DELAPAN

2026 Kata
Ada yang lucu sama pribadi beberapa orang Indonesia—khususnya mereka yang tinggal di kota yang tingkat hedonismenya tinggi banget—yaitu suka kemewahan. Uniknya, karena rasa suka itu, banyak yang jadinya maksa. Gini lho, coba tolong diputar lagi ingatan tentang kawinan. Berapa persen pasangan artis yang nikah secara sederhana di layar kaca? Seberapa banyak orang-orang kota yang menyewa gedung dan WO terbaik se-Nusantara? Dan, ada yang lebih lucu lagi dari itu; aku. Aku merasa baper tingkat dewa karena banyaknya berita pernikahan dari para artis dan itu terkesan sangat mewah dan elegan! Bikin aku jadi berkhayal untuk segera menikah dengan tema yang serupa. Ngomong-ngomong soal pernikahan, aku agak sedih nih. Gimana ya, aku emang nggak ada rasa yang menjurus ke hati dan pengin dihalalin sama dia (Oke, bohong!), tapi kalau kayak gini caranya ya mending aku mati aja. Mati dalam artian aku duduk diam di kamar lho, bukan bunuh diri yang kayaknya sudah jadi ancaman banget. Lihat deh, di sampingku ini. Ada cowok ganteng, seksi, panas, lagi ngobrol sama Mbak-Mbak penjaga toko. Milih sana-sani dan lamaaaa banget belum nemu juga yang pas. Sebenernya aku nggak apa-apa kalau dia itu milihnya sendiri gitu, nggak usah melibatkan aku dari dua hari yang lalu. Pusing! "Ga, kalau yang ini kira-kira cewek suka nggak?" "Selera Mbak Audy kan beda sama saya, Pak. Nanti kalau dia nggak suka gimana?" Dia diam, memandangi tuh cincin di tangannya. Keningnya kalau lagi kerut-kerut gitu lucu deh. Gemash. "Tapi dia selalu suka apa yang saya suka." Ya kalau gitu ngapain nanya, Bro?! "Kamu sama Audy ukuran jarinya sama nggak, Ga?" "Belum pernah ngukur." Mbak cantiknya tertawa kecil, disusul sama Bos Dimas yang aku yakin banget tawa-tawa begitu cuma buat menyebarkan aura ganteng. Ya ampuuuun, dia emang hari ini beneran ganteng! Kayak itu lho, inget deh kalau Christian Grey sore-sore pulang kerja dan di rumahnya itu. Yang pakai kemeja putih pas banget nempel badan, terus kancing atasnya dibuka, kera kemeja nggak terlu rapi dan lengannya sudah kegulung ala berantakan sampai di bawah siku aja sih. Hawt! "Saya coba ya, kamu jangan bayangin kalau ini cincin buat kamu, Ga." "Ya ampun, Pak, sumpah deh. Kalau kayak gini lama-lama saya beneran nggak kuat ini!" Bos Dimas mendengus gitu doang, tapi tetap aja narik tangan aku kayak nggak ada beban dan memasangkan cincin di jari manis! Ya ampun ya ampun ... cincinnya pas dan cuantik bangeeeet! Serius. Mata berliannya cuma satu (tanda tanya besar) jadi kesannya nggak norak. Sinarnya juga nggak banyak. Sinar ultraviolet kali. Dan, aku lumer, waktu lihat dia senyum lebar dan manis banget. Aku bakalan jadi perempuan paling bahagia karena telah dilamar—mimpi aja terus, Bhoo! Kepalanya tiba-tiba dongak, bikin aku menelan ludah cepet-cepet. Ke-gap deh. "Pas, Ga." Cengirannya fix banget ganteng! Sialaaaaaan! Dia bukan makhluk Indonesia, aku yakin dia bukan pribumi. Eh, kan Panjaitan. "Badan kamu walaupun nggak sama tingginya kayak Audy, tapi besarnya sama kok. Pasti jarinya juga sama." "Tersiratnya adalah saya pendek." Dia tertawa, lagi. "Lagian Bapak nggak modal banget," Aku meringis saat Dimas melepas cincin itu. Yah, kok dilepas sih, Booooos? "Orang tuh kalau ngelamar modelan kayak Mbak Audy ya pesen kali cincinnya. Biar mahal. Classy. Ngakunya anak Juragan Media." "Ini kan kejutan, Ga." Dimas berbalik ke Mbak Toko, menyerahkan cincin yang ia pilih tadi. "Ini aja deh, Mbak." Terus dia balik lagi ngehadap aku. "Kalau cincin kawin nanti baru deh dia yang pilih. Belum pernah ngerasin dilamar sih, ya." "Udah!" "Kapan?" "Dulu." "Terus?" "Saya kebangun." Tawanya langsung menggema. Toloooong, Bos satu ini nggak ada cool-cool-nya atau sikap apa gitu yang menunjukkan dia pewaris dari Panjaitan Group! "Cepet sembuh ya, Ga." Masih nggak berhenti tertawa. "Makasih, Pak doanya."         ***   Kalau biasanya aku bakalan sesenggukan dan gigit guling lihat proses lamaran dua insan manusia yang disatukan Tuhan di layar televisi atau laptop, sekarang aku lagi kuat-kuat nahan kaki dan jantung dan hati dan jiwa dan raga buat berdiri tegak! Pak Gatot Nurmantyo yang saleh dan gagahnya nggak ketulungan, tolong bantu aku supaya kuat menghadapi kenyataan. Nasib jadi sekretaris yang merangkap kacung jadi harus begini. Sudah diajak keliling buat cari cincin, mikir keras buat dekor kafe ala pantai, nyiapin musik dan sekarang cuma bisa gigitin tas sambil berdiri di samping pemain biola! Iya, kami sudah ada di pinggir pantai, sudah tiba di inti acara. Tadi, Mbak Audy bersama manajer dan timnya yang sudah diajak kerja sama bareng Dimas entah sejak kapan datang ke sini, katanya sih mau pemotretan temanya nggak tahu apa yang jelas Mbak Audy pakai gaun cantik. Dan, bener aja, aku sama Bos Dimas pura-pura nunggu dia pemotretan. Sampai, tiba-tiba, pemain biola datang di tengah-tengah pengambilan gambar, taburan bunga mulai dilakukan sama tim mereka daaaaan jreeeeeng! Bos Dimas berjalan, mendekati Mbak Audy yang lagi pose-pose cantik terus sujud! Udah ah! Nggak kuat kalau harus lanjutin. Kamu Cuma karena nggak bisa dengar sakit hatiku aja sih. Sumpah. Yang penting, sekarang mereka udah terikat. Lagi pelukan kencang sambil dikelilingi tawa dan tepuk tangan dari orang-orang. Terus aku tutup mata, begitu melihat Bos Dimas mulai mencium Mbak Audy sambil angkat tubuhnya. Ya ampun, ini kayak mimpi! Sungguh mimpi terburuk! Sakitnya nggak ketulungan. Mataku terbuka lebar, begitu mendengar suara tawa di depanku. Dan, benar, pasangan bahagia itu lagi tersenyum lebar. Mbak Audy melepas pelukan dari lengan Dimas dan melangkah lebih dekat. "Gangika, aku tahu kamu juga dalang dibalik semua ini. Sekretaris paling loyal yang pernah aku kenal. Orang paling nyenengin dan rame banget. Cocok buat bikin Dimas awet muda. Daaaan, aku mau bilang makasih banyaaaak, bikin semuanya kayak gini." Senyumnya cantik banget. Mbak Audy memang yang terbaik untuk Bos Dimas, dengan terpaksa aku harus akui. Cinta mereka itu kayaknya lomba-lomba mana yang lebih besar. "Kamu cepetan nyusul!" Dia meluk aku erat sampai aku meringis-ringis nggak keruan. "Kata Dimas, Ongka anaknya baik kok. Kamu perlu tahu nikmatnya punya sandaran, Ga. Sekuat apa pun perempuan, kita butuh tempat berbagi yang itu jelas beda fungsi dengan orang tua. Tuhan udah kasih fungsi masing-masing." "Aduuuuuh, saya makin galau, Mbak Dy!" "Makanya sama Ongka." Boro-boro sama Ongka. Sejak pemotretan buat majalah edisi kapan tau itu  aja dia nggak pernah datang lagi ke kontrakan. Chat aja enggak. Padahal, kadang aku lihat dia lagi online. "Jangan kelamaan jomblo ah, nggak bagus buat kesehatan." Dia narik diri. Mundur selangkah ke tempat semula. Sekarang, aku mulai was-was waktu lihat Bos Dimas lagi senyum lebar. "Kamu nggak peluk saya juga, Ga?" "Enggak. Takut baper." Tawa mereka kedengaran lagi. "Baper karena pengin ada yang lamar ya?" Bukan. Takut aku culik Bapak terus aku ijabkabulin langsung. "Aduh, Pak. Ini kan momen istimewa nih, jangan gangguin saya, dong." "Enggak kok." Kakinya yang panjang itu melangkah. Cuma selangkah, tapi berasa nempel sama tubuhku. "Saya kadang pengin peluk kamu gini kalau lihat kamu lagi kacau. Kerjaan banyak, tapi nggak ada yang perhatian." Badanku mati rasa. Bukan. Ini bukan karena aku suka dia sebagai pasangan, tetapi aku terharu karena dia sepengertian itu. Hehehe, aku bohong lagi. "Tahu nggak, Ga, ada penelitian ilmiah kalau pelukan bisa bikin psikis orang baik. Ucapan manis itu sepele tapi bantu bangun mood. Itu yang berusaha selalu saya kasih ke Audy." "Siapa penelitinya? Nggak ada bukti sama dengan hoax." Badannya Bos Dimas bergetar, makin erat pelukannya. Wangi banget bikin aku melayang. Tapi lama-lama pegel karena aku harus jinjit ini supaya kepalaku bisa di antara lehernya dan sekarang bisa lihat Mbak Audy senyum lebar. "Cepet cari pendamping yang terbaik, Ga. Biar bisa kasih pelukan dan kalimat manis." "Siap, Pak! Laksanakan!" Duh, siapapun yang lagi single tolong lamar aku sekarang. Minimal yang mampu kalau aku ajak menanam atau beli saham di Panjaitan Group gitu.   ***   Saking lamanya nggak disentuh, sekarang hatiku jadi lebay banget! Kalau dulu, waktu jamannya ada Nik—oops, nama disamarkan jadi Petruk—tiap detik aku nerima ungkapan cinta dan kasih sayang. Bahkan, saat jam mata kuliah aja masih sempat-sempatnya nyuri waktu buat balas chat. Dwar! Berhenti ngomongin Petruk! Dia cuma secoret masalalu yang sekarang udah kumasukin ke museum nasional. Gih, siapa pun boleh kok datang, lihat-lihat dan foto bareng. Sentuh jangan. Kan kalau di museum nggak boleh sentuh. Nah, balik lagi ke hatiku yang lebay tadi, tetapi sebentar deh, kayaknya bukan aku yang lebay malahan dia yang kurang ajar banget. Tiba-tiba ngilang, datang lagi bilang soal kedekatan, ngilang lagi, sekarang datang lagi! Mas Owner: Lg ngapain, Bhoo ... nda? Baca kaaaan? Nyebelin kaaan? Aku tuh biasanya jijik kalau digituin sama orang, tapi kok ini bibirku malah senyum. Ongka keriting itu emang nyebelin! Me: tidur. Mas Owner: Di luar dngin banget, Bhoo.... nda. Suer. Apasih sialaaaan, Bhoo... nda ituu aku tahu banget maksudnya! Bukan geer atau gimana, ya tapi kan Bo, terserah! Aku milih buat nutup ruang obrolan, tapi tiba-tiba ingat sama kesepakatan kami kalau harus biasa aja buka diri. Argh! Dan, dia kenapa kayak jailangkung gini yang datang tiba-tiba dan bikin kesel! Secepat kilat, aku berlari ke luar kamar dan bukain pintu. Tolooooong, di depanku ada laki-laki siap halal yang dandannya sama kayak malam itu. Bedanya cuma di warna jaket dan sepatu! Sekarang dia pakai sepatu merah tapi tetep aja kece! Dia nyengir, sementara aku kasih dia tatapan siap lahap. "Apa kabar, Bhoo ... nda?" "Itu panggilan apa sih!" "Panggilan spesial, sama kayak Mas Dimas yang kamu izinin panggil nama belakang kamu. Kalau aku nggak boleh?" "Lebay deh, Ka. Masuk." "Makasih, Bhoonda!" "Jijik, Ongkaaaa!" "Masa?" Senyumnya terbit gitu aja tanpa minta izin aku bolehin atau enggak. "Kata Mas Dimas kamu butuh ucapan manis." Ter-fakyu satu itu lama-lama bikin aku darah tinggi. "Aku pengin minuman anget deh, Bhoo. Boleh?" "Bentar. Duduk situ dulu aja!" Dia nurut, menurunkan topi jaket dari kepala, menyandarkan badan di sofa. Senyumnya lebar waktu aku mau jalan ke dapur. "Jangan galak-galak dong, Bhoo, makin bikin yakin kalau kamu tulang rusuk yang selama ini aku cari!" "Toloooong, yang ada di luar tolong sadar kalau kita kenal baru hitungan bulan!" Aku masukin garam ke wedang jahe ini boleh juga kali ya. Eh, jangan, nanti aku kena tuah suruh buatin lagi. Dasar Ganteng-Ganteng Sinting! "Muzammil aja nikah sama adik kelas yang nggak kenal deket, Bhoo." Aku jatuhin b****g kasar di tempat sebelah dia duduk, setelah naruh mug itu di atas meja. "Maaf maaf ya, Mas, situ bukan Muzammil." "Ya kalau kamu mau jadi Sonianya, aku bakal jadi Muzammilnya. Clear." Sekretaris cerdas ibu kota digombalin coba? Ya mana mempanlah! "Niat kamu datang ke sini ngapain sih?" Kepalanya dongak sambil minum, duh, kok cute gitu. "Mau hibur kamu dong." "Hibur aku?" "Mas Dimas baru lamaran ya? Kamu patah hati nggak?" "Emang kenapa?" "Aku siap kok jadi penyembuhnya." Badanku langsung merinding. Sumpah, Bo, dia ini punya bakat nyusulin record Raffi Ahmad. "Ka, aku sama Dimas itu pure atasan dan bawahan. Jadi, dia tunangan aku seneng, cuma agak baper aja karena romantis bangeeet. Itu wajar kok dialamin hampir semua cewek." Yakan? Coba ngaku yang suka baper kalau lihat begituan. Hehehe. Hehehe. Hehehehe. Aku Cuma berdoa Ongka percaya. Itu aja. Kepalanya mengangguk paham. "Bagus deh. Jadi, kamu baper pengin digituin juga?" "Yaiyalah! Siapa yang nggak mau coba!" "Cobain deh, ini pas enggak." Aku melongo. Dia beneran ngeluarin kotak merah! Mukanya senyum aja kayak orang nggak salah padahal ... tolooong, di sini aku butuh penjelasan! Ongka buka kotak itu dan ngeluarin cincin putih---ya nggak mungkin hitam---dan mandang aku sambil senyum. "Aku ngira-ngira aja sih ukuran jari kamu, cuma kalau nggak muat bisa diganti kok." "Ongka, please, ini ... apa? Maksudku gini, kita tuh, oke kamu salah tangkap! Maksudku nggak sejauh ini, Ka. Kita temenan aja dulu. Besok deh, aku tepatin janji yang kenalan sama Mamamu, tapi nggak gini juga." "Jadi ini ditolak, Bhoo?" "Yaiyalah! Aku bahkan belum kenal kamu yang selalu tiba-tiba ngilang!" Nah, nah, ngapain dia senyum-senyum gitu. "Kamu nyariin aku waktu ngilang?" "Enggak!" "Oke." Dia masukin lagi cincinnya ke dalam kotak dan kembali mengantongi ke saku jeans. "Kecepetan ya kalau sekarang lamaran. Kok kamu nggak mau kayak Mbak-Mbak yang mau dilamar tanpa kenalan sih, Bhoo?" "Karena kamu bukan Muzammil!" Mulutnya itu malah ketawa. Dia minum lagi dan kali ini diam agak lama. Baru, kemudian balik natap aku lagi. "Mulai sekarang, aku nggak akan ngilang lagi dan kita bakalan jalanin pendekatan sesungguhnya." Tangan Ongka terulur, menyentil jidatku seenaknya. "Tapi kamu jangan menjauh. Inget, Mas Dimas udah lamaran." "Tao." "Ih, kok lucu ngomong gitu." Ongka benar-benar tertawa, bikin aku mau nggak mau malah ikut ketawa juga lihat tawanya. "Coba ulangin lagi Bhoonda." "Bhoonda ndasmu!" "Kok kasar?" Ongka berhenti dari tawanya, diam memperhatikan aku. Sumpah aku udah kembang-kempis ini! Keriting lucu! Beneran. "Aku pulang deh, Bhoo. Dream of me." Dia berdiri, benerin jaket dan mandang aku lagi. Aku baru mau angkat badan, mengantar dia sampai ke teras tapi keburu beku saat sesuatu yang sudah lamaaaaaa banget nggak aku rasain! Dia nyium aku di sudut bibir, sialaaaan! Kalau aku noleh dikit aja tadi pasti udah kena deh! "Ongkaaaaa! Muzammil nggak berani cium cewek yang belum halal, toloooong!" Dia langsung mundur dan tertawa. Kemudian berjalan cepat menuju pintu keluar. "Aku bukan Muzammil, Bhoonda!" "Dasar Keriting!" Pak Panglima, dia malah kasih cium jauh waktu udah berdiri di samping mobil! "Besok aku jemput pulang kantor." "Nggak mau." "Bukan tawaran pertanyaan, Manis. Sana tidur." Obat mual, mana obat mual. Aku butuh dosis yang banyak!  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN