Saki mencoba mencari Dipta, namun melihat pria itu jauh di ujung sana dan sedang bercengkrama dengan teman-temannya, membuat Saki urung menghampirinya, memilih membiarkan Dipta memiliki waktu dengan teman-temannya.
“Saki …” Suara itu membuat jantung Saki berdegup cepat. Langit ada di depannya, menatapnya dengan sejuta makna. Ada rasa rindu, sesal dan tatapan penuh cinta juga obsesi.
“Pergilah! Kita tidak ada lagi hubungan! Aku juga tidak ingin melihatmu!” Ucap Saki dengan nada ketus yang tegas.
“Siapa pria itu?” Tanya Langit dengan tatapan tajam. Saki menatap tidak kalah sengit pada Langit. Dia harus melawannya.
“Suamiku!” Ucap Saki dengan yakin, membuat Langit justru terkekeh.
“Kamu menjadikannya pelampiasan karena putus denganku?” Langit merasa percaya diri, membuat Saki memutar bola matanya malas.
“Aku jijik dengan kamu, Langit! Aku tidak membutuhkan pelampiasan, karena aku bahkan jijik dengan kamu.” Ucap Saki dengan tatapan yang merendahkan, hal itu cukup melukai harga diri Langit.
“Berapa kamu membayarnya untuk berpura-pura menjadi suami kamu?” Tanya Langit dengan senyum meremehkan, Saki menatapnya lelah, benar-benar melelahkan menghadapi orang seperti Langit.
Merasa paling benar dan akan selalu menyangkal kenyataan jika kenyataan itu tidak selalu sesuai dengan keinginannya.
“Urus saja istrimu! Jangan mencampuri urusanku.”
“Lihat kan? Kamu cemburu pada Bibah.” Ucap Langit merasa menang, padahal maksud Saki bukan begitu.
Brengsek memang! Berbicara dengan pria toxic memang membuat sakit kepala.
Saki memilih beranjak dan meninggalkan Langit, namun pria itu mencekal tangannya kuat.
“Aku akan menceraikan Bibah dan kita bisa menikah! Aku akan memberikan kamu kesempatan sekali lagi. Kita akan langsung menikah seperti yang kamu inginkan!” Tatapan Langit berbinar-binar bahagia. Saki semakin muak dan jijik.
Dengan kuat dia melepas cengkraman tangan itu dan menatap nyalang pada Langit. Berusaha menahan tangannya untuk tidak meninju Langit mengingat ini adalah acara orang dan Saki tidak ingin membuat keributan.
“Sinting! Kamu tau kata jijik, Langit? Aku. Sangat. Jijik. Pada. Kamu. b******n!” Desis Saki dengan tatapan yang benci juga merendahkan, emosinya sudah mendidih, namun Langit justru terkekeh.
“Saki … Jangan sok suci, aku tau selain menjadi sekertaris kamu juga pasti menjadi wanita simpanan kan? Dunia kamu itu sama seperti dunia malam para kupu-kupu malam, bedanya kamu mendapat status pangkat saja di pekerjaan kamu yang utama dan kamu bisa berkamuflase dari pekerjaan gelap kamu menjadi pemuas ranjang para eksekutif itu.”
“Kamu munafik tidak pernah ingin tidur denganku agar bisa membuatku jatuh cinta dan melihatmu sebagai wanita baik-baik agar aku menikahi kamu kan? Kamu pasti juga menginginkan menikah dengan laki-laki baik-baik seperti aku.” Langit semakin melantur, membuat Saki sudah akan melayangkan tamparannya pada Langit.
Namun, tangannya tiba-tiba digenggam dengan erat. Dipta ada di sana dan tersenyum menenangkan padanya.
“Lo ada masalah sama istri gue?” Tanya Dipta dengan tatapan tajamnya pada Langit, Langit terkekeh dan menatap Dipta dengan pandangan menilai.
“Lo dibayar berapa buat pura-pura jadi suaminya?” Tanya Langit dengan tangan bersedikap di d**a.
“Perlu gue tunjukin buku nikah kita? Atau pas gue ucap ijab kabul?” Tanya Dipta yang masih menanggapinya dengan tenang, genggaman tangannya berubah menjadi rangkulan mesra di pinggang Saki yang membuat Langit jadi mendidih.
“Lo udah selidiki latar belakangnya? Dia itu wanita malam yang berkedok dari jabatan sekertarisnya. Bisa-bisanya lo nikah sama wanita yang dipake sama setiap client yang deal kerja sama, sama perusahaannya?” Langit menatap penuh kemenangan pada Dipta.
“Saki … Dia benar mantan kamu? Kamu terlalu berharga untuk jatuh cinta pada pria murahan sepertinya. Sungguh kamu pernah pacaran dengannya? Jangan-jangan kamu dihipnotis selama ini. Kamu berharga dan tidak pantas dengan pria murahan sepertinya.” Tanya Dipta dengan tatapan meremehkan pada Langit.
“Berani taruhan? Gue yakin dia lebih puas di ranjang sama gue dari pada sama lo yang suaminya. Iya kan, Saki?” Langit semakin menjadi, kini Dipta sudah tidak sanggup untuk menggunakan mulutnya. Dengan sekuat tenaga dia meninju wajah Langit yang membuat Saki juga berteriak.
“b******n lo! b*****t!” Teriak Dipta sudah akan kembali memukul Langit, namun Saki menahannya dengan tatapan yang berkaca-kaca, membuat Dipta memilih beranjak dan mengajak Saki keluar dari sana.
Mereka tiba di mobil dengan emosi yang masih menggebu-gebu.
“Aku minta maaf. Aku tidak bisa menahannya lagi saat dia begitu merendahkanmu dan menjadikan kamu sebagai objek taruhan. Apalagi di … ranjang? Pria apa yang kamu kencani sebelumnya, Saki?” Ucap Dipta jujur, nadanya terdengar frustasi.
Saki hanya memejamkan matanya, semuanya terlalu mengagetkan bagi Saki, dia kehilangan kata-kata untuk merespon ucapan Dipta.
Langit yang ternyata begitu mengerikan, fakta dari Bibah yang membuatnya mual dan jijik, lalu bagaimana pria itu yang menatap lapar dan rendah padanya membuat kepala Saki penuh.
“Terima kasih sudah menolongku, Mas.” Ucap Saki dengan nada yang lelah, Dipta menatapnya lekat, mengerti jika wanita itu sangat shock. Dia memilih memberikan waktu pada Saki, walau dia tidak tau apa yang dikatakan oleh Langit kebenaran atau hanya sebuah kebohongan.
Karena dia pun tau dan memiliki pengalaman dengan dunia sekertaris itu.
***
Dipta menunggu di ruang tamu, menunggu Saki keluar karena mereka akan ikut makan malam di rumah Eyang sesuai undangan.
Satu minggu sudah berlalu sejak insiden Dipta menghajar Langit, namun sedikit pun Saki tidak membahasnya, wanita itu tidak mengatakan apapun, sedikit pun tidak ingin menceritakan tentang hubungannya dengan Langit. Membuat Dipta bertanya-tanya, mungkinkah masih ada rasa yang tertinggal di hati wanita itu untuk mantannya? Hati Dipta tidak nyaman dengan kemungkinan itu.
Dipta pernah beberapa kali menyinggungnya kepada Saki, namun Saki selalu mengalihkan pada topik yang lain, membuat Dipta memilih memaklumi, menebak-nebak dalam pikirannya, mungkin Saki belum sanggup menceritakannya atau mungkin memang wanita itu memang belum benar-benar move on dari mantan kekasihnya itu.
Wanita itu tetap memperlakukannya dengan baik, memenuhi semua kebutuhannya dan membuat perutnya kenyang dengan makan-makanan yang bergizi. Sering mengajaknya mengobrol setelah makan malam tentang hari-hari mereka. Terkadang membahas masalah di pekerjaan. Saki menyenangkan sebagai teman menurut Dipta. Wanita itu membuatnya merasa nyaman, rasa nyaman karena kelemah lembutan dan perhatian wanita itu yang belum pernah Dipta dapatkan sebelumnya.
Dipta juga memberikan perhatian yang sama, pria itu selalu mengantar dan menjemputnya, mengajaknya jalan setiap sabtu malam, secara sekilas mereka seperti sepasang kekasih, walau kenyatannya hubungan mereka rumit, tidak jelas masa depannya dan tidak tau apa namanya selain status di atas kertas.
“Mas … Aku gugup.” Ucap Saki yang baru keluar kamarnya, Saki mengekspresikan perasaannya, dan Dipta menyukainya.
Dipta beranjak dan tersenyum, Saki selalu cantik, Dipta menyadari itu. Bahkan saat wanita itu hanya di dapur dengan wajah tanpa make up dan apron yang melekat di tubuhnya, wanita itu tetap cantik. Kecantikan yang semakin dipandang semakin indah, bukan kecantikan yang membuat bosan.
“Kenapa gugup? Aku akan selalu ada di samping kamu, Saki. Aku suami kamu, yang akan berdiri untuk kamu. Mungkin akan ada ucapan yang menyakitkan yang dilontarkan keluargaku, tapi kita akan menghadapi ini bersama, okay? Ini pernikahan kita, jadi apapun yang mereka katakan, kamu tidak perlu mengambil hati.” Dipta menggenggam erat tangan Saki dengan senyum yang menenangkan.
Saki mengangguk kaku. Pernikahan kita? Tapi pernikahan kita rasanya tidak jelas masa depannya, Mas. Rasanya Saki ingin berteriak, namun semua itu hanya tertahan di hatinya. Entah kenapa lidahnya begitu kelu untuk menanyakan lagi tentang masa depan pernikahan mereka dan bagaimana tentang kabar Putri.
“Mas … Kamu belum pernah menceritakan tentang keluargamu. Aku hanya tau jika kamu memiliki dua kaka dan satu adik.” Ucap Saki membuat Dipta tersenyum.
“Ayo, aku ceritakan sambil kita jalan.”
“Aku empat bersaudara. Kaka pertamaku perempuan, namanya Erina, menikah dengan Mas Dewa, mereka memiliki dua anak. Laki-laki dan perempuan, enam dan tiga tahun. Kakaku yang kedua namanya Lingga dia pendiam, tidak ingin ikut campur urusan orang dan terkesan dingin. Jika dia dingin pada kamu nanti, itu bukan berarti dia membencimu, memang karakternya seperti itu. Istrinya namanya Safira, mereka belum dikarunia anak. Yang terakhir Naomi … Kamu sudah mengenalnya kan?” Dipta menoleh pada Saki yang menatapnya penuh perhatian.
“Mba Erina orang yang seperti apa? Lalu bagaimana dengan sepupu-sepupu kamu yang lain, Mas? Apakah kalian cukup dekat? Naomi mengatakan padaku jika kalian merupakan keluarga besar.”
“Mba Erina …” Dipta menjeda sejenak ucapannya. Seolah ragu untuk mengatakan ini, namun dia pikir harus tetap mengatakannya pada Saki agar wanita itu nantinya lebih mampu menguasai keadaan.
“Dulu Mas Dewa pernah berselingkuh dengan sekertarisnya, mereka hampir bercerai, namun Mba Erina akhirnya memberi kesempatan lagi. Jadi … mungkin dia tidak menyukaimu, karena hal itu dia semakin memandang sebelah mata seorang sekertaris, dan itu … juga mempengaruhi penilaian Mama tentang seorang sekertaris.” Ucap Dipta mencuri pandang untuk melihat ekspresi Saki.
Wanita itu terlihat tegang dengan wajah yang muram, namun kemudian Saki tersenyum dan mengangguk. Dia tidak bisa menyalahkan dan tidak menutup mata jika memang dunia sekertaris seperti itu. Begitu banyak godaan hingga dipandang sebelah mata sebagai simpanan bosnya.
“Mas Dewa orang yang seperti apa memang, Mas?” Tanya Saki lagi, membuat Dipta menoleh.
“Cukup arogan, aku tidak terlalu dekat dengannya, dia mudah tersulut emosi juga.” Ucap Dipta membuat Saki mengangguk.
“Ini Eyang dari pihak Papa kamu kan, Mas?” Tanya Saki lagi membuat Dipta mengangguk.
“Eyang Surendra memiliki tiga orang anak. Papaku, Omku dan Tanteku. Makan malam ini sebenarnya agenda rutin tiap tiga bulan sekali agar kita tetap menjaga silaturahmi. Mereka tidak penting lah, kamu akan aman denganku, Saki. Tidak perlu takut. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menjatuhkan martabat kamu. Kamu istriku, sudah menjadi tugasku menjadi perisai juga baju kamu. Tenang ya.” Ucap Dipta menggenggam tangan Saki, membuat hati Saki tiba-tiba menghangat. Kenapa pria itu sangat baik padanya? Sangat perhatian dan begitu lembut?
Kenapa Putri meninggalkan pria sebaik ini? Jika Dipta terus memberikan semua perhatian dan kelembutan ini padanya, Saki takut … takut melupakan jika pada kenyataanya Dipta hanyalah titipan, yang harus dia kembalikan kepada pemilik aslinya.
‘Mas Dipta … Jangan terlalu baik kepadaku. Aku akan menyakiti diriku sendiri pada akhirnya jika kamu terus menjadi suami yang baik untukku.’ Bisik Saki dengan mata yang memanas, Dipta terus sesekali menoleh padanya dengan senyumnya yang begitu memikat.