandingkan dengan keluarga kami.
Ayahmu saja pada akhirnya sadar dan meninggalkan ibumu yang miskin itu dan menikah dengan perempuan yang lebih sepadan. Kini kau berniat untuk menghancurkan rumah tangga adikku juga, hah?” Tiba-tiba suara kakaknya bang Nanda naik satu oktaf.
Hanna ingin menampar balik wanita itu. Dia boleh saja menghina dirinya. Tapi pantang sekali bagi Hanna jika dia menghina ibunya. Hanna tidak terima dia membawa-bawa nama ibunya. Dia kembali mengangkat tangannya bersiap untuk menampar Hanna tapi ditahan oleh seseorang. Orang itu adalah bang Yanuar. Wajahnya tampak menakutkan. Sepertinya dia sangat emosi.
“Berani-beraninya anda menyakiti adikku dan berbuat tidak sopan di depan anakku,” ujar Yanuar. Suaranya mengeram menahan kesal. Mungkin tak ingin lepas kendali di depan anaknya.
“Ayo Hanna. Kita pergi saja dari sini. Percuma meladeni orang kaya. Mereka tak punya waktu untuk mempelajari tata krama. Yang ada di otaknya hanya uang saja. Macam uang bisa di bawa mati saja. Aku kirim kan juga satu truk uang ke dalam kuburnya nanti biar dia bahagia." Bang Yanuar menarik tangan Hanna, sementara Dini mengambil alih Tiara yang masih sesegukan.
Hanna masih bisa mendengar bisikan-bisik sumbang dari kerumunan orang. Ada yang membelanya, ada juga yang membela Yona. Sementara Nanda? Dia sudah meninggalkan kerumunan dari tadi. Sepertinya dia malu besar menghadapi kelakuan istri dan kakak kandungnya. Hanna tidak peduli. Ia bersumpah dalam hati akan membuat mereka berlutut menyesal karena sudah menghina ibunya.
"Kalian akan membayar semua hinaan terhadap ibuku. Aku tak akan melepaskan kalian. Kalian salah menyinggung orang"
***