Buku Kedua : Kontrak Kerja I

1352 Kata
7 Desember 2018 Suasana mendung dan cuaca yang sangat dingin menemani perjalananku ke kota seberang hari ini. Ratu meminta Dwi untuk melakukan nego karena ada sebuah perusahaan di Kota Industri yang membuka lelang untuk sebuah proyek pembangunan gudang baru. Sebagai pegawai magang, Dwi memintaku untuk ikut dengannya ke Kota Industri yang berjarak dua jam dari pusat kota. Ketika tiba di tempat parkir, Dwi menawariku untuk berboncengan menggunakan motor miliknya. Karena aku menilai jika menggunakan motor cukup beresiko untuk perjalanan jarak jauh, maka aku menawari Dwi untuk menggunakan mobil milikku. Dwi yang belum mengetahui jika aku menggunakan mobil merasa sedikit terkejut dan tidak menyangka jika pegawai baru di divisinya memiliki kendaraan yang jauh lebih bagus dibanding miliknya. Dwi sempat merasa rendah diri karena hal itu, namun aku menegaskan jika sebelumnya aku hanya beruntung mendapatkan pekerjaan yang bagus. Perjalanan ke Kota Industri juga terbilang menyebalkan. Aku harus melewati pegunungan untuk sampai ke sana. Cuaca dingin ini membuatku harus mematikan pengatur suhu di mobilku agar mobilku terasa lebih hangat. Dwi tampak menikmati setiap pemandangan yang ada di sepanjang jalan. Hutan, persawahan pinggir kota, pedesaan yang menjadi pembatas antara pusat kota dan Kota Industri juga memiliki pemandangan yang tidak kalah indah. Pemandangan pedesaan ini mengingatkanku akan keluarga kecilku di pinggir kota. Aku teringat ubi rebus buatan Bibi Ambar, aku juga teringat selalu diminta paman Juli untuk membelikannya kopi di kedai yang tidak jauh dari rumah. Suasana kehidupan yang tenang, yang tidak dapat aku dapatkan lagi sekarang karena aku telah memilih jalan hidup berliku demi memenuhi hasratku. Tak terasa lamunanku ternyata mengantarkanku hingga sampai ke Kota Industri. Meski aku yang berada di belakang roda kemudi, tapi aku mengikuti arahan dari Dwi karena dia yang tahu arah menuju ke perusahaan tujuan. Sebuah bangunan yang terlampau besar dan tinggi terlihat menjulang di hadapanku ketika aku sampai di tempat tujuan. Aku memang anak dari pemilik perusahaan multinasional, tetapi aku yang hidup di pusat kota belum pernah menemui bangunan yang terlampau tinggi seperti ini. Dwi tertawa geli ketika mengetahui jika mataku terbelalak melihat bangunan di sini. Dwi berkata, "Hei bangunan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan gudang alat berat milik Airconst. Mungkin kau akan pingsan ketika sampai di gudang perusahaan kita, hahaha." Aku sangat malu dibuatnya. Dwi terlihat sangat profesional ketika datang ke front office dan berkata jika dia sudah memiliki janji dengan pihak lelang perusahaannya. Aku haya diam meliat Dwi dengan pandainya berbincang dengan pegawai bagian front office. Dwi terlihat sangat berwibawa, sangat percaya diri dan tegas. Ketika aku dan Dwi dipersilakan untuk masuk menemui bagian lelang, dia berbisik kepadaku, "Ketika kau berhadapan dengan orang bisnis seperti itu, kau harus terlihat percaya diri dan tegas. Tunjukkan jika kau adalah orang berkelas. Jangan pernah rendah diri dengan apa yang kau miliki." Aku pun menjawab sambil berbisik, "Jika kau memliki pemikiran seperti itu, kenapa kau merasa rendah diri ketika melihatku mengendarai mobil? Bukankah kau berkata jika kita harus percaya diri dengan apa yang kita miliki?" "Hah, aku tidak menyangka jika kau akan membalikkan kalimatku seperti itu. Kau jahat, Bianka." Jawab Dwi ketus. Aku dan Dwi terus berjalan hingga tiba di salah satu ruangan yang berada di lantai atas. Di sana telah duduk seorang pria yang aku taksir berusia sekitar 40 tahun. Pria itu adalah ketua lelang di perusahaan tersebut. "Selamat siang, Tuan Dwi. Saya senang bertemu dengan anda. Silakan duduk." Sapa pria itu. "Selamat siang, Tuan. Terima kasih." Jawab Dwi. "Selamat siang juga, Nona..." Sapa pria itu kepadaku. Dia terlihat sedikit memercingkan mata menungguku menyebutkan nama. "Bianka, Tuan. Saya bertugas membantu Tuan Dwi." Jawabku. "Ah Bianka. Baiklah, Nona Bianka, silakan duduk. Anda terlihat sangat cantik. Tidak salah jika Airconst memiliki reputasi yang baik, mengingat perusahaan itu juga memiliki seorang pegawai yang sangat cantik seperti anda." Puji pria itu kepadaku. "Anda terlalu memuji, Tuan." Jawabku singkat. Terlihat pria itu mengeluarkan sebuah senyum m***m kepadaku. Aku sedikit menangkap niat yang tidak baik dari pria tersebut. Mungkin dia menganggap aku mudah untuk didapatkan. Dwi menyerahkan berkas proposal lelang kepada pria yang duduk berhadapan denganku ini. Pria di depanku terlihat sibuk membolak balikkan berkas yang diberikan Dwi, sambil sesekali mencuri pandang kepadaku. Aku berpura-pura tidak melihatnya, namun di ekor mataku, aku dapat melihat betapa mengerikan tatapan yang dia berikan kepadaku. Setelah selesai membolak balikkan berkas yang diberikan Dwi, dia menutup berkas itu dan mulai berbincang dengan Dwi. "Mohon maaf, Tuan Dwi. Saya mengerti jika Airconst selalu menawarkan kontrak menggiurkan dengan kualitas alat dan bahan yang selalu bagus. Tetapi, pada lelang kali ini sangat banyak perusahaan yang menawarkan kerjasama dengan harga yang lebih rendah dari harga yang anda tawarkan. Sepertinya lelang kali ini akan sedikit sulit bagi kami untuk melakukan kontrak kerjasama dengan anda." Terang pria di depanku dengan tatapan intimidasi yang sangat mengerikan. "Baiklah, kita dapat mengurangi penggunaan alat berat dan mengoptimalkan alat yang dapat kita gunakan. Saya rasa hal itu dapat menekan biaya penyewaan alat." Jawab Dwi dengan tegas dan profesional. "Ah tidak, tidak. Perusahaan konstruksi yang sebelumnya menawarkan kerjasamanya kepadaku memiliki harga di luar kemampuan Airconst. Jika anda memang ingin memenangkan kontrak ini, anda harus mengurangi budget sekitar seratus ribu dolar. Apakah anda sanggup?" Pria itu terlihat berusaha menekan dan menawar harga tidak wajar kepada Dwi. "Mohon maaf, Tuan. Kami tidak sanggup jika harus memangkas sebesar itu. Tapi Tuan, apa yang kita berikan ini adalah kualitas, jika anda menolak tawaran dari kami, maka saya dapat memastikan jika anda akan kehilangan kualitas alat dan bahan milik Airconst. Sudah banyak perusahaan yang percaya kepada kualitas Airconst. Apakah anda tidak akan merasa rugi?" Dwi juga mencoba menekan pria itu. Dari sini aku juga belajar cara negosiasi kepada Dwi. Mungkin teknik kotor dalam menggali informasi sudah aku dapatkan selama aku menjadi agen The Barista. Tetapi Teknik negosiasi dalam dunia bisnis seperti ini, aku masih belum menguasainya. Aku merasa sama sekali tidak rugi ketika Dwi memintaku untuk ikut pada perjalanan bisnis kali ini. "Jika anda tidak dapat memotong anggaran, tidak masalah. Mungkin kita dapat bekerja sama pada proyek selanjutnya. Namun jika anda masih menginginkan proyek ini, mungkin aku bisa menawarkan sebuah jalan keluar." Ucap pria itu dengan senyum mengerikan. Dia melirikku dengan tatapan nakal dan sedikit menggigit bibir bawahnya terhadapku. Aku dan Dwi sama-sama menangkap maksud dari pria tersebut. Dwi terlihat terkejut dengan apa yang dikatakan pria itu dan terlihat akan menolak tawaran pria tersebut. "Baiklah, setuju." Ucapku singkat dengan tatapan tajam dan senyum sedikit nakal kepada pria tersebut. "Bianka!" Dwi terlihat sangat terkejut mendengar aku mengucapkan hal tersebut dengan santai. Aku melirik tajam ke arah Dwi, memberikan senyum tipis dan mengangkat bahuku, "Jika hal itu bisa membuat kita memenangkan kontrak ini, kenapa tidak. Bukankah begitu, Tuan?" Pria di depanku menjawab, "Kau sangat cerdas, Nona Bianka." "Baiklah, bagaimana jika kita makan siang setelah ini, Tuan. Kebetulan saya belum makan siang. Apakah anda setuju?" Ucapku sambil memberikan tatapan nakal kepada pria di depanku. Aku mengangkat tanganku ke depan wajahku perlahan, kemudian aku sedikit menggigit ibu jariku dengan ujung bibirku dan memainkan bola mataku. "Ide bagus, Nona. Mari kita makan siang bersama. Lalu bagaimana dengan Tuan Dwi?" Tanya pria itu yang masih ingin terlihat bersahabat denganku dan Dwi. "Ah, Tuan Dwi. Tuan Dwi mungkin bisa makan siang di restoran lain sembari menunggu kita makan siang berdua. Anda pasti tidak keberatan bukan, Tuan Dwi?" Tanyaku kepada Dwi. Kemudian aku mendekatkan wajahku ke arah telinga Dwi. Aku keluarkan kunci mobil dari tas kecil yang selalu bawa kemanapun aku pergi, aku berikan kunci itu kepada Dwi sambil berkata, "Bawalah mobilku. Aku tahu jika kau dapat mengemudikan mobil. Aku akan menghubungimu jika aku berada di dalam bahaya. Ingatlah untuk selalu berada di dekat ponselmu. Aku mengandalkanmu." Dwi terlihat semakin terkejut dengan apa yang aku lakukan. Dari tatapan matanya kepadaku terlihat jika dia masih belum menyangka aku dapat melakukan hal senekad ini. Dia menerima kunci mobil yang aku berikan tanpa berkata apapun. Setelah itu aku, Dwi, dan pria yang duduk di depanku pergi meninggalkan ruangan tersebut. Aku akan melanjutkan catatan hari ini pada lembar selanjutnya karena lembar hari ini telah penuh. Aku tahu jika siapapun yang membaca ini akan merasa sebal karena aku memutus catatan pada bagian panas. Haha, tenang saja, aku pasti akan melanjutkan buku harianku karena sesuatu yang panas telah terjadi hari ini kepadaku.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN