Bab 13 | Hati yang Gelisah

1724 Kata
Pagi ini Saki bangun lebih awal dari biasanya, dia ingin membawa bekal untuk hari ini, sudah bosan dengan menu makanan di kantin. Membayangkan nasi daun jeruk dengan ayam pop dan telur ceplok langsung membuat perutnya keroncongan. Dia lalu beranjak untuk menyiapkan bahan-bahannya sambil menunggu subuh. Dia kadang memang membawa bekal kadang makan di kantin, semuanya tergantung apakah dia terburu-buru pagi itu atau jika dia tidak bangun kesiangan. Biasanya dia membuat bekal dua sampai tiga kali seminggu, namun sarapan dan makan malam dia selalu memasak. Dipta juga tidak terlalu rewel dengan apa yang dia sajikan, biasanya jika pagi dia akan membuat menu sederhana yang sehat seperti kentang panggang dengan telur dadar dan salad sayur, atau toast dengan mayonaise dan d**a ayam juga telur rebus, Hari ini dia menyiapkan menu sarapan scrambled egg sausage toast dengan salad sayur. Saki tau mereka berdua sama-sama sibuk, dan mungkin itu yang membuat Dipta jadi tidak banyak menuntut karena mereka sama-sama bekerja. Hingga hari ini, Dipta tidak pernah absen untuk mengantar dan menjemputnya ke kantor. Pria itu selalu keluar dengan setelan yang rapi dan sudah siap berangkat sebelum jam enam pagi, lalu menikmati sarapan dengannya sekitar lima belas menit sebelum akhirnya memutuskan untuk berangkat. Saki juga selalu menanyakan apa yang diinginkan pria itu untuk makan malam dan Dipta kadang mengatakan keinginannya kadang terserah padanya, saat sarapan pria itu tidak pernah meminta ini dan itu kecuali saat weekend Dipta biasanya memiliki request menu sarapan yang sedikit berat dan lengkap dengan nasi. Pria itu seolah memahami dirinya dan tidak ingin memberatkannya. Saki memang tidak pernah menyiapkan bekal makan siang Dipta kecuali pria itu yang memintanya, karena dia juga yakin Dipta sering memiliki lunch meeting atau makan siang dengan koleganya. Itu yang selalu dia lihat di kantornya, jika jabatan manager sampai ke atas, pasti selalu makan siang keluar. Saki kembali ke dapur setelah siap dengan pakaiannya. Ternyata Dipta juga baru keluar kamar. “Pagi …” “Pagi, Mas. Mau kopi atau teh?” Tawar Saki membuat Dipta tersenyum. “Kopi boleh.” “Oke.” Dipta melihat di meja makan sudah tersedia makanan yang menggugah seleranya, membuatnya tersenyum dan duduk di sana, sedang Saki sedang membuat kopi untuknya dan wanita itu membuat cokelat hangat untuk dirinya. Ah, Dipta jadi tersadar bagaimana perubahan pola hidupnya sejak bersama Saki. Mengawali harinya dengan menu makanan yang sehat dan layak dikonsumsi. Padahal dulu biasanya pagi dia hanya sarapan kopi di coffee shop yang ada di lobi kantor. “Sepertinya hidupku mengalami peningkatan yang baik.” Ucap Dipta memulai obrolan. “Kenapa, Mas?” “Kamu tau, dulu aku selalu sarapan segelas kopi dari coffee shop, kadang makan oat saja atau roti. Dulu aku juga sangat tidak suka dengan sayur. Namun semenjak bersama kamu, sepertinya setiap pagi kamu selalu memberiku raw food seperti ini. Tapi anehnya rasanya enak dengan mayonaise dan wijen sangrai apalagi dengan telur rebus dan ayam yang punya bumbu khas itu.” Mendengar itu membuat Saki terkekeh. “Kan aku selalu bertanya sarapan apa yang kamu inginkan, karena kamu mengatakan terserah, jadi aku membuat sarapan yang biasa aku makan.” “Iya, karena aku tau sarapan yang biasa kamu makan itu bagus dan baik, tidak pernah tidak enak.” Tatapan Dipta beralih pada tas bekal berwarna biru muda yang ada di samping Saki. Ada juga lunch box yang sudah terisi dengan makanan yang sangat lezat sepertinya. Dipta melihatnya, itu nasi yang harumnya begitu nikmat, ada harum daun jeruk, lalu ada ayam dan telur ceplok. Ada juga anggur hijau di box yang lain, juga cookies cokelat dan satu botol yogurt. Saki memang belum menutupnya karena tadi masih panas, sehingga dibiarkan terbuka di lunch box itu. “Kamu membawa bekal hari ini?” Tanya Dipta menatap penuh minat pada bekal Saki. Saki mengangguk dan tersenyum. Dia melihat Dipta menatap penuh minat pada bekalnya. “Iya, sedang bosan dengan makanan di kantin. Mas mau? Aku tadi membuat extra. Siapa tau kamu mau. Jika tidak aku akan memberikannya pada Indira.” Tawar Saki membuat Dipta langsung mengangguk dengan senyum lebar. “Mana bisa aku menolak makanan sehat dan enak dari kamu.” Ucapan Dipta membuat Saki terkekeh. “Kamu bangun jam berapa, Ki?” “Jam empat, Mas. Semua sudah ku prepare kok tadi malam, tinggal menumisnya pagi ini. Tidak repot.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk. “Kalau kamu membawa bekal buatkan satu untukku juga ya. Kadang aku juga bosan dengan food delivery atau catering dari kantor. Rasanya lumayan hambar.” “Atau Mas mau aku buatkan bekal setiap hari? Aku tidak pernah menawarkannya karena kupikir kamu akan malu membawa bekal, dan mungkin juga kamu sering lunch meeting atau makan di luar dengan rekan.” Ungkap Saki jujur membuat Dipta menggeleng. “Tidak perlu setiap hari, kamu akan kerepotan bangun pagi buta. Jika kamu memang ingin membawa bekal saja. Aku tidak mau setiap hari juga.” Ucap Dipta yang tidak ingin memberatkan Saki. “Baiklah.” Saki akan sering-sering membawa bekal mulai sekarang, sepertinya suaminya itu ingin sering-sering membawa bekal. Seminggu tiga kali bukanlah hal yang sulit. “Mau berangkat sekarang?” Tanya Dipta membuat Saki mengangguk. *** Dipta baru saja memarkirkan mobilnya, namun sebuah suara yang memanggil namanya menghentikan langkahnya. “Hei … Dipta …” Itu adalah pria yang Dipta tonjok terakhir kali di pesta pernikahan teman Saki. Mantan kekasih istrinya itu. Tampilannya lebih perlente, namun tatapannya menjengkelkan Dipta. Dipta malas meladeninya, namun pria itu justru mendekatinya. “Gue ngga ada waktu buat ngeladenin b******n kaya lo.” Ucap Dipta dengan nada sinisnya. Langit langsung menggeleng. “Gue juga bukan mau adu jotos sama lo. Gue peduli sebagai sesama laki-laki aja. Saki bukan cewe bener. Gue sama dia pernah main, sering, pacaran kami emang kelewat batas tapi kami sama-sama nikmatin. Gue juga pernah ketemu sama partner-partner kerja dia, karena kita kerja di bidang yang sama. Mereka bilang Saki sering jadi temen tidur mereka, ya walau gue juga ngga memungkiri, mungkin lo juga salah satu orang yang menikmati pekerjaan sampingan sekertaris lo sendiri buat jadi temen tidurnya.” Langit mengatakannya dengan santai dan penuh keyakinan, seolah semua itu adalah kenyataan. Dipta sedang meredam emosinya, ucapan pria itu cukup mempengaruhinya. Dia yang belum tau apa-apa tentang Saki dan harus mendengar itu dari mulut mantan kekasihnya membuatnya tidak bisa langsung menyimpulkan, terlebih dia sangat tahu bagaimana dunia para sekertaris itu. Dia melihatnya sendiri dan selalu menjadi target mereka. Bahkan kaka iparnya juga menjadikan sekertarisnya simpanannya. “Bacot lo! Masih belum move on dan berusaha hancurin hubungan mantan lo? Ngga ngaruh buat gue!” Dipta lalu meninggalkan Langit di sana. Mencoba meyakinkan dirinya jika Langit hanya salah satu b******n yang memang ingin membuat Saki terlihat buruk di matanya. Namun Langit menahannya. “Oke. Gue tau lo ngga bakal percaya, tapi semoga lo nemu kebenarannya, kebenaran dari orang lain yang buat lo akhirnya percaya kalo Saki itu emang bukan cuma sekertaris tapi seks-ertaris juga. Kita kerja di bidang yang sama, mungkin lo bakal ketemu orang-orang yang udah pernah bareng sama Saki kaya yang gue alamin dulu, akhirnya gue putusin dia. Lo harusnya nikah sama wanita terhormat dari keluarga terpandang.” Ucap Langit lalu tanpa kata meninggalkan Dipta yang mendecak kesal karena mood-nya berubah menjadi buruk. Ponsel Dipta berdering, sebuah pesan dari Mamanya. -Dipta, nanti siang Mama akan datang. Kamu jangan kemana-mana!- Memang sudah beberapa hari ini Mamanya meminta Dipta datang, namun Dipta masih belum sempat. Dia selalu lembur di rumah hingga larut malam karena pekerjaan sedang sibuk-sibuknya. Kadang jam dua belas malam dia baru tidur. -Iya, Ma.- *** “Dipta! Mama tidak akan basa basi. Sebenarnya apa yang kamu lakukan dengan pernikahan kamu?! Bukankah Mama dari awal meminta kamu untuk segera menceraikan wanita itu dan melanjutkan hidup kamu?!” Laras yang datang langsung marah-marah, tepat sekali jam dua belas siang dan padahal Dipta baru mau makan bekal yang dibuat Saki. Dia menatap mamanya yang menatapnya nyalang, helaan napasnya terdengar. “Ma … Bukankah Dipta juga sudah pernah mengatakan pada Mama, Dipta tidak akan menceraikan Saki. Dipta juga tidak bermain-main dengan pernikahan ini. Dipta sudah dewasa, Ma. Dipta berhak menentukan jalan hidup Dipta. Dipta ingin hidup dengan Saki, maka Dipta minta Mama mengerti.” Dipta beranjak dan mendekat pada Laras, tatapannya begitu lembut pada wanita yang telah melahirkannya. “Kamu gila?! Mau jadi apa kamu menikah dengan wanita itu?! Mama tidak merestui kamu, Dipta! Kamu layak mendapatkan wanita yang lebih baik dari dia! Dia hanya seorang sekertaris! Kamu tau bagaimana dunia sekertaris itu! Kamu menikahi w************n tau tidak?!” Tatapan Laras semakin nyalang. Dipta memejamkan matanya, berusaha untuk tidak menyentak wanita yang sangat dia cintai itu. “Ma … Tidak semua sekertaris seperti itu … Mama belum mengenal Saki.” “Memang kamu sudah mengenalnya?! Kamu juga belum mengenalnya! Mudah sekali kamu berbaik sangka padanya! Dia terlihat baik untuk membuat kamu terkesan! Jelas dia tidak ingin melepaskan kamu! Menikahi salah satu pewaris Danadyaksa jelas menjadi keuntungan paling besar yang bisa mengangkat martabatnya! Ceraikan dia Dipta! Mama tidak mau tau!” Teriak Laras tidak mau menerima bantahan lagi. “Dipta tidak akan melakukannya, Ma.” “Kamu!!! Lihat kamu sudah mulai membantah Mama demi wanita yang tidak jelas bibit bebet bobotnya itu! Ayudya kemarin menanyakan kamu. Ceraikan Saki dan bertunanganlah dengan Ayudya! Mama tidak mau tau, Dipta!” Laras lalu keluar dari ruangan Dipta dengan emosi yang masih meledak-ledak, tidak memberikan kesempatan pada Dipta untuk mengucapkan sepatah kata pun. Helaan napas Dipta begitu panjang, dia mengacak rambutnya kasar dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Keluarganya memang sangat memandang tinggi status sosial dan memandang orang dengan sebelah mata apalagi jika sudah berkaitan dengan pekerjaan. Dering ponselnya membuat fokus Dipta teralihkan, pesan dari Saki yang membuat senyumnya mengembang, emosinya menguar begitu saja. -Mas, hari ini aku lembur sampai jam tujuh atau mungkin jam delapan. Tergantung selesainya. Tidak usah jemput ya, nanti aku naik taksi saja.- -Aku juga lembur. Nanti aku jemput. Aku tunggu di cafe sampi lobi gedung kantor kamu ya.- -Tapi aku juga bisa sampai jam sembilan, Mas. Ada laporan yang harus kuselesaikan dengan Pak Sakha, harus selesai besok sebelum jam tujuh pagi. -Tidak apa-apa, aku tunggu. Kamu lembur dengan bos kamu saja?- -Iya, Mas.- Entah kenapa ada yang mengganjal di hati Dipta saat mengetahui Saki lembur hanya dengan atasannya itu saja, ucapan Langit dan Mamanya kembali menggelayuti hatinya, juga tentang dunia sekertaris yang dia banyak tau bagaimana sisi gelapnya. Apakah Saki seperti yang mereka ucapkan? Hati Dipta benar-benar gelisah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN