Episode 9 : Alhamdullilah

1794 Kata
-Tidak ada yang benar-benar instan apalagi yang menyangkut kesuksesan. Semuanya selalu memiliki proses yang tidak pernah sama. Jalani dan nikmati agar kita lebih menghargai apa yang telah kita miliki.- **** “Jangan langsung dimasak semua, nanti rasanya kurang enak. Mendadak saja, atau nanti siang Mamak yang rebus kira-kira pas kamu di perjalanan pulang. Jadi pas didagangkan pun masih segar, enggak basi. Biar pembeli juga enggak kecewa.” Hati Arunika menasihati. Masih sekitar pukul setengah empat pagi, tapi Arunika sudah sibuk berkutat di dapur. Arunika meninggalkan daun singkong sayur yang tengah direbus dan memenuhi wajan. Ia segera meracik api di tungku sebelah. Demi memperkuat aroma kelezatan masakan, ibu Ningsih termasuk Arunika memang masih memanfaatkan tungku sebagai penghasil api untuk memasak masakan mereka. Arunika menaruh wajan di atas tungku tersebut dan segera ia tuangi minyak. Arunika siap menggoreng satu tampah bahan gorengan untuk dagangan pagi ini. Sisanya dan masih ada satu tampah, baru akan digoreng untuk siang. Kemudian sambil menunggu minyak panas, Arunika tidak tinggal diam. Karena tangan-tangan berjemari panjangnya dengan sangat cekatan menyusun lontong terbungkus daun pisang di ceting bambu ke kontainer. Sekitar pukul lima, semuanya sudah siap. Ibu Ningsih juga hanya Arunika titipi menjaga panci pengukus lontong untuk dagangan siang dan sore karena semuanya memang benar-benar sudah beres. Termasuk gerabah bekas adonan dan lainnya yang juga sudah sampai Arunika cuci. Sambil menikmati teh manis, ibu Ningsih membantu Dika memakai pakaian karena Dika yang sudah bangun pun juga sudah sampai Arunika mandikan. Begitupun dengan Arunika yang sudah rapi dan terlihat seperti anak gadis meski wanita muda itu tidak merias wajah berlebihan seperti Wiwin. Tak jarang dan ibu Ningsih pun tahu, Dika akan dikira sebagai adik Arunika andai mereka bepergian bersama. Mengenakan sepeda seperti hari sebelumnya, Arunika pergi membawa dagangannya. Satu hal yang membuat Arunika tak hentinya bersyukur, Dika begitu penurut dan memudahkan usahanya dalam bekerja. Suasana sudah terbilang terang ketika Arunika sampai di pasar. Beberapa lapak tampak masih kosong dan hanya dihiasi karung berisi calon dagangan. Pantang malu, Arunika sudah langsung bersuara, mengatakan dagangannya sebagai sarapan. Ini merupakan kali pertama Arunika jualan terjun ke dalam pasar. Di pasar tradisional dan terbilang besar dengan aneka ukuran ruko yang disewakan tersebut, Arunika mencoba menyesuaikan diri, dan hanya akan tersenyum masam ketika pedagang atau orang yang kebetulan lewat di sana mengenalinya sebagai istri Dimas. Di perempatan jalan raya depan pasar, biasanya Arunika juga jualan. Bedanya di sana Arunika menjaga toko mebel milik keluarga Dimas yang televisinya meledak gara-gara Arunika geregetan pada acaranya. “Pantas toko mebel kemarin tutup, ternyata Mbak-nya alih profesi,” goda seorang wanita berjilbab dan kiranya berusia sebaya dengan Wiwin. “Saya enggak mungkin di sana lagi, Mbak.” Untuk kali pertama Arunika jujur. Kejujuran yang terasa jauh lebih tak berbeban bila itu pada orang lain. “Lho, memangnya kenapa, Mbak? Tokonya mau renovasi apa pindah, begitu?” balas si wanita bernama Nur tersebut. Arunika tersenyum sambil membungkus pesanan wanita baya di sebelahnya. “Ya buat apa saya di sana lagi, kalau Mas Dimas saja sudah menikah lagi?” “Innalilahi!” Nur refleks berseru saking syoknya. “Kok bisa begitu padahal kalian selalu romantis dan kelihatan sangat cocok?” Dengan segenap jiwa, Arunika bercerita. Apalagi ia melihat semuanya yang ada di sana dan jumlahnya lebih dari dua puluh orang sudah langsung menatapnya iba setelah teriakan dari mbak Nur barusan. Kebanyakan dari mereka dan merupakan wanita dewasa langsung menatap Arunika dengan tatapan prihatin sekaligus miris. “Ternyata selama tiga bulan terakhir, alasan Mas Dimas jarang pulang karena Mas Dimas sudah menikah diam-diam dengan mantannya yang sudah janda. Pernikahan mereka terjadi dengan izin sekaligus restu orang tua. Mas Dimas menamparku dan menjatuhkan talak satu kepadaku kemudian menyekapku gara-gara aku menolak dimadu. Jadi tidak ada pilihan lain selain diam-diam pergi sambil membawa anakku. Namun meski begitu, sampai saat ini Mas Dimas atau pihak keluarganya belum ada yang datang ke rumah mamakku.” Mengatakan itu, Arunika sampai merinding. “Ya Alloh, Mbak Nika. Innallilahi wainnalilahi rojiun, cantik-cantik dan sangat rajin saja, nasibmu mirip yang di cerita-cerita!” Mbak Nur heboh dan sampai berkaca-kaca menatap Arunika dengan tatapan tidak tega. Berlinang air mata apalagi ada yang memberinya dukungan, Arunika melanjutkan ceritanya, “Mungkin jalannya memang sudah harus begini. Enggak apa-apalah, dijalani saja. Justru aku bersyukur karena akhirnya aku tahu dan enggak terus-menerus dibohongi. Sekarang yang penting anakku ikut aku, enggak apa-apa jadi orang tua tunggal, aku siap membahagiakan anakku.” “Daripada aku menuruti kemauan Mas Dimas sekeluarga yang memintaku jadi pembantu abadi di rumah mereka hanya karena saat menikah dengan Mas Dimas aku enggak bawa apa-apa. Ya mending kerja sendiri hasilnya buat anak.” Kabar pilu yang menimpa Arunika langsung tersebar dengan sangat cepat. Beberapa dari mereka yang penasaran juga sengaja melihat Arunika sambil membeli dagangan wanita muda itu. Namun, Arunika tidak menyadari bila beberapa dari mereka sampai ada yang mengambil foto bahkan videonya, melalui bidik kamera ponsel. “Beli pecelnya sepuluh ribu yah, Mbak Nika. Sekalian gorengannya lima ribu, terus lontongnya juga lima ribu.” Ibu-ibu tersebut kemudian berbisik pada wanita di sebelahnya. “Secantik ini kok diselingkuhi, ya? Padahal orangnya asli rajin banget. Di toko mebel pun sering angkat semen kalau karyawannya lagi pada sibuk.” Si wanita yang dibisiki membalas dengan berbisik juga. “Kalau itu, aku kurang paham, Mbak. Tapi kalau di sawah, aku lihat dia tenaganya mirip wong lanang! Cekatan banget! Bikin leleran bakal tandur saja bisa. Semacam ndaut, tandur, juga diurus langsung. Biasanya setengah enam si Mbak Nika ini sudah njengking di sawah.” Setelah berucap demikian, ia juga sengaja memesan ke Arunika. “Mbak, ini maksudnya bisa pesan antar buat semacam syukuran, tahlilan?” lanjutnya. Arunika yang sadar nyaris semua orang di pasar menatapnya iba dan kenyataan tersebut membuatnya terenyuh, segera membenarkan. “Dicicipi dulu, Bu. Boleh, kok. Biar bisa bantu direkomendasikan. Saya berani jamin rasanya tidak mengecewakan,” ucapnya sambil membungkus pesanan dengan cekatan. Suasana sudah makin ramai oleh aktivitas kesibukan penghuni pasar. Alhamdullilah, dagangan Arunika tinggal menyisakan gorengan enam biji. “Pecel lontongnya sudah habis?” tanya ibu-ibu berkonde yang juga memakai kebaya dan jarit. Tampangnya terlihat ningrat melebihi ibu Mirna. Ibu-ibu tersebut membawa contong daun berisi pecel lontong Arunika dan hanya tinggal sedikit. Setelah sempat terdiam menatap sungkan ibu-ibu bertampang ningrat tersebut, Arunika mengangguk pelan. “Iya, Bu. Tinggal gorengannya saja, masih sisa enam. Namun yang di rumah masih ada.” “Yang di rumah bagaimana?” tanya ibu-ibu tersebut yang tampangnya benar-benar serius hingga Arunika menjadi agak takut. Arunika menjelaskan mengenai sistim usahanya yang akan mendagangkan pecel lontongnya secara bertahap. Tidak semua bahan langsung dimasak, hingga bisa dipastikan pecel lontong berikut gorengan buatan Arunika masih dalam keadaan sangat layak konsumsi bila sampai di tangan pembeli. Diam-diam, sebenarnya Arunika bingung, kapan wanita berkonde di hadapannya membeli pecel lontong kepadanya? Karena bisa Arunika pastikan bila wanita baya itu belum sempat beli, tapi wanita itu menghampirinya sambil menikmati pecel lontong yang Arunika jual. “Begini, ... nama saya ibu Sulis, dan kebetulan saya sedang mencari makanan dalam jumlah besar buat pengisi prasmanan. Kamu sanggup saya sewa jadi bagian dari prasmanan untuk acara tahlilan sekaligus doa bersama di rumah anak saya, sore ini juga? Nanti, kamu buat pecel lontong minimal seratus porsi. Untuk pecel lontongnya disiapkan saja dari rumah, sementara untuk gorengan, nanti kamu goreng di prasmanan biar hasilnya lebih renyah. Rasanya seperti ini saja, ya. Ini beneran enak, sumpah,” ucap wanita bergaya ningrat bernama ibu Sulis tersebut. Apa yang baru saja ibu Sulis sampaikan sukses membuat Arunika melongo tak percaya. Rasa dan kepuasan pembeli memang menjadi kunci keberhasilan dari usaha! Batinnya girang. “Satu porsinya berapa sih? Saya depe lima ratus ribu dulu, yah, nanti kalau habis beres tahlilan, kita hitung-hitungan. Itu gorengannya jangan hanya seratus, ya. Gorengannya ada apa saja, sih?” lanjut ibu Sulis. Alhamdullilah. Enggak apa-apalah siang sampai ini enggak jualan biar bisa fokus mengurus pesanan! Batin Arunika yang tak hanya merasa sangat bahagia karena wanita muda berparas cantik itu juga tak hentinya bersyukur dalam hatinya. “Tapi, Bu. Untuk gorengannya, saya biasa goreng di tungku. Di rumah saya belum ada kompor,” tahan Arunika sebelum menerima uang pemberian ibu Sulis. Ibu Sulis terdiam sejenak. “Sebenarnya memang lebih enak hasil yang dari tungku, sih. Tapi ya enggak apa-apa, nanti kompor sama gasnya pakai yang di rumah anak saya saja.” Ia mengakhiri ucapannya dengan senyumnya. “Ini terima dulu uangnya, biar lebih enak.” “Tapi kan saya belum kasih pecelnya, Ibu sudah percaya saya?” tanya Arunika sungkan. “Hampir semua masyarakat satu kabupaten ini mengenal saya, jadi saya tidak takut ditipu. Oh, iya, kamu punya ponsel?” tanya ibu Sulis. Nih ibu-ibu sepertinya bukan orang sembarangan? Pikir Arunika. Untuk kali ini, Arunika tak mau memberikan nomor Wiwin lagi. Ia jujur tidak memiliki ponsel dan berdalih akan segera beli. Pulang dari sini, aku mau kredit ponsel di sebelah, lah! Enggak usah bagus, yang penting bisa buat komunikasi sekaligus jualan. Setelah mencatat alamatnya menggunakan pulpen dan buku yang sengaja Arunika siapkan, Arunika baru menyadari bila alamat rumah tersebut merupakan alamat rumah dokter Arland. Iya, benar ini alamatnya rumah dokter Arland yang memperlakukan bunga-bunganya layaknya bayi. Pantas ibu Sulis tampak ningrat, anaknya saja dokter. Tapi kok, di rumah dokter Arland sampai ada tahlilan dan doa bersama, ya? Batin Arunika yang mengamati tulisan berisi tulisan alamat rumah ibu Sulis, sambil sesekali melepas kepergian ibu Sulis. Di depan sana dan merupakan tempat parkir, ibu Sulis memasuki sedan hitam yang tampak mengkilap. Ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan Arunika, wanita pemilik tatapan tajam menyerupai ibu Mirna itu tersenyum hangat sambil mengangguk sopan pada Arunika. Arunika mengangguk sopan membalas ibu Sulis yang memasuki mobil bagian penumpang, setelah seorang sopir berusia sekitar awal tiga puluh tahun, membukakan pintu untuknya. Alhamdullilah, ini rezeki Dika dan Mamak. Karen melalui kerja kerasku, Alloh mengizinkan aku membahagiakan mereka! Batin Arunika yang langsung ketar-ketir karena ketika menoleh ke sebelah selaku keberadaan pintu masuk, di sana ada Dimas tengah memilih aneka makanan dan jajanan. Bisa Arunika pastikan, hari ini Dimas tak lagi mendapat jatah sarapan hingga pria itu sibuk mencari makan di luar. Kenyataan yang tidak pernah terjadi ketika Arunika masih tinggal di rumah Dimas. Jangan lupa, di sebelah pasar Arunika dagang pecel lontong dan gorengannya, merupakan bank tempat Dimas bekerja. Dongkol, itulah yang Arunika rasakan. Arunika kembali berkemas. Sambil mengusung kontainer dagangnya yang ia tumpuk dan sampai lebih tinggi dari kepalanya, Arunika sengaja menunduk sesaat menutup sebagian wajah menggunakan pashmina hitam yang sedari pagi telah menutupi kepalanya. Buat kepentingan kamu bahkan semacam makanan yang terbilang sepele hanya karena kamu lapar, kamu masih sempat cari, Mas. Namun buat aku bahkan Dika, kamu sudah tidak peduli karena memang kami sudah tak penting lagi untukmu. Jangan-jangan kamu juga tidak peduli bila Dika sampai kelaparan bahkan sakit. Jadi, jangan salahkan aku bila karena ulahmu aku jadi jijik kepadamu! Batin Arunika ketika lewat dan akhirnya meninggalkan Dimas. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN