LIMA

1880 Kata
Jilat ludah sendiri itu memang jijik. Kecuali karena kedesak. Pernyataan atau bahasa kerennya quote yang pas banget buat gambarin situasi aku saat ini. Ya ya ya, aku tahu kok, kamu bakalan bilang aku ini cewek labil yang cuma menang karena keberuntungan dan jual fisik, nyatanya cemen. Ugh, masa sih barusan seorang Bhoomi Gangika ngelakuin ituuu? Ya ampun! Jadi, Bo, kan sesuai sama jadwal yang tertulis di undangan sialan itu kalau hari ini adalah hari terlaknat bagi aku dan jelas aja surga dunia buat kedua pasangan yang—mungkin—udah sah sekarang. Warasnya, aku nggak sudi datang ke gedung pernikahan. Cuma, gara-gara mulut si j****y Sarah itu aku jadi kebakaran rambut—karena aku nggak punya jenggot—gini! Semalam, dengan kurang ajar, dia telepon dan bilang gini, "Bhoo, lo udah siapin pakaian couple buat besok?" "Couple-an ke mana?" "Halah, sok lupa lagi. Ke kantor lupa pakai kutang nggak?" "Fakyu!" Perempuan laknat itu ngakak. "Besok elaaah. Ke kawinannya mantan terbaik lo." "Kalau baik nggak akan jadi mantan!" "Duhelah, yang jadi follower-nya Dagelan makin pinter aja ngelesnya. Eh gini lho, Bhoo. Tadi gue coba ngobrol sama Papanya Baby Alya, dia bilang sih cowok bakalan ngerasa pias kalau lo malah berani dateng. Jangan diem dan merutuki nasib, Bhoo! Dateng ke kondangannya. Makan yang banyak. Ambil dua-tiga selfie bareng pengantin. Dan, jangan lupa tapi, harus ada gandengannya. Kalau nggak, lo cari mati namanya." "Enteng banget kalau ngomong itu mulut ya, Sar! Ampun gue sama pikiran lo semenjak nikah. Gue nggak bakal dateng karena nggak punya gandengan!" "Ih, Bloon! Ajak Dimas aja. Dia kan udah kayak peliharaan lo. Nakal-nakal dikit padahal sebenernya nurut banget. Gih!" "Dia punya kunti kalau-kalau lo lupa." "Ah ngenes banget sih lo! Kalau nggak punya ide lain, unfoll gih Dagelannya. Karena setau gue, follower-nya akun itu biasanya makin pinter. Contohnya gue, bisa ngawinin politikus. Masih muda lagi." "Taeeeeeeeee!" Dan, begitulah obrolan nggak pentingku dengan emak-emak beranak satu itu. Tapi Sarah bener, dia memang cerdas karena bisa dapatin politikus yang aku yakin waktu itu lagi mabok sama doktrin partai politiknya makanya kepincut sama cewek kacrut kayak dia. Padahal, si emaknya Baby Alya itu cuma modal pegang mikorofon yang ada logo stasiun televisi, wawancara si Aji—lakinya—sebagai salah satu anggota komisi X dari fraksi B setelah raker (rapat kerja) bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam pembahasan evaluasi pendidikan di Indonesia. Gitu. Terus, kata si Sarah sih lakinya kayak jatuh cinta pandangan pertama akibat susuk yang dia pakai. Pret lah, aku kesal banget sama dia. Dan, sarah juga bener soal Dagelan yang tiap hari kasih aku saran terlaknat juga—kadang-kadang—dalam hidup. Lebih laknat lagi karena aku ngikutin saran itu karena mengintip Sarah yang berhasil hidup bahagia dikarenakan satu postingan kocak Dagelan. Ini nggak boleh diikutin ya, karena hidup kita yang ngatur itu sudah ada. Tuhan Yang Maha Esa. Persis kayak sila Pancasila yang pertama. Omong-omong, apal pancasila nggak? Jangan cuma lirik lagu Justin Bieber sama One Direction aja yang dihapal, tapi UUD awas jangan lupa. Tetapi, kayaknya aku deh yang lupa sama makna nilai Pancasila itu sendiri. Sudah diwajibkan buat persatuan Indonesia, eh aku malah suka misuh-misuh dalam hati kalau ada ibu hamil yang minta tempat duduk prioritas di kereta dan dia malah main smartphone. Sumpah, ini nggak boleh banget ditiru. Atau, soal sila kedua tentang Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Aku beradab enggak sih dengan kirim pesan ke Mas Owner dan ngajak dia datang kondangan hari ini? Iya! Aku emang segoblok itu. Tau kok. Tadi pagi, entah gimana penjelasannya, Bos Dimas aku yang paling hawt itu nyamperin meja sambil bilang gini, "Hari ini ada agenda apa, Ga?" "Enggak ada, Pak." "Kok lemes gitu? Cuma ditinggal nikah aja udah kalah. Dasar cemen." "Cepet sembuh ya, Pak." Dia kusindir begitu malah ketawa. "Saya lagi males ngadepin orang-orang aneh." "Mau saya kasih cowok buat gandengan nggak? Yakin kuat dateng ke kawinan mantan?" Sialan maksimaaaaal! Dia ini tahu dari mana ya ampun. "Bapak kalau cuma mau ngejek saya, makasih lho, Pak. Tapi saya lebih milih buat baca naskah seabrek ini." "Sarah bilang, kamu semalaman nggak bisa tidur cuma mikirin milih mana antara Pak satpam depan, Mas Anang atau temanmu yang doyan batangan itu buat jadi patner." Sarah Milea! Perempuan paling ember yang pernah hidup! "Saya sebenernya mau nganterin kamu, cuma Audy nggak enak badan. Ke-capek-an kali ya karena semalam babat beberapa ron—” "Astaghfirullah, Bapak!" Dia ngakak lagi, kemudian nyerahin kertas kecil yang aku tahu itu kartu nama. "Gini-gini, saya udah kenal lho sama owner-nya K-Kafe. Sering ngopi bareng malah. Gih dateng sama dia. Yang saya tahu, kemarin dia ditelepon mamanya dan dimintai mantu. Semangat, Bhoomi Gangika. Sekretaris oon tapi bikin sayang." "Apa sih saya jadi tersipu malu kan!" Setelah dia mendengus, langsung balik ke ruangannya. Dan, beberapa jam kemudian, begitu aku sampai di kontrakan, kurasa iblis lagi banyak di sekitaran perumahan ini, aku dengan tololnya kirim dia chat dan say hello. Iya iya, jangan di-bully akunya. Takut nggak kuat bully-an nanti aku depresi lho. Setelah basa-basi busuk yang sialannya aku jago banget, maka mudah aja ngajak si laki tukang gombal itu bilang iya. Malahan, dia nawarin buat jemput aku ke kontrakan dan kita cari baju couple-an dalam waktu singkat! He'em, aku ngelakuin semua itu dengan sukarela. Tanpa dicuci dulu, tanpa diapain dulu, baju hasil berburu kilat itu sekarang lagi kugosok, sementara Ongka lagi mandi di kamar tamu. Ini kalau ketahuan Pak RT, aku yakin langsung diarak karena berani memasukkan sembarang pria yang nggak dikenal. Ya ampun, orang tuaku di Jambi semoga nggak tahu berita ini sampai kapan pun! "Mbak iFood, saya langsung pakai bajunya atau gimana?" Gila, gila, gila...! Nih orang tahu nggak sih kalau aku tuh sekarang ini lagi rawan lihat yang seksi-seksi gitu? Malah keluar di ruangan cuma pakai handuk lagi! Sialan banget ya ampuun! Bertingkah seolah kita sudah kenal sangat lama. "Pakai bajunya!" Biarin aja aku dinilai galak dan norak, dia aja yang nggak mikir. "Kamu kalau berani-beraninya telanjang di rumah ini, saya babat habis ya." "Siaaaap. Siniin bajunya. Kamu buruan mandi, nanti jalanan macet, keburu pestanya abis. Nggak kebagian makanan lho." Aku meencibir. Meninggalkan dia dan berjalan ke kamarku sendiri. "Mimpi apa gue semalam bisa ngelakuin hal sedrama ini. Astaga, Bhoomi g****k memang. Kurang drama apa coba, ada cowok asing numpang mandi dan bajunya gue gosokin. Sinetron aja kalah saing." "Mbak, ngedumelnya dijamak nanti aja kira-kira bisa nggak?" "Enggak bisa!" teriakku kesal dan banting pintu kamar. "Saya udah nggak sabar nunggu gandengan saya dandan cantik pakai dress nih! Buruan ya! Nanti kita selfie dulu buat dipamerin ke grup keluarga. Mas Dimas bilang Mbak suka saya kan?" Sialaaaaaaaaan! Dimas memang bos ter-fakyu sepanjang sejarah ke-bos-dan-ke-sekretaris-an!         ***   "Nanti kalau Mbak iFood ngerasa nggak kuat waktu salaman sama pengantin, genggam tangan saya aja." Sembilan kali. Aku menghitung seberapa banyak dia ngomong kalimat yang sama sejak mobilnya keluar dari area perumahanku. Dan, ini memang yang ke sembilan. Satu lagi dia ngomong, aku bakalan sumpal mulutnya sama heels detik itu juga. Lihat aja. "Mbak iFood—" "Saya punya nama ya, Mas!" Dia malah tertawa kecil. Tawa yang sok-sok-an cool itu lho gimana sih. Yang rasanya pengin banting mobil aja aku. "Kalau gitu saya juga punya nama. Kamu bisa panggil saya Ongka, Dava atau Davan biar kekinian." "Nggak pantes. Kebagusan." "Iya sih, bener. Mama saya juga bilang gitu. Oke, kita ambil tengahnya aja, kamu panggil saya Ongka. Jangan Mas lagi, saya agak geli sebenernya." Lo aja bikin gue geli sepanjang hari ini! "Kalau kamu mau dipanggil siapa?" "Terserah." "Berarti Mbak iFood oke?" "Itu bukan nama saya." "Kalau gitu kasih tahu aku." Aku langsung menoleh, mengerutkan dahi. "Aku? Ha ha ha." Bukannya malu atau gimana ya nih cowok, malah senyum denger ketawa paksaku barusan. "Karena nggak ada pasangan yang datang ke pernikahan pakai panggilan saya. Mungkin ada, tapi aku belum nemu sendiri. So, Bhoomi Gangika, aku harus panggil kamu apa?"   Aku mengembuskan napas kasar. Kalah juga ujung-ujungnya. "Bhoomi aja." "Good girl," ucapnya pelan. "Oke, Bhoomi, pertama-tama, kamu harus tahu semua ini nggak gratis." "Maksud kamu?" "Hey, bahkan kalau kamu pesennya ini lewat aplikasi, kamu harus bayar aku karena buat patner kondangan lho." "Ya ampun, Ongkaaaa. Kamu minta bayaran?!" "Nggak banyak, cuma makan malam di rumahku supaya Mama batalin ngenalin aku sama anak temennya. Mudah kan?" "Ogah!" "Kalau gitu, kita berhenti di sini. Udah deket kok gedungnya, kamu bisa jalan sendiri ke sana." "Fakyu!" Dia terbahak. "Oke fine! Makan malam. Cuma sekali. Setelah itu kita bubar! Nggak ada lagi ketemu-ketemuan. Dan asal kamu tahu, aku nggak pernah suka sama kamu, jadi jangan percaya sama omongan Dimas. Ngerti?" "Sayangnya Dimas udah keburu bilang kalau kamu emang orangnya gengsian. Jadi, kayaknya bos bisa lebih dipercaya daripada sekretarisnya. Sorry, Girl." Yakin, kupingku ini udah keluar asap campur darah kayaknya. Cuma, aku nggak mungkin nyemburin itu ke cowok sebelahku ini karena kasihan batiknya masih baru dan aku pula yang nyetrika. Seharusnya sih aku sadar, sampai kapan pun, saran dari Dagelan itu memang konyol dan ngerjain aku doang. Ditambah, saran dari Sarah dan mulut embernya itu juga bikin aku bakalan kebiri dia. Apalagi Bos Dimas nyinyir yang semenanya bilang aku suka sama lelaki nggak bener sebelahku ini! Oh, petaka dunia akhirat! Sesampainya di gedung acara, petaka beneran terjadi. Entah keberanian darimana, Ongka meluk pinggangku selama di gedung dan berpapasan dengan beberapa temannya Niko yang kukenal saat dulu menjabat sebagai kekasihnya. Aku mau aja sih gampar si Ongka ini karena modus nggak elitnya, cuma masalahnya nanti bikin ribut dan aku beneran malu sama Niko dan istrinya itu. Jadi, yaudahlah, aku nahan napas aja. "Waaaah, nggak nyangka, Bhoomi bakalan dateng setelah denger cerita dari Niko kalau lo dendam banget sama dia." Ini Teddy, sahabat dekat Niko. "Yakali cewek high class kayak gue gini mau ngelakuin hal serendah itu." Aku mengibaskan rambut yang kali ini kugerai sampai kena ke mukanya Ongka. Dia melotot dan ngelap wajahnya pelan. "High class kok gosok baju sendiri," bisik Ongka di sampingku sambil pura-pura ngehadap belakang. Aku pura-pura nggak dengar. Balik fokus ke Teddy. "Gimana kabar lo, Dy?" "Baik, Bhoo. Baik banget. Ini gaetan baru?" "Kenalin. Gue Ongka. Pacarnya Bhoomi. Lo siapa?" Ya ampun, dasar petasan banting! Main mengenalkan diri nggak tahu malu. "Gue Teddy, sahabatnya mantannya Bhoomi." Ongka ketawa. "Panjang juga ya nama lo. Kayak gerbong kereta. Berisik." Duh, beneran gila nih laki. Mukanya Teddy udah kesal banget itu, yakin. "Ayok, Babe, kita langsung salaman aja sama mantennya. Kamu bilang malam ini mau ke rumahku, kan? Katanya kangen Mama." Kangen Mama my ass! Tapi aku cuma bisa nyengir sambil ngangguk. "Dy, gue duluan ya. Bye!" Kami melambaikan tangan dan jalan menuju pengantin, ngantre buat salaman dan kasih ucapan selamat. Nggak penting banget buat si Niko sebenarnya. "Kamu nggak usah sok deket banget gitu sama aku ya, Ka." "Babe, kita ini di mata mereka patner beneran lho." "Berhenti panggil aku Babe, ih!" "Iya iya. Bhoomi, jalan gih. Giliran kita yang salaman lho." Dan aku melengos, gantian natap dua manusia yang lagi semringah di hadapanku. Apa ya kira-kira alasan Niko berani berkomitmen sama perempuan ini. Dia punya apa sampai Niko lebih milih dia buat patner hidup selamanya. Apa yang dia punya dan aku enggak sebetulnya. "Pasangan baru, Bhoo?" Mataku sudah hampir basah. Aku tahu banget datang ke pernikahan mantan demi harga diri yang nggak mau dianggap nggak bisa move on itu memang salah. Bagaimana pun, aku dulu mencintainya, bahkan setelah kami berakhir aku belum nemu alasan buat berhenti mencintai Niko kecuali rasa benciku karena sikapnya. Dan, sekarang dia lagi natap aku lembut, teduh ... cuma sebagai mantan. "Cepet nyusul ya, Bhoo. Sekarang berita kriminal makin menjadi. Biar kamu nggak tinggal sendirian lagi." Mau peluk Niko boleh nggak sih? "Selamat menikah, Nik," ucapku terbata. "Berubah ya. Jangan nakal lagi. Jangan suka kasih status anak orang lagi." Aku noleh ke istrinya, dia senyum manis ke aku. "Kamu hebat. Bisa bikin cowok baik kayak Niko beneran jadi tambah baik. Selamat! Aku ikut bahagia." Tanpa nunggu jawaban dari siapa pun, aku langsung ngacir meninggalkan mereka. Ini nylekit banget gitu lho! Pernikahan mereka itu nyata nggak cuma hasil dari konsep iklan Beng-Beng. Dan, sakitnya juga nyata kok di dalam sini. "Kan tadi aku udah bilang, kalau nggak kuat, genggam tangan aku, Bhoo. Ngapain malah lari ke parkiran? Emang tangan satpam lebih ngenakin daripada tangan aku?" Aku menoleh dan melotot. "Bacooot....!" Dia ini siapa sih ngoceh terus dari tadi! Dasar cowok pasaran!  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN