Bab 8: Perasaan iri

1029 Kata
*** Atikah dan Herman menunjukkan banyak cinta untuk menantu lelakinya, Raihan. Kehadiran menantunya sangat menyenangkan hati mereka. Keduanya selalu menunjukkan keperpihakan ke Raihan sampai Adriana merasa tidak senang. Walaupun merasa seperti itu, Adriana tidak mengatakan banyak kata. Hanya wajahnya yang menunjukkan semua itu. "Mama hanya ingin memberitahu kamu, Ana, Raihan. Meskipun kalian berdua menikah karena terpaksa. Namun, mama harap kalian bisa bahagia dan memberikan papa dan mama cucu." Atikah akhirnya mengungkapkan perasaannya. Itulah alasan mengapa dia orang itu diundang makan malam. Memang Raihan dan Adriana terpaksa menikah. Hanya demi mendapatkan harta warisan. Pihak keluarga tahu betul akan hal itu. Akan tetapi, di luar pengetahuan orang tua mereka, terdapat kontrak pernikahan yang mereka berdua sepakati. Di mana di dalamnya, tak akan pernah ada hubungan badan di antara mereka. "Dan juga, jangan kembangkan kebiasaan borosmu. Uang itu dicari, Ana. Raihan tidak akan menghambur-hamburkan uang hanya untuk cincin di jarimu itu." Herman ikut bersuara. Makan malam ini seakan-akan memojokkan Adriana. Dia yang tengah menyendok makanan ke dalam mulutnya saat itu juga berhenti. Dia meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. Mengelap bibirnya dengan tisu makan. Lalu, melirik Raihan dengan mata membulat seakan sedang bertanya kepada pria itu. "Saya tak cakap apapun! Why you looking me like that?" Raihan menjawab tatapan Adriana dengan perkataan tegas. "Sudahlah, Adriana. Mama dan papa tahu betul kamu seperti apa. Tanpa Ray ceria. Kami tahu betul bahwa baru saja membeli cincin baru 'kan?" desak Herman. Sebagai seorang ayah, pria itu menginginkan putrinya menjadi wanita yang lebih baik. Tidak banyak merepotkan suaminya. "Cincin ini ekslusif. Lagipula, Raihan juga tidak masalah apabila uangnya dibelanjakan untuk kebutuhan aku. Begitu 'kan, Mas Raihan?" Adriana menyenggol tangan suaminya. Dia memberikan kode agar Raihan mengiyakan pertanyaannya. Sayangnya, Raihan tidak mengindahkan keinginan istrinya. Pria itu malah memandang serius ke istrinya, kemudian menasihati. "Orang boros itu saudara dengan setan. Allah sudah cakap pasal tu dalam Al-Qur'an. Saya tak masalahkan uang untuk berlian tu. Tapi, saya hanya tak paham. Awak tu banyak perhiasaan. Almari kamar full dengan hiasan emas. Awak tak pakai semua benda tu. Mubazir lah kalau beli banyak-banyak . Namun tak pernah dipakai." Ucapan Raihan membuat Adriana merutuk dalam hati. Pria itu sungguh tidak bisa diajak kerja sama. Mata Adriana tak berhenti memandang tajam. "Aku akan pakai semua perhiasan itu. Tenang saja, Mas Raihan. Kau hanya terlalu berlebihan menanggapi masalah perhiasan. Wanita tahu kapan perhiasan tertentu digunakan. Setiap perhiasan memiliki tempatnya masing-masing." "Dan juga, Suami yang baik adalah suami yang tidak mengungkit apa yang sudah dibelanjakan istri menggunakan uangnya. Seharusnya kamu menjadi suami yang baik itu, Mas Raihan." Adriana sengaja menyindir. Kode keras itu sangat manjur. Lihat saja, wajah Raihan sampai tegang. Seperti sedang menahan malu ditegur di hadapan mertuanya. "Adriana! Kamu harus sopan sama suamimu! Mana perasaan hormatmu kepada suamimu?" tegur Atikah. Pembelaan ibunya membuat Adriana muak. Dia berhenti makan malam kendatipun makanan di atas piringnya masih banyak. "Apa sih, Ma. Aku hanya bicara apa adanya. Kalau mama dan papa hanya ingin menunjukkan keberpihakan ke Raihan. Lalu apa tujuan aku di sini?" "Udahlah. Lebih baik aku pergi." Adriana kesal. Dia meninggalkan ruang makan. Kursi yang ia gunakan didorong sampai menimbulkan bunyi yang keras. "Adriana!" bentak Atikah. Sikap kurang sopan putrinya membuat Atikah malu. Pasalnya, beliau sangat menghormati menantunya yang kebetulan berasal dari keluarga ternama di Kuala Lumpur. Kakek Raihan merupakan keluarga terhormat. Banyak keluarga kaya raya dari Indonesia yang menginginkan berbesan dengan keluarga Raihan. "Sudahlah, Ma. Jangan terlalu keras perlakukan dia. Maklum sahaja. Diorang masih muda. Tak nak paham kewajipan sebagai istri. Nanti saya nak pahamkan dia perkara ni. Semoga diorang mau dengar." "Maafkan sikap Adriana yang kekanakan ya, Ray. Dia begitu karena terlalu dimanjakan oleh kami. Akhirnya dia tidak bisa membedakan kehidupan pra nikah dan setelah menikah," kata Herman dengan mimik muram. "Takpe. Saya dah paham karakter Adriana tu. Oh ya, saya pamit sebentar. Nak bujuk Adriana. Nanti kalau dibiarkan, diorang pikir takde yang perdulikan dia." Atikah dan Herman memberikan kode yang menyilakan lelaki itu meninggalkan mereka. *** Raihan mencari keberadaan istrinya. Dia sempat mencari ke dalam kamar. Namun, tak ia temukan. Raihan menemukan wanita itu sedang duduk di taman. Dia tidak menangis tetapi wajahnya terlihat sedu. Matanya agak memerah. Jelas Adriana memaksakan diri bersikap tegar. "Kalau nak kabur pandai lah sikit," tegur Raihan. Adriana menengok dan mendapati suaminya melangkah mendekat ke arahnya. Melihat suaminya, ia langsung memutar bola matanya. "Ngapain kamu ke sini? Bukannya kamu senang kalau aku dipojokkan di hadapan orang tuaku sendiri? Sana masuk. Tak usah pedulikan aku." Adriana bicara tanpa melirik suaminya lagi. "Hei. Saya datang nak bagikan kepada awak minuman ni. Awak tinggalkan meja makan tanpa minum. Paling tidak jom minum dulu. Mulut awak tu bisa bau kalau tak minum." Adriana menoleh, dan menyadari suaminya sedang memegang segelas air mineral. Memang benar, Adriana belum sempat minum. Tenggorokannya terasa kering. Memang butuh cairan agar bagian itu terasa nyaman. Adriana meraih minuman itu lalu meneguknya. Raihan sampai tersenyum melihat tingkah istrinya yang seperti bocah. "Kamu pasti senang melihat orang tuaku menghujat aku habis-habisan. Kamu senang 'kan ketika mereka terus memuji kamu?" Adriana menatap langit. Gelas kaca di tangannya diteguk lagi, baru kemudian di letakkan di kursi tempatnya duduk. "Eiiy. Jangan suuzon lah. Saya tak pernah senang bila orang tua awak hujatkan awak. Saya cuma dengarkan apa yang mereka cakap. Bila baik, maka ambillah sisi baiknya, bila buruk, maka buanglah sisi buruknya. Nasihat orang tua tu penting." Raihan mencoba duduk di samping Adriana. Tidak ada respon berlebihan dari Adriana. Wanita itu sepertinya pasrah saat suaminya duduk di sana. "Saya pernah jumpa quotes macam ni.. 'Bila kedua orang tua sudah memilih-milih kata saat bicara dengan kita maka ketahuilah kita sedang derhaka kepada mereka', artinya sebagai anak kita nak buat keduanya bahagia. Jangan buat mereka marah. Because orang tua tu sumber kebahagiaan anak. Takde orang tua, kita pun takde." Seringnya, perkataan Raihan hanyalah lelucon di mata Adriana. Namun, hari ini lelaki itu menunjukkan sesuatu yang berbeda. Raihan selalu mengajarkan Adriana sesuatu yang baru. Nasihat dari suaminya amat berharga. Adriana sama sekali tidak mengingat betapa penting pengorbanan orang tua. "Mungkin kali ini kamu benar, Mas." Adriana mengakui. Raihan tersenyum, sampai Adriana iseng memukulnya. Adriana bilang kalau Raihan tidak bisa menggunakan kegalauan dirinya untuk mendekati gadis itu. Beruntungnya Raihan mengatakan hal yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN