Kembali Pergi

2035 Kata
Mata kuliah berakhir, tepat setelah dosen menjelaskan teori Binet yang akan menjadi tugas presentasi minggu depan. Tugas ini bagaikan puncak gunung es—hanya sedikit yang tampak di permukaan, sementara lautan informasi masih menunggu untuk diselami di perpustakaan. Nama Alfred Binet mungkin tidak sepopuler Jean Piaget atau Lev Vygotsky, namun Kirani tahu bahwa setiap tokoh memiliki perannya masing-masing dalam dunia pendidikan. Sebagai mahasiswa fakultas pendidikan, Kirani terbiasa menenun benang-benang teori menjadi kain pengetahuan yang utuh. Para dosen selalu mengaitkan satu tokoh dengan yang lain, menyambungkannya dengan kehidupan yang telah, sedang, dan akan terjadi. Namun, di tengah segala hiruk-pikuk akademik, ada satu hal yang tak pernah bisa ia lupakan—fitnah yang merusak nama baiknya. Di dalam kelas, anak-anak masih ramai bercanda, tertawa seolah tak ada yang salah. Tak ada yang menatapnya dengan sinis atau penuh curiga, seakan-akan nama yang mencuat di Twitter kemarin bukanlah namanya. Mungkin karena mereka, sebagai mahasiswa, lebih memilih mengurus diri sendiri, mengejar mimpi mereka masing-masing. Tapi, Kirani tahu, di antara mereka pasti ada yang diam-diam menilai dan menghakimi. "Ran, menurut gue lo harus klarifikasi," bisik Diva pelan, menghampiri dengan wajah penuh simpati. Mereka telah berteman sejak masa ospek, sejak pertama kali mengenakan almamater. Kirani menggeleng dengan tegas, menahan perasaan yang berkecamuk. "Klarifikasi apaan? Gue nggak salah apa-apa," ucapnya dengan nada yang ia coba buat tenang, meski hatinya terasa seperti dihantam gelombang badai. "Nanti juga ketahuan siapa yang fitnah gue. Gue serahin sama Tuhan. Lagipula, gue anak yatim; dosa besar kalau ada yang menghardik anak yatim. Pasti ada balasannya." Diva tersenyum kecil mendengar jawaban Kirani. "Bener juga lo, gue sampai lupa kalau nyakitin anak yatim itu dosa besar." Kirani mencoba tersenyum, meski hatinya terasa perih. "Pahala gue sekarang deras mengalir, jadi gue ambil sisi positifnya aja," katanya, sebelum akhirnya meletakkan kepala di atas meja, berharap bisa tidur sejenak untuk melupakan segalanya, meski hanya sementara. "Tapi Ran, beneran nggak ada niat buat bales?" Diva masih mencoba meyakinkan, rasa khawatir terlihat jelas di matanya. Kirani menggeleng malas. "Biar abang gue yang urus. Gue nggak mau ikut campur." Meski ucapan itu terdengar ringan, ada rasa lelah yang menggumpal di hatinya—lelah karena harus terus bertahan di tengah badai yang seakan tak kunjung reda. "Lo lupa gara-gara dia, karya lo jadi gagal diterbitin?" tanya Diva, mencoba mengingatkan Kirani pada luka yang belum sepenuhnya sembuh. "Setelah semuanya terbongkar, karya gue pasti banyak yang baca," jawabnya santai, seolah percaya bahwa kebenaran akan datang pada waktunya, meskipun ia tahu itu mungkin tidak akan mudah. Ketenangan yang ia coba pertahankan hanyalah tameng rapuh di tengah gejolak hatinya. Diva mendesah, merasa frustrasi dengan sikap pasrah Kirani. "Tapi kita nggak tau kapan itu kebongkar, Ran. Lebih cepat lebih baik, bukan?" Kirani menegakkan tubuhnya, pandangannya kosong menatap ke depan. "Gue juga sekalian nabung pahala. Tuhan pasti bantu gue kalau itu di luar kehendak gue," katanya dengan suara yang terdengar lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri daripada meyakinkan Diva. "Lo tenang aja." Namun, meskipun kata-katanya terdengar tegas, ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia sembuhkan dengan kata-kata atau keyakinan semata. Ia tahu, luka ini akan terus menganga, membekas dalam dirinya, seperti duri yang tertancap di hati. *** Sementara itu, Darian yang sudah mendengar kabar itu, tidak bisa tinggal diam. Ia tahu, ini bukan lagi sekadar masalah antara dirinya dan Amara. Ini sudah melibatkan Kirani, adiknya yang tak berdosa. Masalah yang seharusnya hanya antara dirinya dan Amara, kini telah menyeret Kirani sebagai korban yang tak seharusnya. Darian tahu, Kirani sudah lama menyimpan luka terhadapnya, luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Ia sadar, hubungan mereka yang retak semakin sulit diperbaiki. Seperti kaca yang pecah, meskipun bisa direkatkan kembali, retakannya akan selalu ada, selalu mengingatkan mereka pada luka lama. "Gila, Sirkel dia sok iye banget, lo liat Yan," tunjuk Rizan pada foto yang baru saja diunggah di i********: oleh Amara. "Itu iPhone dari lo, kan?" tanya Rizan, matanya menyipit memandang Darian. Mereka sedang duduk di coffee shop favorit, tempat mereka biasa berkumpul. Darian mengangguk lemah, seolah semua energi telah terkuras habis. Ponsel yang digunakan Amara untuk berfoto itu adalah hadiah dari Darian, beberapa bulan lalu, untuk merayakan anniversary mereka. Ia menyalakan rokoknya, mengisap dalam-dalam, berharap asapnya bisa membawa pergi segala beban yang menumpuk di pundaknya. Darian tahu, ada kesalahannya juga yang membuat Amara nekat seperti ini, namun rasa marah dan kecewa lebih kuat dari rasa bersalahnya. "Gila lo, udah difitnah, dia masih enak-enakan pakai barang lo!" Sahdan menimpali, suaranya penuh ketidakterimaan. "Kita apain nih, Yan? Lo jangan diem aja lah! Lo nggak lihat adik lo ikut kebawa-bawa gini?" sergah Rizan, nadanya mendesak, mencoba memaksa Darian untuk segera bertindak. "Gue nggak bisa ngapa-ngapain," Darian akhirnya berbicara setelah lama terdiam. "Kalau gue kasih bukti itu ke sosial media sebagai bantahan, Amara bakal..." Ia berhenti, menelan kata-katanya, seperti duri yang terlalu tajam untuk diucapkan. "Sorry, gue harus balik," ucap Darian tiba-tiba, bangkit dari tempat duduknya. Tapi, Dito dan Sahdan segera menahannya. "Yang bener aja lo! Yang jelas g****k!" Rizan hampir berteriak, amarahnya tidak bisa lagi ia sembunyikan. "Gausah ngumpetin masalah, Yan! Kasih tau kita, kita bakal bantuin lo!" seru Sahdan, mencoba meyakinkan Darian. "Lo nggak lihat yang kena imbas di sini bukan cuma lo doang!" terang Rizan dengan tegas. "Kirani nggak ada ikut campur, tapi dia sudah kena bully netizen. Lo nggak kasihan sama adik lo, Yan?" Dito mengangguk setuju. "Kalau lo biarin fitnah ini begitu aja, lo bener-bener abang yang buruk, Yan." "Ah sial!" Darian mendorong mereka menjauh dan segera pergi, langkahnya cepat dan tegas, tapi dalam hatinya, ada badai yang tak kunjung reda. *** "Kenapa lo ke sini?" tanya Amara dengan nada sinis, suaranya setajam pisau yang langsung menusuk tanpa ampun. Darian hanya terdiam, merasakan tenggorokannya mengering, setiap kata terasa tersangkut di sana. "Ra, gue yang salah. Tapi lo nggak usah bawa-bawa Kirani dalam masalah kita." "Lo cuma mau ngomong gitu aja?" Amara mendengus, membalikkan badan, siap memasuki rumahnya kembali, seolah Darian hanyalah angin lalu yang tidak layak dihiraukan. "Ra, tunggu!" Darian memanggil dengan putus asa, suaranya pecah dalam kebisuan. "Maaf, tapi gue mohon biarin ini jadi masalah gue sama lo. Kirani nggak bersalah, dia nggak tahu apa-apa!" Amara berhenti sejenak, lalu berbalik menatap Darian dengan tatapan dingin. "Gue nggak peduli. Yang gue mau adalah kehancuran lo, dan keluarga lo." Darian menghela napas berat, merasakan beban dunia di pundaknya. "Gue bakal terima konsekuensi apa pun dari lo, tapi tolong, jangan bawa-bawa Kirani..." Senyum miring terukir di wajah Amara, seperti iblis yang menemukan mainan baru. "Nggak bisa," katanya pelan namun tegas. "Keputusan gue udah final. Gak ada yang bisa rubah keinginan gue, walaupun—" Dia menunjuk d**a Darian dengan telunjuknya, sentuhan dingin yang menembus sampai ke hati. "Dengan hati lo sekalipun." *** Kirani pulang dengan beban yang melebihi apa yang tergantung di tangannya—sebuah tas belanjaan penuh makanan yang terasa berat seperti beban emosional yang menekan hatinya. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas awan yang hampir runtuh, simbol dari perasaannya yang hancur. Di rumah, Kirani menaruh belanjaan di dapur dan mendapati ibunya tengah duduk santai di sofa, tenggelam dalam sinetron di televisi. Suara adiknya, yang terisolasi di kamar dengan komputer, hanya menambah kesunyian yang menyelimutinya. Darian, kakaknya, tak terlihat di rumah, meninggalkan Kirani dengan rasa sepi yang semakin mendalam. Dia ingin sekali berbicara tentang masalah yang mengganggunya, namun selalu ada penghalang. Meski Kirani berusaha menutupi kegelisahannya, keinginan untuk menyelesaikan masalah sama kuatnya dengan harapan Diva—mungkin bahkan lebih. Dia tetap berusaha bersikap tenang di hadapan teman-temannya, menyembunyikan kegundahan yang menderu di hatinya. "Kiran, Mama mau buahnya dong, cucikan ya," suara ibunya memecah lamunan dengan nada yang penuh perintah. Kirani mengangguk tanpa banyak pikir dan segera mencuci buah, seolah itu bisa menunda pikirannya dari permasalahan yang lebih besar. "Bang Darian mana, Ma?" tanyanya, sambil meletakkan piring buah di meja dan duduk di samping ibunya. "Sedang keluar. Kamu nyariin abangmu?" jawab ibunya, tanpa menoleh dari televisi. Kirani menggeleng, frustrasi mulai memuncak. "Gak nyariin, cuma ada yang mau Kiran bicarain sama abang." "Ngomong apa?" Kirani mengangkat bahu, merasa lelah. "Ada, Ma. Gak usah tahu, urusan anak muda." Ibunya tertawa sinis, tetap dengan tatapan tajam. "Oh, kamu lagi ngomong tentang urusan anak muda? Kamu pikir Mama ini nggak penting?" Kiran terdiam, takut untuk membalas. "Nanti Mama akan pergi selama seminggu," ujar Dina. Raut wajah Kirani langsung berubah, tampak murung. "Kenapa Mama sering pergi, jarang ada di rumah. Aku butuh Mama di sini." Ibunya menatap Kirani dengan nada yang lebih keras. "Kalau Mama di rumah terus, siapa yang biayain kuliah dan adik kamu? Gak usah banyak protes!" "Tapi Mama punya sekolah dekat sini. Kerja di sana juga cukup buat kita, Ma." Dina menggeleng pelan, masih dengan nada tegas. "Seminggu saja. Biasanya kamu nggak pernah protes, sekarang kok tiba-tiba?" Kirani menahan napas, merasa tercekik oleh kata-kata yang tak terucap. "Kirani gak bisa nolak karena Mama egois," bisiknya dalam hati, merasakan kekosongan yang semakin dalam. "Fine, silahkan pergi," katanya dengan senyum dipaksakan. Tanpa menunggu balasan, Kirani menuju kamarnya dan membenamkan diri di balik selimut. Air matanya jatuh perlahan, seperti hujan lembut yang membasahi tanah yang kering. Keinginan Kirani untuk merasakan kehangatan keluarga semakin memudar, seiring dengan kepulangan ibunya yang semakin jarang. Kehadiran ibunya di rumah seolah menjadi angin yang tak dapat diraihnya. Adiknya, yang jarang merasakan pelukan ibunya, kini lebih memilih dunianya sendiri. Darian, kakaknya, lebih memilih bersenang-senang dengan teman-temannya daripada memperhatikan keluarga. Harapan Kirani untuk merasakan kehangatan keluarga yang utuh semakin memudar. *** Di tengah tugas lapangan yang melelahkan, Bima akhirnya mendapatkan kesempatan untuk beristirahat. Duduk di bawah rindangnya pepohonan di Kalimantan, ia meletakkan punggungnya di atas batu besar, seragam lapangan yang dikenakannya tampak menawan meski berdebu. Setiap detik istirahatnya adalah momen berharga, dan pikirannya melayang pada Kirani, gadis yang selalu ada dalam benaknya. Tiba-tiba, getaran ponsel di saku celananya mengalihkan perhatiannya. Dengan satu gerakan cepat, Bima melihat nama atasannya di layar. Ia menjawab dengan suara yang penuh perhatian meski bayangan Kirani masih tersimpan di benaknya. "Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bima, berusaha menunjukkan profesionalisme di tengah lamunan. "Bagaimana perkembangan di sana? Ada kemajuan?" suara atasannya tegas dari seberang telepon. Bima menjelaskan hasil kerja dan rencana survei tambahan. Meskipun baru saja tenggelam dalam lamunan tentang Kirani, ia tetap fokus pada tanggung jawabnya, setiap kata menunjukkan dedikasi dan profesionalisme. "Data menunjukkan potensi yang signifikan. Kami perlu survei tambahan untuk hasil yang lebih akurat," jelas Bima. "Bagus, teruskan dengan survei tambahan. Pastikan semua data lengkap sebelum tahap pengeboran," arahan dari atasannya jelas dan lugas. "Siap, Pak. Saya akan tindak lanjuti," jawab Bima dengan percaya diri, meskipun hatinya tak bisa sepenuhnya fokus. *** "Kamu baru pulang?" Darian baru pulang dan berhadapan dengan ibunya. "Ya kalau aku ada di sini, berarti aku udah pulang," balasnya ketus. Ibunya, Dina, menegur dengan nada tegas, "Kamu sama Mama yang sopan dong, Yan." Darian hanya mengendikkan bahu, tampak acuh. "Ya, ya." Ia menuju kursi makan, mencicipi makanan dengan sedikit rasa pahit. "Darian, nanti malam antar Mama ke bandara," kata Dina dengan nada memaksa. "Kemana, Ma?" tanya Kailo penasaran. Anak itu duduk di samping Darian sedari tadi. "Dina menarik Kailo ke pelukannya. "Mama mau ke Dubai, sebentar kok." Kailo marah, kesal karena jarang bertemu ibunya. "Aku mau ikut Mama!" teriaknya, air mata hampir jatuh. "Sekolahmu gimana, Kai?" tanya Dina dengan nada tegas. "Gak peduli, mau ikut Mama!" jawab Kailo, menahan marah. Dina menggeleng tegas. "Mama pergi juga untuk bayarin sekolahmu. Kamu membolos sia-sia usaha Mama." Darian mengusulkan agar Kailo ikut. "Kasih ikut Kailo, Ma. Dia butuh Mama." "Tidak bisa—" "Ayolah Ma. Kailo belum pernah ngerasain jalan-jalan sama Mamanya. Mama gak kasihan sama Kailo? Temen-temennya yang lain setiap minggu selalu liburan sama ayah ibunya. Kailo? Dia cuma menyendiri di kamar, nunggu Mama pulang," ucapan Darian membuat Dina terpekur. Dengan pasrah, Dina mengangguk. "Yaudah, siapin barang-barangnya." Kailo berlari ceria ke kamarnya. Darian tersenyum tipis, lalu bertanya, "Jam berapa ke bandara, Ma? Aku panasin mobil." "Jam sembilan," jawab Dina. "Jangan sampai tidur, ya!" Darian berdecak. "Iya-iya." Sekarang, pukul sembilan, Darian sudah menepati janjinya; koper-koper telah dimasukkan ke bagasi. Kailo siap, sementara Dina memberikan rincian tugas kepada Kirani. "Ingat, cek pintu, jendela, dan air setiap malam. Jangan sampai lupa!" Kirani mengangguk. "Iya, Ma." Dina memeluk Kirani dan memberi kecupan di pipi. "Jaga diri ya." Mereka semua masuk ke mobil dan berangkat, meninggalkan Kirani sendirian di rumah. Kirani menghela napas lelah, merasakan kesepian yang mendalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN