7. Mendadak Aku-Kamu

1920 Kata
“Loh, Ayah kok turun sendirian? mama mana?” Risa keheranan ketika melihat Sigit- ayah sambungnya, turun seorang diri dari kamarnya. Tanpa sang Mama yang beberapa menit lalu akan dipanggil oleh SIgit untuk makan malam bersama. “Mamamu agak pusing katanya, mau makan di kamar aja. Ini mau ayah ambilin makan buat Mama.” Sigit yang seorang pengusaha mebel ternama sudah hampir tiga belas tahun menjadi ayah sambung bagi Risa dan Gissa. Karena sifat beliau yang sabar dan pengertian akhirnya mampu dengan cepat mengambil hati kedua putri Neni dari pernikahan terdahulunya. “Pusing kenapa Yah? perasaan tadi siang nggak kenapa-napa deh?” sahut di bungsu Mita yang duduk di sebelah Risa di ruang makan. “Masuk angin aja kali nak, butuh banyak istirahat biar cepet pulih.” Khawatir dengan kesehatan sang mama, Risa mengambil inisiatif untuk menyiapkan makan malam untuk Neni. “Biar Ica aja yang bawain makanan mama ke atas, Yah.” sela Risa ketika melihat Sigit membawa piring kosong untuk makan malam sang istri. “Hmm, yaudah kakak aja yang bawain ke atas ya?” Risa mengangguk pelan lantas dengan cekatan mengambilkan nasi dan beberapa lauk pauk yang sudah dimasakkan asisten rumah tangga mereka. “Makanmu udah selesai kak?” Sigit memastikan lagi pada Risa. “Udah kok, makanku kan gak pake lama kayak Mita.” Risa tersenyum jahil sambil melirik pada adik tirinya yang masih berusia lima enam belas tahun. “Diih, kak Ica … aku bukannya lama, cuma lagi sakit gigi aja, makanya bikin gak semangat makan.” jawab si bungsu membela diri. “Iya deh iya,” pungkas Risa lantas memindahkan piring yang sudah ia isi dengan makan malam ke dalam nampan persegi. Menambahkan segelas air hangat dan potongan kiwi lantas membawanya dengan hati-hati ke kamar sang mama di lantai dua. Mengetuk daun pintu pelan, Risa baru masuk kamar utama kedua orang tuanya setelah mendengar suara lirih yang ibu. Neni tersenyum samar ketika melihat putri sulungnya yang masuk dan membawakannya makan malam. Perlahan perempuan paruh baya itu duduk tegak dan menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Melihat ibunya masih berusaha tersenyum meskipun wajahnya pucat pasi, membuat Risa semakin kecil hati dan mengira sang ibu jatuh sakit karena dirinya. Pasalnya, Neni mendadak demam dan pusing hanya berselang satu hari setelah ia mengabarkan tentang batalnya pertunangan Risa dengan Bimo. Risa tau betul ibunya adalah tipe orang yang selalu berpikir terlalu dalam jika ada hal yang mengganjal hatinya. Jadi tak salah jika kali ini Risa menganggap dirinya lah penyebab Neni seperti ini. “Ma,” desis Risa pelan. “Eh, sini sayang. Kirain Ayah.” jawab Neni dengan suara serak. Risa menarik bangku kecil di sebelah tempat tidur sang mama. Meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja kecil di sebelahnya. “Ayah nemenin Mita makan malam, Ma. Jadi biar aku aja yang bawain mama makan, atau mau aku suapin juga?” Risa menawarkan diri. “Mama masih kuat makan sendiri kok, Ca.” Neni menerima piring berisi nasi lengkap dengan kuah soto, suwiran daging ayam serta kentang goreng di bagian tepinya. “Mama jadi gini pasti karena mikirin aku ya?” Risa membuka pembicaraan sambil menunggu sang mama menghabiskan makan malamnya. “Karena kamu gimana?” Neni melirik sekilas pada Risa yang masih tak melepaskan fokus darinya. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, Risa mengangkat wajahnya ketika menjawab sang mama. “Ya, karena aku semalem ngasih tau ke mama tentang batalnya pertunanganku dengan Bimbim, eeh … Bimo maksudku.” Neni mengulurkan satu tangannya memberi isyarat pada Risa agar putrinya itu mengambilkannya air minum. Setelah menenggak hampir separuh isi gelasnya, baru lah Neni menanggapi kalimat Risa yang sedikit menganggunya itu. “Nggak lah Ca, mama malah bersyukur.” jawab Neni sambil menyendokkan suapan terakhir ke mulutnya lantas mengunyah pelan. Risa mengernyitkan kening. “Bersyukur?” “Hmm … setidaknya kita tau kalau kamu dan Bimo tidak berjodoh sejak awal seperti ini. Bukannya malah ketika sudah tunangan, atau bahkan ngerinya ketika kalian sudah menikah. Iya kan?” Risa menunduk dan masih diam tak menimpali. Tapi dalam hati, tentu saja ia juga merasakan hal yang sama. Lebih baik gagal sebelum semuanya terlambat. Andai ia dan Bimo sampai ke pernikahan dan mereka baru menyadari bahwa Risa adalah perempuan yang tak bisa mengandung, tak bisa memberikan keturunan pada Bimo. Pasti Risa akan semakin merasa tertekan serta terpuruk, dan hal yang paling mengerikan lainnya adalah bisa saja ia ditalak cerai atau bahkan dipoligami oleh Bimo karena alasan kemandulannya tersebut. “Jujur sih, di hati mama ada sedikit rasa sedih dan kecewa, karena putri sulung Mama yang cantik ini batal bertunangan dan membina rumah tangga.” Neni mengusap pelan pipi Risa yang tengah menunduk dalam. “Tapi Mama akan jauh lebih sedih lagi, kalau kamu sampai gagal di kemudian hari dan terpuruk dalam penyesalan.” sambung Neni bijak. “Memangnya kamu nggak sedih?” “Ya sedih lah, Ma. Tapi gak yang berlebihan banget.” jawab Risa pelan. Gadis cantik dengan bola mata bulat itu memang sedih, tapi bukan hanya karena jalinan kasihnya yang kandas dengan Bimo. Melainkan alasan dibalik putusnya mereka berdua. Hasil test yang menunjukkan ada kelainan di rahimnya lah yang membuat Risa merasa tertekan luar biasa. Di kemudian hari, entah siapapun yang menjalin hubungan dengannya dan berjodoh hingga ke pelaminan, sedikit banyak pasti akan merasa kecewa jika Risa tak mampu memberikan keturunan. “Pasti karena Moko yang banyak ngehibur kamu pas lagi patah hati, iya kan?” “Hah? Eh, gimana … gimana?” Risa mendadak merasa aneh karena sang Mama yang langsung membicarakan Moko setelah dengan serius mereka membahas Bimo. “Lha, dari dulu tiap kali kamu patah hati, atau putus cinta kan Moko yang selalu jadi orang pertama yang ada di samping kamu, Ca. mama inget banget kok, kalau Moko hampir pasti ada setiap kamu nangis-nangis bombay abis putus sama pacar-pacar kamu itu.” Untuk beberapa detik, Risa melongo karena ingatan sang mama yang begitu baik tentang tingkah lakunya selama ini. Apalagi pada bagian patah hati. Kesannya Risa ini seperti seorang play girl yang berkali-kali mengalami kegagalan asmara. “Pacar-pacar? astaga Mama, kayak yang aku play girl banget gitu sih?” protes Risa tak terima. “Lha emang kan? bahkan kalau gak salah, Bimo ini pacar kamu yang ke … hmm, sebelas ya? meski udah tua gini ingatan mama lebih oke dari kamu yang masih muda loh, Ca.” Neni mundur sedikit untuk menegakkan punggungnya lagi. Piring dan gelas yang sudah kosong ia ulurkan pada Risa agar diletakkan kembali di nampan. Mengendikkan dagunya, Neni meminta Risa agar mengambilkan potongan buah kiwi di piring kecil yang lain. “Masa sebelas sih Ma?” Risa balik bertanya. Sebenarnya ia enggan jika harus mengingat-ingat sudah berapa banyak mantan kekasihnya selama hampir dua puluh delapan tahun usianya kini. Tapi melihat sang mama, yang sedikit antuasias membahas hal ini, Risa rela saja lah jika harus sedikit mengingat tentang beberapa pria yang pernah singgah di hatinya. “Perasaan cuma lima atau enam gitu deh,” lanjut gadis itu lagi. “Perasaanmu aja itu nak. Coba deh inget-inget lagi, sejak SMP kelas dua kamu udah pacaran kan? Pacar pertama kamu itu namanya Andi? Iya kan? Mama inget banget kok.” seru Neni dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. Mau tak mau Risa tertular senyum sang ibu. Gadis itu hanya diam sambil mengamati Neni yang berusaha mengingat kenangan akan putrinya belasan tahun silam. “Terus pacar kedua kamu itu, namanya Fedrick, trus hmm … Arya, Agus, Hesta, Radit, Pino,” Neni lancar sekali menyebutkan satu persatu nama pria yang pernah menjalin hubungan special dengan putri sulungnya. “Yang ke sepuluh itu Panca, dan terakhir Bimo. Tuuuh kan, pas sebelas, Ca.” imbuh Neni kemudian. Risa menganga untuk beberapa detik. Dia merasa takjub sekaligus malu dalam waktu yang bersamaan. Takjub akan kemampuan sang mama dalam hal mengingat sesuatu, namun malu karena ia sendiri yang justru lupa dengan jumlah mantan kekasihnya. “Tapia da satu nama yang sampai sekarang nggak pernah jadi mantan kamu ya, Ca.” Kening Risa berlipat sempurna. “Siapa?” “Moko.” “Moko?” ulang Risa. “Iya, Moko. Anak itu selalu orang yang ada di samping kamu dalam keadaan apapun kan, Ca? Sahabatmu itu selalu setia dalam suka ataupun dukamu. Atau jangan-jangan …” “Jangan-jangan apa Ma?” Risa penasaran juga dengan kalimat sang mama yang sengaja digantung. “Jangan-jangan jodohmu selama ini si Moko. Makanya kamu selalu putus sama cowok-cowok yang lain.” Neni menoleh ke arah Risa dengan binar mata yang berbeda dari yang sebelumnya. “Diih mama, pikirannya kejauhan deh. Aku sama Moko itu udah kayak kembar dempet Ma. Nggak cocok terlibat masalah percintaan. Sampai kapanpun kami akan jadi teman.” “Ya namanya jodoh kan misteri, Ca. Iya sekarang teman biasa, siapa tau besok atau lusa jadi teman hidup.” Neni tersenyum lebar meskipun wajahnya masih terlihat sedikit pucat. “Ma, mending sekarang mama minum ini dulu deh. Ini paracetamol, ini antibiotik, ini vitaminnya.” Risa mengambil tiga buah tablet yang sebelumnya sudah disiapkan sang ayah untuk mamanya. “Kayaknya demam sama pusing bikin mama mikir aneh-aneh deh.” “Bukannya mama mikir aneh-aneh, Ca. Ya siapa tau aja kan?” Neni kembali tergelak samar setelah meminum obatnya. “Udah ah, aku tinggal dulu ya. Mama istirahat aja yang banyak, nggak usah kepikiran yang aneh-aneh. Nggak usah mikirin jodohku terlalu dalem, nanti juga dateng dengan sendirinya.” Pamit Risa, lantas berlalu dari dalam kamar sang mama sambil membawa nampan yang sebelumnya ia bawa. Hingga hampir tengah malam, Risa tak bisa segera memejamkan mata karena memikirkan perkataan Neni beberapa waktu sebelumnya. Membayangkan Moko yang akan menjadi jodohnya seumur hidup, membuat gadis itu terkekeh geli sendirian. Persahabatan yang terjalin di antara keduanya yang sudah terjalin sejak usia balita, membuat Risa tak pernah sekalipun memikirkan mereka akan terjebak dalam kisah asmara. Suara getaran dari ponsel yang Risa letakkan di sebelah laptop, membuat gadis itu sedikit berjingkat karena terkejut. Layarnya berkedip beberapa kali menampilkan nama seseorang yang baru saja berkelebatan di benaknya. Herpinda Moko. “Ha- ha- hallo se- selamat malam. Iy- iya, Ko.” Entah apa yang merasuki Risa, hingga membuat gadis itu mendadak gugup dan salah tingkah ketika mengangkat telpon dari Moko. Sahabat yang selama ini ia anggap bisa-biasa saja. Namun, karena kalimat sang mama tadi, tiba-tiba saja membuat jantung Risa berlompatan saat mendengar suara berat dari Moko. “Lo kenapa Ca? Tumben banget gagap gitu pas jawab telpon gue?” sahut Moko dari seberang sana. “Ng ... nggak apa-apa kok. Aku nggak kenapa-kenapa?” Dari tempatnya, Moko mengerutkan kening penuh tanya. Sejak kapan Risa, membahasakan ‘aku-kamu’ ketika berbicara dengannya. “Ca?” “Iy- iya, Ko?” sahut Risa masih tergeragap. “Elo nggak apa-apa kan?” “Nggak, aku nggak apa-apa kok.” “Yakin?” tuntut Moko. “Iya, yakin.” “Kenapa bahasa lo jadi ‘aku-kamu’ gitu?” “Eh masa?” Risa menutup mulut hampir tak percaya. Ternyata kalimat sederhana dari sang mama membuat otaknya sedikit bergeser hingga mampu berbicara di luar kewajaran seperti ini. “Iya. Barusan elo bilang gitu kok.” “Lupain aja lupain, Ko.” “Enggak lah, enak aja suruh lupain. Kesempatan langka tuh, seorang Risa bisa ber-aku kamu kayak gitu. Ulangin dong, please.” goda Moko tak tahu diri. “Lupain, Ko.” Risa berkeras dengan jawabannya. “Please, Ca.” Mengambil napas panjang sembari memejamkan mata pelan, akhirnya Risa meloloskan permintaan sederhana sahabatnya itu. “Aku tutup dulu ya telponnya kalau kamu aneh gini.” ucap Risa dengan nada sangat pelan. “Yess!! Berhasil gue rekam.” “Ishh … Moko!!!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN