“Kekasih? Tidak ada, Mas. Aku tidak menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.” Ucap Saki yang membuat Dipta lega, setidaknya dia tidak menikahi pacar orang.
“Kapan memang terakhir kamu memiliki kekasih?” Dipta masih ingin tahu. Dia mengakui jika Saki memiliki wajah yang cantik. Tipe kecantikan yang ayu dan menenangkan jika orang memandangnya. Cantik yang tidak membosankan, cantik yang makin dipandang justru terlihat semakin cantik.
“Tiga bulan yang lalu.” Ucap wanita itu terkekeh, masih ada gurat kesedihan di sana, dan Dipta bisa melihatnya, luka itu masih baru.
“Baru kemarin, dong. Bisa jadi menikah denganku menjadi pelarian kamu ya?” Ucap Dipta mencoba menggoda wanita itu, namun Saki justru kelabakan, panik dan merasa bersalah. Itu karakter yang bisa Dipta baca sejauh ini.
“Tidak, Mas. Ya Allah. Aku kan sudah mengatakan alasannya tentang pernikahan ini.”
“Aku bercanda, Saki. Kamu serius sekali.” Dipta menyungging senyum, kembali menyuapkan tumis pakcoy yang terasa begitu nikmat itu.
Saki sebenarnya dalam hati mendecak, humor pria itu sepertinya tidak masuk untuknya.
“Aku sudah move on kok, malas juga menangisi pria b******k yang tidak bisa menjaga selangkangannya.” Ucap Saki, kini wajahnya menunjukkan kekesalannya, dan sekali lagi Dipta mengulum senyum. Walau Saki tidak mengatakan alasannya secara jelas, namun ucapan wanita itu menjawab semuanya.
“Good girl. Sekarang sudah membuka hati? Atau masih tertutup?” Pertanyaan selanjutnya dari Dipta membuat Saki membatu, kenapa pria itu selalu memiliki pertanyaan yang dia tidak bisa menjawabnya sih?
“Tidak tau. Malas mengurusi hati, mau menghadapi apa yang ada di depan mata saja.” Ucap Saki, lalu kini membawa piringnya yang telah kosong ke wastafel.
Dipta justru ingin nambah, pria itu kembali menyendok nasi untuknya, menuangkan tumis pakcoy itu dan menarik piring udang crispy mendekat padanya.
“Temani aku dulu, Saki.” Pinta Dipta saat melihat wanita itu sudah selesai mencuci piring.
“Oh, Mas nambah?” Saki kini kembali duduk, tapi melihat air sudah habis wanita itu kembali beranjak dan mengambil air dingin dari kulkas. Dipta masih menilai, wanita itu cukup peka dengan keadaan.
“Iya, masakan kamu enak-enak. Aku tidak pernah menyentuh dapur, jadi jika mau makan rumahan paling pulang.” Ucap Dipta jujur, mendengar itu membuat Saki tersenyum dengan pipi yang terasa panas. Pria itu apa adanya dan mudah melontarkan pujian. Saki akan mencatat di kepalanya sifat Dipta yang dia sukai itu.
“Oh iya? Biasanya Mas pulang berapa hari sekali? Rumah orang tua di mana?” Tanya Saki yang kini penasaran, dia juga ingin mengalihkan topik.
“Di Menteng. Aku pulang jika ada acara atau jika Mama ingin aku pulang.”
“Padahal kan Menteng deket Mas dari sini.” Ucap Saki bingung, padahal dia lihat-lihat keluarga mereka seperti keluarga cemara.
“Iya memang, atau kamu mau kita tinggal di rumah Mama seperti yang ditawarkan Mama?” Tanya Dipta kembali menggoda Saki, benar saja wanita itu langsung menggelengkan kepalanya bahkan tangannya ikut bergerak sebagai tanda tidak setuju.
“Kupikir di apartemen lebih baik, Mas. Kadang kita butuh ruang, kan?” Saki tersenyum, lebih kepada ringisan, dan itu membuat Dipta tersenyum semakin lebar.
***
“Saki … Ayo ke kantin.” Panggilan itu membuyarkan konsentrasi Saki, dilihatnya teman dekatnya di kantor -Indira- tersenyum padanya dan mengajaknya untuk ke kantin karena sudah jam makan siang.
“Tunggu bentar. Tanya Pak Bos dulu.” Ucap Saki beranjak dari kursinya dan menuju ke ruangan di depannya.
Dia mengetuk pintu itu dan dipersilahkan masuk, namun Saki hanya melongok dari pintu.
“Pak Sakha mau dipesankan apa untuk makan siang? Hari ini tidak ada lunch meeting.” Tanya Saki yang sudah menjadi rutinitasnya.
“Tidak perlu, istri saya katanya mau datang membawakan makan siang.”
“Ooo. Oke deh pak. Enjoy your lunch. Nanti jam satu kita ada meeting ya, detailnya sudah saya email.”
“Oke. Saki.”
“Saki …”
“Bu Tita … Mau lunch ya dengan bapak? Tadi Bapak sudah bilang Bu Tita akan datang. Silahkan.” Saki membuka pintunya lebih lebar.
“Iya, kamu cuti dua hari ini ya. Semua baik kan?” Tanya Bu Tita penuh perhatian, membuat Saki tersenyum dan mengangguk.
“Ya sudah. Kalo ada apa-apa kamu tau kan kemana harus pergi?” Bu Tita mengerlingkan matanya dan menepuk bahu Saki, membuat Saki tersenyum bahagia.
Dia selalu dikelilingi oleh orang-orang baik dan peduli padanya. Itulah yang membuatnya kerasan di kantornya sekarang.
Indira adalah teman yang paling dekat dengannya, mereka dekat sejak kuliah lalu berlanjut kerja di kantor yang sama. Banyak hal yang telah diketahui Indira tentangnya begitu pun sebaliknya.
“Gimana kemaren acara nikahannya?” Tanya Indira saat mereka sudah membawa nampan masing-masing yang berisi makan siang mereka. Saki memilih bakso sedang Indira memilih nasi padang.
“Ke pojokan situ yuk.”
“Ada apa?” Indira sudah paham, jika Saki mengajak ke pojok maka ada sesuatu yang ingin diceritakan oleh gadis itu.
“Lo pulang ke Jogja ngga dijodohin sama Bude lo kan?” Tanya Indira dengan mata memicing.
“Bukan cuma dijodohin, dipaksa nikah iya.” Ucap Saki, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya dan dia butuh pendapat Indira.
“What? Cerita yang bener!” Indira menatapnya sewot karena Saki berbicara setengah-setengah.
“Putri kabur di hari pernikahannya. Gue yang disuruh gantiin jadi mempelainya. Gue udah nikah sekarang.” Saki menunjukkan cincin di jari manisnya, membuat Indira yang sedang meminum es teh manisnya langsung tersedak.
“What the hell?! Dan lo mau?! Stress lu sumpah! Kalo ternyata lu nikahin mokondo gimana?" Indira jadi sewot, namun Saki hanya mengulum senyum. "Ok. I know, you don’t have any choice. Cowonya bener kan? Nikah sama siapa lo?” Tanya Indira, dia tau bagaimana hubungan Saki dengan keluarga Budenya.
“Dipta Danadyaksa.”
“What?! Keluarga Danadyaksa?! Sial! Kayanya hoki seumur hidup lo udah kepake.” Ucap Indira yang terkejut untuk kesekian kalinya.
“Hadeh, Ndi. Ini bukan drama. Bentar lagi gue juga dicere.” Ucap Saki mulai menikmati baksonya, sesungguhnya dia tidak memiliki sedikit pun harapan dengan pernikahannya.
“Ih jangan nyerah sebelum mulai dong! Buat Dipta jatuh cinta sama lo kek. Mungkin emang lo jodoh sama dia. Tinggal effort-nya aja.” Ucap Indira menyemangati.
“Ngga usah buang tenaga lah. Gue yakin nanti Putri balik juga dia bakal balik lagi ke Putri. Tiga tahun hubungan mereka. Ngapain gue harus effort padahal gue udah tau akhirnya. Cape hati, gue sendiri yang babak belur nanti.” Ucap Saki memutar bola matanya malas.
“Ki … Jangan nyerah gitu dong. Dia orangnya gimana sejauh yang lo liat?”
“Ya, baik. Cukup tanggung jawab. Lumayan maksa. Tadi dia maksa anterin gue padahal kantor dia sendiri di Sudirman.”
“Nice! Udah itu modal utama. Dia tanggung jawab. Dia bakal tanggung jawab kalo lu jatuh cinta sama dia.” Indira kembali menyemangati, dengan tawa kecil di bibirnya.
“Yee … kalo jatuh cinta ya tanggung sendiri lah. Gue mau nanya ini pendapat lo. Gue kan udah bilang ke dia kalo gue mau nikah sama dia pure buat nolongin Pakde. Gue juga bilang kalo dia bisa nyerein gue kapan pun. Tapi jawaban dia ambigu. Masa bilang ngga mau cerein gue. Gue kira pernikahan ini bakal cepet selesai tapi dia malah jawab gitu. Menurut lo kenapa?”
Saki kini terlihat frustasi, namun Indira mengulum senyumnya.
“Itu si artinya dia pengen coba jalanin sama lo. Atau dia udah tertarik sama lo sejak ijab qobul. Ya udah, sama kaya dia yang pengen jalanin ini. Lu jalanin juga sebaik-baiknya, siapa tau emang kalian bener-bener jodoh.”
“Terus kalo Putri nanti balik?”
“Ya lu jangan biarin suami lu direbut Putri lah.”
“Lah kalo suami gue sendiri yang bakal lari ke pelukan sang mantan, gue bisa apa?”
“Lo nih kebiasaan. Selalu mikir negatif mulu. Afirmasi positif itu penting, Saki.”
“Gue bukannya mikir negatif. Cuma nyiapin diri buat kemungkinan terburuk.”
Saki menyangkalnya, membuat Indira mendecak. Hingga dentingan nada pesan di ponsel Saki menghentikan argumen keduanya.
-Nanti pulang jam berapa?-
Pesan dari pria yang menjadi topik utama obrolannya saat makan siang. Belum juga membalas, pesan lainnya masuk.
-Nanti aku jemput. Lembur?-
“Tuhkan! Dia perhatian gitu, rela antar jemput lo! Udah terima dulu, cukup anggap aja hubungan timbal balik. Kalo dia baik ya lo juga harus baikin dia. Kalo dia perhatian lo juga harus perhatiin dia. Ngga ada susahnya. Ke depannya gimana pikirin nanti.” Indira yang juga membaca pesan pop up di ponsel Saki hanya mengulum senyum.
Keduanya memang memiliki sifat yang berbeda, jika Indira cenderung berpikir jangka pendek, maka Saki kebalikannya.
"Sumpah deh, Ki. Kalo kalian udah jatuh cinta. Udah so pasti dia husband material banget. Duh beruntung deh!"
"Dih, kejauhan lo mikirnya. Ini pernikahan ngga ada tujuan dan masa depannya!"
Indira yang mendengar jawaban itu mendecak kesal, sedang Saki memilih membalas pesan Dipta
-Jam lima, Mas. Tapi biasanya kan macet. Aku naik transum saja ya?-
-Aku jemput. Tungguin ya. Paling setengah enam sampe. Kamu solat Ashar dulu aja.-
Dan Saki juga menyadari, Dipta tidak suka dibantah.
-Oke deh.-
Saki akhirnya memilih mengiyakan, daripada panjang urusan.