"disini, disaksikan oleh papa kandung saya, dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, saya memutuskan untuk menerima lamaran dan bersedia untuk menikah dengan dr. Rama."
Akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut Rania, kata-kata yang aku ingin dengar sedari tadi. Rasanya tidak sia-sia aku menunggu Rania menyelesaikan kalimatnya tadi, meskipun sedikit lama tapi terbayar dengan apa yang aku dengar. Akhirnya, akhirnya aku bisa menikah dengan Rania. Meskipun aku tidak menyangka kalau jalan ku akan semulus ini mengingat tadi aku seperti melihat ada sedikit keraguan di wajah cantik Rania tapi pada akhirnya aku sangat bersyukur karna nyatanya dia juga mempunyai perasaan untukku. Itu semua dibuktikan dengan kesediaannya untuk menikah dengan ku. Bersedia menjadi istri dan ibu dari anak-anakku kelak. Dan saat ini rasanya aku sudah tidak sabar menanti hari bahagia itu tiba. Jika boleh aku ingin menikahi Rania malam ini juga, menjadikan dia istriku, serta membawanya pulang kerumahku. Ibuku pasti sangat bahagia mempunyai menantu yang sangat cantik.
Ahh rasa-rasanya aku sudah mulai gila hanya dengan membayangkan semua itu terjadi sampai-sampai aku tidak bisa memudarkan senyum dibibirku meskipun kejadian itu sudah terjadi satu jam yang lalu, dan disinilah aku saat ini. Didepan rumah Rania, berpamitan kepada calon istriku untuk pulang meskipun aku sedikit tidak rela meninggalkannya malam ini.
"Aku pulang dulu ya, kamu langsung istirahat jangan begadang" pamitku pada Rania untuk yang kesekian kalinya.
"Iya dokter, dokter udah ngomong sampai tiga kali loh" jawab Rania dengan sedikit nada protes. Memang dari tadi aku mengucapkan kalimat yang sama tapi tidak bergegas untuk segera pulang. Bener-bener berat rasanya meninggalkan sang pujaan hati tercinta malam ini. Maunya bisa aku ajak kemanapun aku pergi, tapi sekali lagi aku harus bersabar. Setelah menikah nanti, aku bisa melihat dia setiap saat.
"Kalau lagi gak di rumah sakit, bisa kamu panggil aku mas? Biar kedengarannya gak terlalu formal."
"Hanya saat kita berada diluar rumah sakit" jawab Rania yang ku balas dengan anggukan kepala.
"Yaudah sana pulang, udah malem loh mas"
Aku tidak bisa kalau tidak tersenyum, entah kenapa saat dia mengucapkan kata "mas", darahku berdesir, jantungku berdetak dengan kencang, sehebat itu pengaruh Rania untukku.
"Iyaa sayang, aku pulang. Sampai ketemu besok di rumah sakit"
"Hati-hati dijalan mas" pesan Rania yang hanya aku balas dengan anggukan kepala, dan jangan lupakan senyumku yang terus mengembang karena nyatanya aku memang tidak bisa berhenti tersenyum malam ini.
Aku berjalan menuju dimana mobilku parkir, sebelum masuk mobil kusempatkan untuk menoleh ke arah Rania. Dia masih setia berdiri di teras rumah sambil melambaikan tangannya.
Saat mobilku mulai berjalan, aku lihat Rania juga meninggalkan teras untuk masuk ke dalam rumah.
Terimakasih ya Allah, sudah mengabulkan doa-doaku tadi. Bersanding dengan Rania adalah impianku selama ini, dan aku merasa Allah begitu baik dengan mempermudah semuanya. Rasa-rasanya aku tidak sabar untuk segera memberi tahu ibu kabar bahagia ini, beliau pasti sangat bahagia mendengar aku akan segera menikah.
Karna kakakku sudah menikah, jadi harapan ibu sekarang tinggal aku, mengingat adikku saat ini masih kelas tiga SMA.
*
Setelah memastikan mobil mas Rama menghilang dari pandanganku, aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah berniat untuk beristirahat. Hari ini sangat melelahkan ternyata, setelah seharian ini fikiranku penuh dengan alasan apa yang sekiranya pantas untuk aku sampaikan kepada mas Rama bahwa aku tidak bisa menerima lamarannya karena aku memang tidak mencintainya, namun semua itu hilang seketika setelah papa menjelaskan kepada mas Rama kalau semua keputusan ada ditanganku, karna aku yang akan menjalani pernikahan ini nantinya. Aku tidak menyangka kalau papa akan membelaku, meskipun papa tidak menolak lamaran mas Rama tapi setidaknya beliau membiarkan aku menentukan pilihanku sendiri. Mengingat antuasias papa beberapa waktu lalu, sejujurnya aku sudah pasrah jika memang harus menikah dengan mas Rama. Terlepas dari aku sudah menyiapkan berbagai macam alasan untuk menolaknya, tapi aku sudah bersiap kalau kali ini papa juga memaksaku untuk menerima lamaran mas Rama. Dan karena aku tahu apa yang papa inginkan, maka keputusan akhirku adalah menerima lamaran mas Rama demi kebahagiaan papa. Tidak apa-apa kalau aku tidak mencintainya, aku akan berusaha untuk mencintai mas Rama nantinya. Yang terpenting adalah papa sudah lega karena bisa melepaskanku untuk hidup bersama orang yang tepat menurut beliau, dan ya aku rasa mencintai mas Rama bukanlah hal yang sulit mengingat sifatnya yang baik dan romantis kepadaku, seperti saat berpamitan tadi. Dia menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan "mas". Tidak ada salahnya aku menuruti kemauannya, karena cepat atau lambat aku pasti akan mengubah panggilan itu, dari dr. Rama ke mas Rama. Dan ya aku senang melihat senyumnya saat aku mengucapkan kata itu. Dia terlihat begitu bahagia hanya karna kata sederhana itu.
"Nia, sini papa mau bicara" ucapan papa membuat langkahku menuju kamar terhenti, aku yang terlalu fokus memikirkan mas Rama jadi tidak memperhatikan kalau ternyata papa masih duduk di ruang keluarga. Mungkin papa memang sengaja menungguku untuk membahas keputusanku tadi.
"Ada apa pa? Kenapa papa belum tidur?" Ucapku sambil menghampiri papa dan duduk disampingnya.
"Kenapa kamu menerima lamaran Rama? Aku terdiam mendengar pertanyaan papa, ternyata benar papa penasaran kenapa aku bisa berubah fikiran secepat itu.
"Aku melakukan itu semua demi papa" lirihku
"Demi papa?" Aku mengangguk "apa maksud kamu Nia? Bukankah kamu ingin menolak dr. Rama karena kamu tidak mencintainya? Kamu juga sebelumnya membujuk papa untuk membantu kamu, papa memang tidak membantu apa-apa, papa hanya mengutarakan apa yang ada dibenak papa. Papa rasa kamu berhak menentukan pilihanmu sendiri, terlepas itu dr. Rama atau bukan, dan kalau kamu memang mempunyai pilihan lain papa akan merestuinya. Asalkan dia berasal dari keluarga baik-baik." Jelas Bimo kepada Rania.
"Aku tau pa, dan aku berterima kasih karna papa tidak memaksa aku untuk menerima lamaran dr. Rama. Itu semua murni keputusanku pa, aku melihat ketulusan dimata dr. Rama. Itu yang membuatku yakin untuk menerima lamaran dr. Rama. Dan ya pasti papa bahagia kan mendengar ini?" Tanyaku kepada papa
Papa mengusap kepalaku "tentu saja papa bahagia, karena selain dr. Rama karyawan papa, dia juga orang yang baik, bahkan papa mengenal keluarganya dengan baik. Tapi papa gak mau hanya karena ingin melihat papa bahagia, kamu jadi mengorbankan perasaanmu Nia. Sudah cukup selama ini kamu selalu menuruti kemauan papa, untuk kali ini papa bebaskan kamu memilih jalan hidupmu sendiri"
"Aku memang tidak mencintai dr. Rama, tapi aku mau belajar untuk mencintainya. Oleh sebab itu aku memilih untuk menerima lamarannya, dan aku yakin dengan pilihanku ini pa. Aku yakin dr. Rama bisa membuat aku bahagia nantinya."
Papa memelukku dan aku balas memeluknya "papa bahagia sekali sayang, kamu memang putri terbaik papa. dr. Rama beruntung karena sudah memilih kamu menjadi istrinya"
Ucapan papa membuat meneteskan airmata dalam pelukannya.
"demi papa, demi papa aku akan bahagia hidup dengan mas Rama dan mas Rama tidak perlu tahu kalau aku tidak mencintainya. Apapun yang terjadi nanti, aku akan tetap bahagia. Semua itu aku lakukan demi papa, laki-laki yang paling aku cintai di dunia ini" batin Rania dalam hati.
bersambung...