Guncangan

2010 Kata
Di depan halte kampus, tempat mereka sering berkumpul, suasana sore itu terasa berbeda. Diva bersama pacarnya, Adit, sudah lebih dulu datang. Tak lama, Nindy, seorang perempuan syar'i yang selalu berkerudung rapi, tiba sendirian. Kirani pun tiba dengan gaun sederhana bermotif bunga-bunga lembut berwarna putih, tampak anggun seperti angin pantai yang menyapu lembut. Agatha, si gadis mungil yang pendek namun bertenaga, muncul tak lama kemudian. "Loh, kok ada Zean?" tanya Agatha dengan alis terangkat, suaranya sedikit menggoda. "Kagak jelas lo, katanya nggak mau dateng karena males," ucap Agatha sambil memutar mata, setengah kesal tapi penuh rasa ingin tahu. "Sifatnya random banget, kayak cewek," lanjutnya dengan nada meledek. Zean, tanpa banyak bicara, langsung masuk ke mobil yang ada di depan mobil Adit, pacar Diva. "Yaudah, semua udah sampai kan? Ayo kita langsung masuk ke mobil aja!" ajak Kirani dengan semangat. Mereka pun segera masuk ke dalam mobil. Kirani dan Diva duduk di kursi belakang mobil Adit, sementara Nindy menyetir mobil lain bersama Agatha, yang membawa barang-barang luar biasa banyak. "Asekkkkkk, gas terus Nin, balap mereka!" seru Agatha, suaranya menggema dalam kabin mobil. Ia membuka kaca jendela, lalu menjulurkan kepalanya keluar sambil melet-melet ke arah mobil Adit. "Itu bocah sinting ya?!" keluh Diva dari dalam mobil Adit, namun tak lama kemudian ia malah ikut-ikutan membuka jendela. "Melet-melet anying sia! Ulah ngajak balapan, ieu jalanan pamarentah, bukan milik bapak lo!" Makinya dalam bahasa Sunda yang kasar, menggambarkan betapa kesalnya dia. Mobil di depan akhirnya melambat, tampaknya Nindy sudah mulai bosan meladeni tingkah Agatha. "Jangan, Agatha. Bahaya, kita harus hati-hati, jangan main-main kalau lagi di jalanan ramai gini," nasihatnya dengan suara lembut namun tegas. "Ihhhh, yaudah nanti kalau sepi berarti boleh?!" seru Agatha, tak mau kalah. Nindy menggelengkan kepala. "Enggak, tetep enggak. Udah, lo tidur aja, ini bakal lama perjalanan kita, oke?" katanya dengan nada yang mencoba meredam semangat liar Agatha. Agatha menguap lebar. "Betul juga, gue ngantuk." *** "Gimana, gaisss? Indah banget nggak sih?" teriak Agatha saat mereka tiba di Pantai Rindu. Semua mengangguk setuju. Matahari terbit di ufuk timur, dipadu dengan deburan ombak yang kuat, menciptakan pemandangan yang tak terlupakan. Mereka baru saja tiba pagi itu setelah perjalanan yang melelahkan. Setelah puas menikmati sunrise dan langit yang mulai cerah, mereka kembali ke hotel. Adit dan Zean sudah berpisah dari mereka, memilih kamar di lantai dua, sementara para cewek tidur di lantai empat. Hingga waktu siang datang, Kirani duduk sendirian di balkon, membalas telepon dari ibunya. Kabar bahwa ibu dan adiknya sudah mulai membaik membuatnya merasa lega, seolah beban yang menghimpit hatinya sedikit terangkat. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal. Darian, abangnya, masih belum mau berbicara banyak tentang masalah dengan Amara, dan setiap percakapan mereka selalu berakhir dengan kebisuan yang menyakitkan. "Amara, ya?" suara Diva tiba-tiba terdengar, menyela lamunannya. Diva bergabung di balkon, tatapannya penuh simpati. "Kasihan juga sih itu cewek, tapi sifatnya kaya anjing, bingung gue mau kasihan atau mau kesel," keluh Diva, tak mampu menyembunyikan rasa frustrasinya. "Lagi pula, dia aneh banget bawa-bawa nama lo, nyebar berita hoax, bilang lo bawa kabur duit punya Amara? Hellow, Amara, Kirani ngapain bawa kabur duit lo? Aradhana punya yayasan di mana-mana, men!" kata Diva, semakin kesal. Kirani tersenyum kecil, meski matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. "Perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya itu menyakitkan, dia akan melakukan apa saja demi anaknya," ujarnya pelan. "Jadi nggak apa-apa, gue terima konsekuensi dari dia." Diva mendecak. "Baik pisan ya lo, Kirani, sampe gue gregetan banget!" ucapnya sebal tapi penuh keprihatinan. *** "Aaaa, stop! Stop! Jangan gitu dong! gue gak mau basah-basahan!" keluh Agatha sambil mundur, mencoba menghindari cipratan air dari temannya. Diva tertawa terbahak-bahak, tidak peduli. "Sabodo teuing! Yang penting lo basah, gue bahagia!" Nindy dan Kirani hanya bisa terkekeh dari tempat mereka duduk di tikar pantai, menyaksikan pertengkaran kecil itu dengan senyum geli. Tikar mereka dikelilingi oleh payung besar yang melindungi dari sengatan matahari, meskipun udara tetap terasa panas. Di samping Zean, Adit sibuk dengan kameranya, memotret pemandangan pantai dan, sesekali, mengambil gambar pacarnya secara diam-diam. Sementara itu, Zean berbaring di tikar, berpura-pura berjemur dengan mata tertutup, meskipun masih mengenakan baju lengkap. Tiba-tiba, Zean yang tadinya berbaring terlentang memiringkan badannya menghadap Kirani, lalu menyenggol bahunya berulang kali. "Apa sih?" tanya Kirani dengan nada heran, merasa kesal karena diganggu tanpa alasan jelas. "Abis ini temenin gue ya," ujar Zean dengan nada setengah serius. "Gue pengen beli baju dari toko Ryulle, buat mama gue." Kirani mendesah panjang. "Itu kan jauh, Zean! Kenapa nggak nanti aja pulangnya, sekalian?" "Pulangnya pasti malam, tokonya udah tutup," jawab Zean singkat. Kirani menghela napas, sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. "Bisa sama yang lain kan, kenapa harus gue?" "Karena yang kenal deket sama mama gue cuma lo," Zean menjawab seolah itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Kirani menatapnya dengan mata menyipit. "Terus kenapa kalo gue? Lo kan anaknya, pasti lebih deket." "Tapi lo tau selera mama gue, gue enggak. Ayolah, Ran," mohon Zean, kali ini lebih mendesak. Kirani merasa pasrah. "Berarti nanti kita pulang gak bareng mereka?" "Ya, beda arah," jawab Zean santai. "Trus naik apa dong? Gue paling males naik kereta, ya Zean!" keluh Kirani, semakin merasa terbebani. Zean hanya terkekeh kecil. "Jaman sekarang udah ada ojek mobil, Kirani." Kirani menggeleng pelan, lalu menyerah. "Yaudah, lo yang bayar nanti." "Aman," jawab Zean sambil tersenyum, merasa lega. Percakapan mereka terdengar oleh Nindy yang duduk di sebelah, dia pun ikut nimbrung. "Nanti pulang kalian misah dong?" Kirani mengangguk. "Sepertinya begitu." Nindy tertawa kecil. "Si Agatha pasti ngambek tuh." Kirani menoleh dengan bingung. "Ngambek kenapa?" Nindy mendekatkan wajahnya ke telinga Kirani dan berbisik, "Nggak ada Zean, bocah itu pasti murung, nggak ada bahan buat ribut." Kirani terkekeh, membayangkan betapa murungnya Agatha nanti. "Seru tuh, selamat meladeni Agatha ya nanti." Nindy mencibir, berpura-pura kesal, tapi senyum kecil tak bisa ditahannya. *** "Barang semua udah siap?" tanya Zean sambil mendekat. Dia dengan sigap mengambil alih barang-barang di tangan Kirani, seolah tangannya sendiri sudah otomatis tahu apa yang harus dilakukan. Kirani mengangguk, meski ada sedikit kelelahan yang tersirat di wajahnya. "Udah, tinggal ini aja. Gue gak bawa banyak." Mereka berjalan mendekati mobil yang sudah menunggu, sementara teman-teman mereka berdiri di tepi jalan, menatap kepergian mereka dengan campuran perasaan. "Yah, gaada Kiraniiii," keluh Agatha dengan nada sebal, matanya menatap Zean penuh curiga. "Awas lo apa-apain temen gue!" Dia memelototkan mata dengan canda, tapi ada sedikit kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Zean hanya mendengus, mengabaikan ucapan Agatha. Tanpa bicara, dia langsung masuk ke mobil, duduk di kursi belakang dengan ekspresi datar. Kirani tersenyum kecil pada teman-temannya, berusaha menahan rasa haru. "Kalian hati-hati juga ya nanti. See you di kampus lusa!" "Amann," jawab Diva dengan riang, mencoba menyembunyikan sedikit kesedihan. "Abis lo berangkat, kayaknya kita juga bakal pulang deh. Pengen belanjaaaa." Kirani tertawa pelan. "Oke, bayy bayy," pamitnya, melambai dengan semangat yang dipaksakan. Saat dia masuk ke dalam mobil, mereka semua melambaikan tangan dari balik jendela, melambai sampai mobil itu mulai menjauh. Di dalam mobil, Zean sudah memasang earphone di telinganya, matanya terpaku pada pemandangan pantai yang mulai memudar di kejauhan. Ada keheningan yang aneh di antara mereka, seolah kata-kata yang ingin diucapkan tertahan di udara. Kirani menatap keluar jendela, memperhatikan debur ombak yang pelan-pelan semakin jauh. "Gue kayaknya bakal kangen tempat ini," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Zean. Sebuah senyum kecil terulas di bibirnya, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Zean hanya mengangguk setuju, tanpa mengalihkan pandangannya dari pantai. "Pantes namanya Pantai Rindu," lanjut Kirani dengan suara pelan, hampir seperti sedang berbicara dengan angin yang menyapu wajahnya. "Baru ditinggal beberapa menit, gue udah kangen." Tiba-tiba, Zean mengangkat tangannya. "Pak, berhenti sebentar di pinggir," katanya tanpa ragu. Sopir menoleh dengan sedikit bingung. "Ada apa, Mas?" "Temen saya masih kangen Pantai Rindu. Mau liat-liat pantainya sebentar," jawab Zean, seolah itu hal yang paling wajar di dunia. "Oalah, oke Mas!" sopirnya mengangguk sambil tersenyum. Kirani menatap Zean dengan sedikit heran, namun ada kehangatan yang tiba-tiba muncul di hatinya. "Zean, lo bener-bener ya! Tiba-tiba banget," desisnya, setengah mengomel, tapi tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Zean terkekeh. "Gue orang yang peka, Kiran." Mereka keluar dari mobil bersama, berjalan mendekati bibir pantai. Angin laut yang lembut menyapa mereka, menyapu rambut Kirani yang tergerai. Tanpa berkata-kata, Zean mengeluarkan karet gelang dari sakunya dan dengan lembut membantu mengikat rambut Kirani. Kirani tersenyum, terkejut dengan perhatian kecil itu. "Bener-bener peka ya," katanya pelan, merasa sedikit tersipu. "Pasti yang jadi cewek lo cinta mati banget." Zean tidak menjawab langsung. Dia hanya tersenyum, menatap Kirani dengan pandangan yang dalam dan lembut. "Yang jadi cewek gue akan gue jadikan ratu seumur hidupnya." *** "Lo udah nyampe mana?" tanya Darian melalui telepon, suaranya penuh kepanikan. Dia baru saja tiba di bandara setengah jam yang lalu. "Udah kok," jawab suara di seberang, terdengar sedikit lega. Di ujung telepon, ada tawa kecil. "Maklum ya, dia introvert. Lo ajak ngobrol aja biar akrab," lanjutnya dengan nada ceria meski situasinya kacau. "Thanks ya udah mau bantu—" Tiba-tiba, jeritan seorang anak kecil memotong pembicaraan. "ARKHHHH MAMA!!!" Gedung besar itu mulai bergetar hebat, seakan dihantam badai. Orang-orang berlarian menuju pintu keluar, dan Darian terbelalak panik. "Astaga!" Dia segera mengikuti kerumunan, bergegas menuju pintu keluar. Tangannya gemetar, sulit dikendalikan. Sambungan teleponnya masih tersambung, tapi suara di seberang semakin kacau. Darian mencoba bernapas lebih tenang, tapi ketika dia melihat kembali ponselnya, sambungan sudah terputus. Untungnya, air ambulance yang mengangkut Mama dan adiknya sudah mendarat, dan dalam perjalanan pulang bersama temannya yang berprofesi dokter, mereka akan pindah ke rumah sakit di Jakarta karena keadaan mereka sudah membaik. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu matanya menangkap sosok yang dikenalnya. Mata mereka bertemu, dan orang itu, yang awalnya sedang membantu orang yang terjatuh, buru-buru mendekat. "Darian!" sapanya, wajahnya penuh kelegaan. Darian membalas dengan senyum. "Sehat, Bim?" Bima tersenyum sambil menunjukkan fisiknya yang masih prima. "Seperti yang lo lihat." "Lo baru sampai atau mau pergi, Yan?" tanya Bima. "Gue baru sampai abis dari Amerika. Nyokap sama adek gue tadinya dirawat di sana. Sekarang udah pindah rawat ke Jakarta lagi," jelas Darian. "Gue udah denger dari Kiran. Cepet sembuh buat Mama lo dan Kailo ya, gue titip salam juga," ucap Bima dengan tulus. "Aamiin, terima kasih. Nanti gue sampaikan ke Mama," balas Darian. Darian mengamati Bima sebentar sebelum menggoda, "Kayaknya hubungan lo sama adek gue udah mulai ada kedekatan?" Bima hanya tersenyum. "Iya, nantinya mau gue lamar aja adek lo." Darian tertawa kecil. "Lo abis darimana, Bim?" "Gue habis dari Kalimantan, baru sampai juga," jawab Bima. "Padahal gue balik ke sini mau main PS sama lo," lanjutnya sambil tertawa. "Tapi orangnya malah mau pergi." Darian menunduk, merasa tidak enak. "Sorry ya. Terlalu banyak masalah bikin gue lupa menepati janji." "Santai aja, gue nggak serius juga ngajak lo main," jawab Bima santai. Darian ikut tertawa. "Iya gue tau, lo cuma mau ketemu Kirani." Mereka tertawa bersama, tapi tiba-tiba gempa kembali mengguncang dengan kekuatan yang lebih besar. "Astaga..." keluh mereka berdua. Ponsel Bima berdering, bukan dering biasa—seperti alarm bahaya yang menggema. Bima langsung tersadar; itu adalah sinyal keadaan darurat dari perusahaan tempatnya bekerja, peringatan gempa megathrust. Dalam sekejap, data dari sensor seismik seluruh Indonesia masuk ke ponsel Bima. Prediksi menunjukkan gempa dahsyat di zona subduksi dekat pantai selatan Jawa. Meski pusat gempa jauh dari Jakarta, peringatan dini tetap diberikan. "Ini gempa megathrust," Bima menginformasikan Darian yang tampak bingung. Getaran semakin kuat, bangunan mulai berderak, kaca-kaca pecah, dan tanah di beberapa tempat mulai retak. Meski Jakarta jauh dari pusat gempa, dampaknya tetap terasa. Bima tahu ini baru permulaan. Jika episentrum berada di laut, ancaman tsunami mungkin menyusul. Dia harus bergerak cepat. "Darian, kita harus cari tempat yang lebih aman!" serunya. Darian mengangguk dengan cemas. Mereka berlari ke arah tempat yang lebih aman, menjauh dari area terbuka dan jendela besar. Mereka berlindung di bawah pilar penyangga yang kokoh, berharap struktur ini cukup kuat untuk melindungi mereka dari reruntuhan. "Yan, Kirani udah di rumah kan? Dia nggak kemana-mana?!" Bima bertanya panik. Darian tersentak. "Ki-Kirani masih di Pantai, Bim..." Panik, Bima segera mengecek ponselnya. Data menunjukkan keadaan Pantai Rindu jauh lebih parah dibandingkan Jakarta. Tsunami sudah melanda, menghancurkan segala yang ada di pesisir pantai. Keringat dingin membasahi wajah Bima. "Darian... Kiran..." suaranya terdengar lirih, penuh ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN