***
Sebelum kembali ke rumah mereka, Raihan membujuk istrinya meminta maaf kepada orang tuanya. Adriana tidak banyak bicara. Dia menuruti suaminya. Wanita itu meminta maaf atas sikapnya yang berlebihan di ruang makan. Dia mengaku salah.
"Mama sudah maafkan."
Atikah tersenyum melihat perubahan baik putrinya. Dia mengenal baik Adriana. Sangat sulit mengatur wanita itu, dan Raihan berhasil menyuruhnya meminta maaf. Baik Atikah dan suaminya merasa bahwa menikahkan Adriana dengan Raihan merupakan ide brilian.
"Jangan lupa. Kalian berdua, berhutang bayi. Dalam waktu dekat, kabari kami soal kehamilan ya."
Senyuman di atas bibir Atikah tak kunjung pudar. Sementara Adriana dan Raihan saling berpandangan satu sama lain. Keduanya kompak berseru, "Tidak!"
Kekompakan keduanya tidak berhenti begitu saja. Sekali lagi kata-kata selanjutnya pun sama. Refleks mereka berdua menambahkan, "Kami belum siap!"
Adriana langsung membulatkan mata ke suaminya. Bisa-bisanya mereka mengeluarkan kosa kata yang sama dari bibir mereka. Keduanya bahkan memiliki lidah yang berbeda. Ini sangat aneh.
"Ya ampun. Kalian berdua memang jodoh. Sampai setiap kata yang akan keluar dari bibir kalian selalu sama. Allah memang tahu pasangan mana yang serasi di dunia." Herman ikut berkomentar. Lucu melihat menantu dan putrinya memiliki kesamaan pemikiran.
"Bener, Pa. Sepertinya hati mereka memiliki visi yang sama." Atikah ikut menggoda.
Raihan dan Adriana seperti remaja yang sedang digoda orang terdekat mereka. Keduanya terlihat tidak nyaman akan situasi ini. Kekompakan tadi bukanlah sebuah setingan, walaupun keduanya sering berpura-pura. Hanya sebuah kebetulan.
Setelah itu semua terjadi, rasanya sangat aneh. Memikirkan bagaimana isi pemikiran mereka bisa sama, membuat keduanya malu. Bagaimana bisa dua orang yang tidak saling menyukai bisa mempunyai jalan pikiran yang sama? Seolah mereka memang berjodoh.
Mungkin manusia hanya bisa berencana. Jika Allah berkehendak, segalanya akan berubah. Lima menit bahkan satu menit bisa diubah oleh Allah dengan mudahnya.
"Sudah, jangan tegang. Kenapa kalian berdua takut memiliki anak, hah? Memiliki anak sangatlah membahagiakan. Setiap pasangan tentu menginginkan anak." Atikah kembali menasihati.
"Benar, Ray. Mengapa kamu dan istrimu masih ragu memiliki anak? Apakah sangat susah mendapatkan anak? Sekarang teknologi canggih. Kalian bisa ikut program bayi tabung. Tidak ada yang tak mungkin di zaman moderen ini."
Raihan menoleh ke arah istrinya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Jika ia salah bicara maka dirinya dan Adriana akan kembali cek-cok saat sampai di rumah. Itu terlalu buruk keduanya. Menyadari tatapan permintaan persetujuan tersebut, Adriana mengangguk seolah menerima apa saja yang akan dijawab oleh Raihan.
"Saya dan istri belum ada niat, Pa. Saya pun masih busy. Takde waktu buat jagakan bayi. Saya pun paham Adriana takkan mampu tuk jagalan bayi." Pikiran Raihan hanya bisa menjawab dengan jawaban seadanya.
"Kamu terlalu banyak memikirkan persoalan, Raihan! Sebenarnya tak ada masalah. Jika pun kamu sibuk, kamu bisa sewa perawat. Ada kami juga yang siapa merawat bayi kalian jika Adriana tidak bisa."
Adriana mulai risih dengan pembicaraan orang tuanya. Oleh karena itu ia berinisiatif mengakhiri pembicaraan. Ini sudah berkali-kali orang tuanya mendesak mengenai bayi. Keinginan yang gak akan bisa dikabulkan oleh Adriana.
"Sudahlah, Ma, Pa. Jangan bahas soal bayi lagi. Jika memang takdir kami tidak memiliki anak. Tidak perlu dipaksakan. Memiliki anak tidak semudah membalikkan telapak tangan."
Banyak hal yang harus dilalui Raihan dan Adriana apabila mereka begitu menginginkan anak. Mereka harus melewati tahapan melepas ego masing-masing, dan mau jujur seperti apa perasaan mereka. Ngomong-ngomong, mereka bahkan belum tahu isi hati mereka.
"Memiliki anak tidak semudah membalikkan telapak tangan apabila pasangan itu tak mau berusaha mendapatkannya." Atikah menyunggingkan senyuman seorang ibu. Sebuah senyuman yang membuat Adriana tidak bisa menyela ucapan wanita itu.
"Aku dan Mas Raihan hanya akan mengikuti takdir kami."
Jika suatu hari perpisahan adalah keputusan terbaik maka Adriana akan mengikhlaskan kehilangan suaminya. Mereka memulai tanpa cinta, karena itu hubungan mereka seharusnya berakhir sebagaimana semuanya dimulai.
"Saya pamit balik dulu, Ma, Pa. Assalamu Alaikum."
"Wa alaikumussalam."
***
Pertengahan menuju rumah, Adriana memberitahu Raihan kalau ia merasa haus. Jadi, mereka mampir ke mini market di pinggir jalan. Bukannya langsung mengambil air minum, Adriana malah membeli camilan. Wanita itu sibuk mengambil banyak sekali ragam makanan ringan. Raihan hanya bisa dibuat geleng kepala akan tingkah istrinya.
Raihan langsung menuju lemari pendingin mini market. Dua teh botol diambil. Pria itu sudah mau melangkah ketika matanya menyaksikan seseorang yang tak asing baginya. Wanita masa lalunya, Raihan hendak menyapa, namun Adriana lebih dulu menarik tangannya menuju kasir.
"Kamu lihat apa sih?" tanya Adriana dengan nada jengkel.
Memang sejak di depan kasir, Raihan selalu menengok menuju arah gadis yang tadi ia lihat. Sepertinya penglihatannya tidak salah. Dia melihat orang yang tidak asing baginya.
"Takde, saya kira, saya lupa ambik minuman teh."
"Apaan sih, Mas. Yang di tangan kamu memangnya apa?"
Raihan melihat tangannya. Benar, dua botol teh ada di tangannya. Pria itu merutuki dirinya sendiri yang tidak pandai berbohong. Dia memberikan alasan konyol untuk menemui wanita yang samar-samar ia lihat.
"Oh ya. Sori, saya tak nak perhatikan. Yelah tak perlu lah awak pasang muka cuka macam tu. Awak mirip kunti pabila tunjukkan muka macam tu.'"
Raihan tertawa renyah. Bahagia sekali jika ia sehabis meledeki Adriana. Seakan-akan wajah cemberut wanita itu menyumbangkan banyak kesenangan untuknya.
"Kunti? Bukan aku yang mirip kunti tapi kamu, Mas. Kamu mirip kuntilaki yang menghuni pohon besar di depan rumah kita itu. Pohon berbulu panjang itu." Adriana membalas tak kalah kesal.
"Kunti laki-laki ada ke? Awak ni gurau je!"
"Memang ada! Namanya kuntilaki." Adriana semakin ketus membalas. Dia sangat semangat berbicara dengan nada kasar di hadapan suaminya.
"Takde. Saya tak pernah dengar kisah pasal kuntilaki tu. Memangnya, laki beranak ke?" Raihan semringah. Aneh membayangkan kuntilanak versi laki-laki. Adriana benar-benar konyol. Bisa-bisanya menyebut Raihan sebagai wujud kuntilanak laki-laki.
"Kau memang tak pernah dengar beritanya karena kamu bukan anak cerdas saat remaja!" Adriana sengaja menghina suaminya. Sementara Raihan sama sekali tak tersulut emosi. Sudah terbiasa ia diperlakukan seperti itu dengan Adriana.
Kasir selesai men-total belanjaan keduanya. Raihan membayar kemudian mereka bisa keluar mini market. Saat keluar dari tempat itu, mata Raihan menerawang sekeliling hanya untuk memastikan wanita lain yang belum sempat ia tanyakan.
"Di mana gadis itu? Aku merasa tidak salah lihat." Raihan membatin.
Adriana terlalu mendesaknya pulang sehingga Raihan tak ada waktu mengecek wanita yang ia lihat. Ada yang ingin ditanyakan Raihan. Akan tetapi sudah tak bisa ia tanyakan.