Menikmati angin malam Jakarta dari balkon kamar apartmentnya, tak bosan-bosannya Moko menekuri hasil lukisan Risa di dinding sisi kanan balkonnya. Hasilnya begitu luar biasa. Kadang Moko dibuat heran sendiri dengan keputusan sahabatnya itu karena tak mau mengasah bakat lukis yang ia miliki. Justru lebih tertarik menekuni hobbynya di bidang tarik suara yang akhirnya bisa berkolaborasi dengan home band milik Moko.
Tapi dibalik itu semua, ada hal lain yang membuat pria dengan lesung pipi itu lebih heran lagi, yaitu sikap Risa yang mendadak sinis dan emosi ketika ia mengutarakan perasaannya tadi sore. Memang di sisi lain, Moko lah yang pantas disalahkan karena dengan seenak hatinya membuat huru-hara di hati Risa. Sebagai seorang sahabat yang sudah kenal puluhan tahun, tentu saja Risa tak begitu saja percaya dengan pernyataannya.
“Gue udah jujur, Ca. Apa salahnya sih?” gumam Moko pada dirinya sendiri.
Pria itu mengacak rambutnya beberapa kali lantas merebahkan tubuhnya ke kursi empuk yang ia bawa ke balkon. Kursi yang biasa menemaninya mencari ide-ide baru untuk menciptakan puisi atau lirik lagu untuk dinyanyikan bandnya. Melirik pada layar ponselnya yang sunyi, Moko hanya ingin memastikan sudah berapa lama ia menyendiri di tempat ini. Sudah hampir jam satu dini hari, dan matanya masih terang benderang enggan terpejam karena masih saja sibuk memikirkan Risa.
Membuka kotak pesan, Moko berniat mengirimkan pesan selamat tidur pada Risa. Mencoba peruntungan untuk kembali meluluhkan sahabatnya itu. Dibawah nama kontak Risa, masih terlihat status online, yang menandakan bahwa gadis itu juga belum tertidur saat ini. Hal yang langsung membuat Moko semakin bersemangat untuk mengetikkan pesan singkat pada Risa.
‘Ca, jangan ngambek dong Ca. Dunia gue sepi banget kalau elo jadi pendiam gitu.’ ketik Moko pada layar ponselnya lantas sedetik kemudian mengirimkan pesan tersebut ke nomor gadis yang ia buat merajuk tadi.
Terkirim.
Namun nihil, tanpa balasan. Namun ia tau pesannya sudah dibaca oleh di penerima, karena tanda checklistnya sudah berubah menjadi warna biru.
‘Ca, elo orang yang paling marah kalau tau gue bohong kan? Tapi kenapa sekarang waktu gue jujur, elo malah diemin gue gini.’
Terkirim.
Namun tetap tanpa balasan.
‘Ca, besok lusa gue balik ke Rembang. Sebelum hari itu, boleh kan kalau kita ketemuan dulu. Please, Ca.’
Sebenarnya Risa sudah tau tentang rencana kepulangan Moko ke Rembang. Moko berniat menyerahkan tanggung jawab sebagai manager Senorita Band pada Rahman, sepupu yang selama ini ikut dengannya. Pemuda yatim piatu yang nasibnya hampir sama dengan Moko, hidup seorang diri, berjuang seorang diri.
Tapi satu hal yang sampai sekarang belum Risa ketahui adalah alasan dibalik keputusan Moko menyerahkan band yang bertahun-tahun ia bangun pada Rahman. Sejak mengetahui Risa akan menetap di Jakarta bersama keluarganya, juga menerima tawaran pekerjaan dari ayah sambungnya di salah satu galeri mebel milik beliau. Moko sudah memiliki rencana untuk mengikuti kepindahan gadis belia itu ke ibu kota.
Suara notifikasi ponsel, membuat Moko yang baru saja masuk kamar dan merebahkan diri di tempat tidur, terlonjak seketika. Tentu saja karena ia berharap pesan yang masuk adalah pesan dari Risa yang sudah ia tunggu-tunggu. Dan benar saja, begitu muncul nama Risa di urutan paling atas, Moko langsung mengepalkan tangan meninjunya ke udara. Nampak sekali raut wajah lega dan bahagia pada pria itu.
Risa Ica Caca Marica : oke besok jam sebelas gue tunggu di Mc Donald Sunter Agung!! No telat-telat.
Moko tersenyum lebar saat membaca balasan dari Risa. Meskipun singkat dan seperti bukan ‘Risa-nya’ yang selama ini, tapi Moko tetap antusias dengan kalimat tersebut.
‘Oke siap, dijamin gue gak akan telat. Kalau perlu gue yang bangunin pegawainya Mc Donald bair cepet-cepet buka gerainya buat kita berdua.’ ketik Moko sebelum akhirnya pria itu tertidur karena terlalu lama menunggu balasan Risa yang tak kunjung datang.
Keesokan harinya, sejak pukul sepuluh pagi, Moko sudah bersiap dari apertmentnya menuju tempat yang sudah mereka sepakati untuk bertemu. Tiga puluh menit setelahnya, Moko sudah duduk manis di gerai makanan cepat saji sambil menunggu kedatangan Risa. Pria itu bahkan sudah memesan beberapa makanan dan minuman yang menjadi favorit Risa bahkan sebelum gadis itu datang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, sekitar sepuluh menit menunggu akhirnya Risa datang seorang diri. Moko sengaja tak menjemput gadis itu demi menghindari amukan gadis itu lagi, Moko sangat hapal dengan sifat Risa yang enggan dijemput jika memang ia tak memintanya.
Moko mengamati Risa diam-diam dari tempatnya duduk. Gadis itu tampak cantik maksimal dengan dress sebatas lutut berwarna merah maroon yang dipadukan sweater abu muda di bagian atas. Rambut Risa yang mulai memanjang ia kuncir tinggi bak ekor kuda, jangan lupakan juga poni yang menutupi sebagian kening yang semakin membuat Risa terlihat seperti remaja baru lulus SMA.
“Ca,” panggil Moko mengangkat satu tangannya melambai pada gadis cantik itu. Risa menoleh dan mendekati Moko yang memilih duduk di sofa paling ujung yang langsung mengarah ke jalan raya.
“Udah lama?” tanya Risa dengan wajah biasanya saja. Setidaknya sudah tidak sejutek kemarin ketika Moko ikut makan malam dengan keluarganya.
“Barusan aja kok, belum ada lima belas menit.” Dusta. Padahal Moko sudah menunggu di sana hampir dua puluh menit. Tapi tak apalah, demi ayank … gadis yang disayang, Moko tetap bersedia menunggu selama apapun.
“Gue udah pesenin ini juga, chicken muffin kesukaan elo. Barusan dianter kok, masih anget.”
Ada senyum samar di bibir kemerahan Risa yang berhasil ditangkap netra Moko. Pria itupun jadi tertular ikut tersenyum. Setidaknya ia tahu, amarah gadis itu sudah mereda. Keduanya memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembicaraan yang dirasa cukup berat karena melibatkan dua hati.
“Gue bener-bener minta maaf, Ca.” Moko memberanikan diri setelah menghabiskan Cheese Spicy chicken pesanannya.
“Untuk?” Risa menegakkan duduknya sambil menyesap coffe jelly float di tangannya.
“Kejujuran gue kemarin.”
Risa yang sedang minum sontak tersedak hingga beberapa kali terbatuk. Moko berdiri dan langsung menepuk pelan punggung Risa. Pria itu gegas mengambil air mineral miliknya untuk kemudian diberikan pada Risa agar batuknya reda.
“Pelan-pelan ishh.” lirih Moko masih mengusapkan jemari besarnya di punggung Risa.
“Elo sih!” Risa memukul bahu Moko pelan.
Moko mengatupkan bibir menahan senyum, namun ada sejuta kembang api yang meledak riuh bersamaan dalam hatinya saat mendengar racauan Risa yang tanpa nada amarah sedikitpun.
“Iya, iya maaf. Pokoknya gimanapun keadaannya gue yang salah.” sahut Moko lantas tergelak kecil.
Begitu batuknya reda, Risa terlihat salah tingkah karena Moko enggan kembali ke tempat duduknya. Malah asik menatapnya intens dari jarak yang sangat dekat seperti ini.
“Elo ngapa liat gue gitu banget deh, Ko.” protes Risa sembari melirik sekilas.
“Kalo sekarang elo yang salah.” jawab Moko menimbulkan kerutan di kening Risa.
Moko mengusap pelan kerut tersebut hingga Risa menormalkan lagi raut wajahnya.
“Gue salah apa emang?”
“Salah elo, kenapa lahir jadi cewek secantik ini sih? ya mata gue otomatis jadi betah lah liatin elo terus.” seru Moko sambil mengusap pelan puncak kepala Risa.
Kedua pipi Risa mendadak merasa panas. Mendadak merah, semerah tomat, aah … tidak, tomat saja kalah merah dengan pipi gadis itu.
“Ckk … kumat.” umpat Risa mengerucutkan bibir.
“Elo yang kumat, manyun-manyun ngasih kode kalau minta disosor lag— awww…!!! Sakit, Ca.” pekik Moko ketika jemari lentik Risa sudah mencubit kecil tepat di pinggangnya.
“Rasain! salah sendiri mulut lo gak bisa direm banget sih.”
“Gue jujur Ica Caca Marica, astaga! bagian mana yang salah sih?” Moko menggosok cepat naik turun di pinggang bekas cubitan Risa tadi, pasti akan ada bekas kebiruan nantinya.
“Jangan-jangan ke Kinar atau cewek-cewek lain lo juga kayak gini ya?”
Risa memicingkan mata curiga. Tak salah kan kalau Risa punya pikiran seperti itu, yang ia ketahui, Moko sempat tergila-gila dengan rekan sesama vokalisnya di Senorita Band. Di lain hal, band yang dimanageri Moko itu juga sering manggung dari kafe ke kafe yang pastinya akan banyak pula pengunjung wanita-wanita cantik di sana.
“Kok bahas Kinar lagi sih?”
“Ya spontan aja gue inget dia kalo lagak lo mulai gombal-gombal nista gini.” dengkus Risa langsung membuat Moko mencubit gemas pipinya.
“Ckk, gombal nista gimana? gue cuma gini ke elo, Ca. Udah gue bilang kan kemaren, perasaan gue ke Kinar sama ke elo beda jauh, Sayang.”
Sayang?
Moko apaan sih? jantung Risa mendadak disko malu-maluin kalau pria itu terus-menerus berkata manis padanya.
“Gue ke Kinar sayangnya kayak abang ke adeknya, kayak gue ke Monica. Sedangkan sayang gue ke elo,” Moko menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Tangannya lagi-lagi meraih jemari Risa tanpa ijin. “Gue ke elo, sayang menjurus cinta luar biasa yang sulit dinalar, Ica. Hati gue beneran jatuh sejatuh jatuhnya ke elo. Gue harus jujur model gimana lagi sih biar elo percaya, biar elo yakin.”
Tunggu dulu!
Risa butuh beberapa menit untuk mengerjapkan mata, dan menyadari bahwa yang baru saja merayunya adalah seorang Herpinda Moko. Pria dua puluh delapan tahun yang sejak balita sudah menjadi teman sepermainannya.
“Ko,” panggil Risa sangat pelan dan dengan tatapan mengunci pada kedua mata Moko.
“Hmm,” Moko berdehem sekali. Ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan Risa yang masih ia genggam pelan. Meski Risa mengepalkan tangannya, Moko tau Risa sedang berkeringat dingin di sana.
“E.. elo serius, Ko?” Risa berkedip beberapa kali saat melihat wajah Moko yang nampak tegas kali ini.
“Kapan gue pernah bohong sama elo, Ca?” Risa menggeleng sekali. Moko sahabat dekatnya sejak lama, satu kali pun Moko tak pernah berbohong pada gadis itu.
“Elo kenal banget gue kayak apa kan?” Kali ini Risa memberi anggukan sebagai jawaban.
“Kali ini gue sangat sangat sangat serius, Risa.”
Dan, ketika Moko memanggil namanya dengan benar, saat itulah Risa seibu persen percaya dan yakin dengan apa yang diutarakan oleh pria di depannya.
“Gue sayang sama elo, cinta sama elo.” Moko mengeratkan genggaman tangannya. “Kemaren … gue nyium elo karena gue happy banget saat tau elo belum pernah ciuman, dan gue … gue pertama jadi yang pertama buat lo.”
“Tapi gue entah jadi yang ke berapa buat elo.” gunting Risa memanyunkan bibir.
“Elo juga jadi yang pertama buat gue, Ca. Trust me.”
Jantung Risa berdebar semakin kencang. Gadis itu juga menggigit bibir bawahnya hingga terasa sakit.
“Jadi selama ini e—”
“Jadi istri gue ya, Ca. Karena gue kayaknya bakalan mati, kalau sampe liat elo jadi istri orang lain.”
Risa kembali melongo dengan pilihan Moko.
“Ckk, mana ada sih orang ngelamar kalimatnya kayak gitu.” omel Risa lantas menarik kedua tangannya lalu bersedekap.
“Eh?” Moko mengerjap linglung. “Lamar?”
“Ya kalo elo minta gue jadi istri lo, itu berarti elo lagi ngelamar gue kan?” tegas Risa namun tak berani menatap langsung ke mata Moko.
“I- i- ya iyalah. Jadi, jadi elo mau kan gue lamar?” kali ini Moko yang mendadak gugup salah tingkah.
“Ulang! Lamar yang bener, baru gue pikirin jawabannya.”
***