“Saki.” Panggil Dipta pelan yang langsung bisa membangunkan wanita itu. Saki mengerjap, lalu duduknya langsung tegap saat mengetahui jika pesawat bahkan sudah parkir.
Kenapa pria itu tidak membangunkannya saat sudah akan landing?
“Ayo turun.” Ucap Dipta lagi yang sudah menurunkan koper juga totebag milik Saki, yang kini dia letakkan di atas kopernya. “Nanti lanjut tidur di rumah.” Ucap Dipta lagi yang melihat Saki masih duduk, padahal wanita itu menunggu Dipta beranjak dulu dan menyingkir supaya dia bisa lewat.
“Kita pulang ke rumah keluarga kamu atau apartemen kamu, Mas?” Tanya Saki lagi, rasanya belum sanggup menghadapi keluarga suaminya itu apalagi tinggal bersama.
“Apartemenku.” Ucap Dipta yang membuat Saki bernapas lega dan Dipta bisa melihat itu.
“Dipta, pulang dulu ke rumah. Setelah menikah kamu juga tinggalah di rumah seperti kaka-kakamu. Mama ingin semua anak-anak Mama berkumpul di rumah.” Itu suara Laras yang lebih terdengar seperti ultimatum.
Dipta kembali menarik tangan Saki untuk mengikutinya. Saki diam-diam menelan ludahnya dengan jantung yang berdegup mendengar ucapan wanita yang masih belum dia tau namanya itu. Wanita yang secara status adalah mama mertuanya.
Kaka-kaka Dipta tinggal serumah dengan keluarganya bahkan setelah menikah? Diam-diam Saki mengaduh dalam hati. Dia tidak bisa jika Dipta mengikuti perintah mamanya. Tapi apa yang bisa dia lakukan?
“Tidak, Ma. Aku akan tinggal di apartemen sementara sebelum mendapatkan rumah. Aku tidak ingin tinggal di rumah Mama. Ini hidupku dan rumah tanggaku. Aku tidak ingin tinggal satu atap bersama rumah tangga yang lain. Maaf ya, Ma. Dipta mau langsung pulang ke apartemen.” Dipta menghampiri Mamanya, mencium tangannya dan memeluknya. Saki juga ikut mencium tangan wanita itu namun langsung mendapat tepisan kasar.
“Dipta! Jahat kamu tidak menurut dengan mama!” Ucap Laras dengan ketus, namun Dipta menatap mamanya dengan lembut.
“Maaf, Ma. Dipta sayang Mama. Dipta pulang dulu ya.” Sekali lagi Dipta memeluk mamanya, dia lalu menyalami papanya, Saki juga mengikutinya.
“Kami pulang dulu, Om.” Ucap Saki melihat pada pria itu yang menatapnya lebih baik dari yang lainnya.
“Hati-hati kalian.” Ucap Fairuz membuat Dipta mengangguk, lalu kembali menarik lengan Saki untuk mengikutinya.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan Dipta dan Saki, Dipta langsung membuka pintu penumpang untuk Saki.
“Ayo masuk.” Ucap Dipta membuat Saki mengangguk, lalu setelah Saki masuk Dipta langsung menutup pintunya, menyerahkan kopernya kepada sang supir dan pria itu menuju pintu di sisi seberang dan masuk.
Saki kembali bertanya-tanya, pria itu kenapa harus membukakan pintu untuknya? Namun Dipta langsung memejamkan matanya, Saki juga melakukan hal yang sama. Setidaknya dua puluh sampai tiga puluh menit bisa mereka manfaatkan untuk tidur.
“Unitku ada di lantai dua puluh dua.” Ucap Dipta saat mereka masuk ke dalam lift, pria itu mengeluarkan kartu akses. Saki membatin, jelas ini apartemen mewah yang sangat jauh berbeda dengan apartemennya.
“Ayo.” Dipta memintanya keluar lebih dulu, lagi-lagi pria itu menggenggam tangan Saki untuk mengikuti langkahnya.
Pintu terbuka setelah Dipta menekan beberapa digit angka. Saki masih mengekor di belakang pria itu.
“Pinnya 287945. Ingat ya. Ini kartu akses lift.” Dipta lalu menyerahkan satu kartu akses kepada Saki. Saki menerimanya.
“287945. Oke, aku catat dulu.” Saki lalu membuka ponselnya dan mengetikkan pin itu di notes agar tidak lupa.
“Sini ponselmu.” Ucap Dipta mengambilnya begitu saja, lalu mengetikkan nomornya pada ponsel Saki, dan membuat panggilan ke nomornya sendiri hingga ponsel pria itu berdering, kembali mengembalikan ponselnya pada Saki.
Tatapan Saki berpendar pada apartemen yang mewah itu. Ada beberapa ruangan, membuatnya menghela napas lega untuk sesaat.
“Mas, malam ini bolehkah aku tidur di kamar tamu dulu? Kupikir banyak yang perlu kita bicarakan. Tapi kita sama-sama lelah, dan lebih baik bicara besok pagi saja ya?” Ucap Saki membuat Dipta menatap wanita itu dengan sejuta makna.
“Oke. Kamar yang itu.” Dipta mengiyakan pada akhirnya, dia lalu menunjuk salah satu ruangan, membuat Saki mengangguk dan langsung menuju kamar itu. Pertama dia butuh tidur agar pikirannya bisa berpikir jernih bagaimana mendiskusikan kelanjutan pernikahan ini.
Dipta juga memilih kembali masuk ke kamarnya, tubuhnya terasa lengket, dia akan mandi dulu lalu tidur beberapa saat sebelum membahas beberapa hal dengan wanita yang masih terasa asing itu.
Alarm di ponselnya membangunkan Saki. Jam lima pagi, dia beranjak untuk mengambil wudhu dan melaksanakan solat subuh. Mengecek sebentar ponselnya, belum ada balasan email atau pesan yang dikirimkan oleh bosnya terkait tambahan cutinya satu hari lagi. Mungkin nanti jam enam pagi dia akan menelpon.
Saki melipat mukenanya lalu beranjak keluar kamar. Dia tidak tau kamar mana yang ditempati oleh suaminya itu. Seperti masih tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Wanita itu lalu mengetuk pintu di sebelah kamarnya, hanya menduga-duga jika Dipta menempati kamar itu.
Benar saja, pintu dibuka dan melihat jika Dipta terlihat baru bangun.
“Ada apa?” Tanya Dipta dengan wajah yang masih mengantuk.
“Sudah subuh, Mas. Takutnya kesiangan.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk.
“Thanks.” Dipta tidak lagi menutup pintunya, membiarkan Saki berdiri di sana sedang pria itu sudah beranjak menuju kamar mandi.
Saki memilih beranjak ke dapur, membuat teh hangat sepertinya enak, dia juga lapar karena terakhir makan sepertinya kemarin sore. Itu juga tidak banyak.
Saki lalu membuka kulkas, dan meringis tidak melihat apa pun di sana. Hanya ada roti, telur juga sawi dan tomat. Lalu dia membuka kabinet-kabinet yang ada di sana, persausan lumayan lengkap. Dia memutuskan untuk membuat sandwich saja, padahal dia menginginkan nasi goreng. Tapi lama jika harus memasak nasi dulu.
Wanita itu mengambil dua cangkir, merebus air dari teko elektrik, sambil menunggu memilih mengocok telur dan mendadarnya, dia juga mengambil roti dari kulkas lalu mengolesnya dengan margarin sebelum dia toast.
Teko elektrik berbunyi, membuat Saki langsung menuang air panas itu ke kedua cangkirnya, lalu menyajikan teh itu di meja makan.
“Buat apa?” Tanya Dipta yang tau-tau sudah masuk ke dapur.
“Sandwich saja, Mas. Mau teh atau kopi?” Tanya Saki padahal di tangannya sudah membawa dua cangkir teh.
“Teh saja. Thanks.” Ucap Dipta membuat Saki mengangguk, wanita itu kembali melanjutkan kegiatannya membuat sandwich. Menggoreng telur terlebih dahulu.
“Aku itu keponakan Pakde Raharja, Mas. Pakde dan Ayahku kaka adik, orang tuaku meninggal saat aku berusia lima tahun. Saat itu Pakde memutuskan untuk mengurusku walau sempat ditentang oleh Bude Farah. Lalu saat akan masuk sekolah, Pakde ingin resmi mengangkatku sebagai anak karena aku butuh KK untuk sekolah, sehingga namaku ditambah dengan marga dari keluarga Bude yang masih keturunan ningrat.” Saki memulai ceritanya, Dipta diam mendengarkan. Wanita itu masih membelakanginya.
“Jadi mungkin ini akan mengecewakan keluarga kamu, jika kenyataannya yang menikah denganmu bukanlah bagian dari keluarga Kusumadiningrat dan tidak memiliki keturunan darah biru. Tidak bergelimang harta dan tidak memiliki aset kekayaan.” Saki kembali melanjutkan. Wanita itu mengambil roti yang sudah selesai di-toast, lalu kembali memasukkan dua yang lain.
“Orang tau meninggal karena apa, Saki?” Tanya Dipta, membuat Saki menoleh sejenak namun kembali melanjutkan memotong tomatnya.
“Kecelakaan, Mas. Aku juga menjadi korban, dan satu-satunya yang selamat.” Ada rasa sesak yang mengikat dadanya mengatakan itu. Padahal kejadian itu telah berlalu puluhan tahun silam.
Dipta diam, menunggu wanita itu melanjutkan cerita tentangnya.
“Semoga kamu tidak berpikir jika aku memanfaatkan pernikahan ini. Aku melakukannya karena Pakde, tidak ada niat lain. Dia telah banyak menolong hidupku hingga aku bisa sampai di titik ini. Kupikir membereskan kekacauan yang disebabkan Putri bisa menebus kebaikan Pakde selama ini. Aku tidak akan mengambil keuntungan apapun dalam pernikahan ini. Aku memang tidak kaya, tapi aku mampu menghidupi diriku dengan baik selama ini.” Saki menghentikan ucapannya.
Dia telah selesai membuat sandwichnya, membawanya ke meja makan dan menghidangkannya untuk Dipta juga.
“Hanya ada itu di kulkas, aku lapar sekali. Mungkin kamu juga lapar, jadi aku membuat extra.” Ucap Saki yang kini sudah duduk berhadapan dengan Dipta. Dia menggenggam cangkir teh yang masih panas, lalu meminumnya sedikit-sedikit, rasa hangat langsung terasa di perutnya dan membuatnya merasa lebih baik.
“Kamu pandai memanfaatkan bahan yang ada.” Ucap Dipta yang kembali menyesap tehnya. Mendengar itu membuat Saki mengernyit dan terkekeh. Apanya yang pandai? Itu kan hal yang biasa?
“Aku tidak keberatan sama sekali jika kamu ingin menceraikanku secepatnya. Atau jika kamu ingin bertahan hingga Putri kembali aku juga tidak masalah. Intinya aku tidak ada masalah kapan pun kamu mau menceraikanku, bahkan jika kamu menceraikanku detik ini. Tapi, aku juga tidak ingin mempermainkan pernikahan ini dan menambah dosaku sebagai seorang istri. Selama kamu belum menceraikanku, maka aku akan menjalankan peranku sebagai seorang istri. Tapi sungguh, yang aku lakukan bukan untuk membuatmu terkesan. Ini antara aku dengan Allah saja, karena menikah adalah ibadah kan?” Saki menatapnya dengan senyum, tanpa tau jika ucapannya begitu menyentak dan mengejutkan Dipta.
Wanita ini, kenapa bisa mengatakannya semudah itu? Dan apa tadi setelahnya? Akan menjalankan perannya sebagai seorang istri? Menikah adalah Ibadah? Antara aku dengan Allah? Wanita ini penuh dengan kejutan.
“Kenapa kamu memikirkan perceraian?” Tanya Dipta menatapnya dalam, setelah lama terdiam.
“Karena kamu mencintai Putri, dan pernikahan ini kesalahan, seperti yang tadi aku katakan, niatku murni hanya untuk membantu Pakde, tidak akan mengambil keuntungan apapun. Jadi jika kamu mau menceraikanku juga aku tidak ada masalah.”
“Bagaimana jika aku tidak memilih keduanya?”
“Maksudnya?”
“Tidak menceraikanmu secepatnya dan tidak menceraikanmu sekali pun Putri kembali.” Tatapan Dipta begitu lekat, membuat Saki membeku dengan tubuh yang menggigil. Kenapa pria itu mengatakan hal tidak terduga?
“Kenapa?” Tanya Saki dengan lidah yang kelu. Sungguh tidak mengerti dengan ucapan Dipta.
“Apanya?” Dipta menyungging senyum melihat keterkejutan di wajah Saki. Wanita ini menarik. Seperti tidak memikirkan perasaannya sama sekali. Benar-benar hanya ingin membantu Pakdenya sebagai balas budi?
“Kenapa tidak menceraikanku?” Saki memperjelas pertanyaan sebelumnya, dengan kepala yang semakin penuh memikirkan maksud pria itu.
“Kenapa aku harus menceraikanmu padahal aku sudah menikahimu?” Dipta justru membalikkan pertanyaannya, membuat Saki kehilangan kata-katanya, dia tidak pernah menduga dengan jawaban Dipta.
Melihat Saki yang tidak lagi membalas ucapannya, pria itu memilih menikmati sandwich yang dibuat oleh Saki. Masakan pertama yang dibuat oleh istrinya? Oh, Dipta terkekeh dalam hati dengan pikirannya.
Enak. Sandwichnya enak, tehnya juga manisnya pas. Wanita itu memang sepertinya akrab dengan dapur. Tidak seperti Putri yang tidak pernah menyentuh dapur sama sekali.
Sial! Kenapa dia harus membandingkan Putri dengan Saki?