Bab 12: Burger spesial

1044 Kata
*** Burger untuk makan siang Raihan sudah jadi. Dia memasukkan makanan itu ke dalam tempat bekal tanpa menutupnya. Setelah itu ia menyusun burger lainnya yang ia buat untuk Adriana. Meskipun terjadi drama tak mengenakkan antara mereka berdua pagi ini, Raihan merasa tetap bertanggung jawab untuk membuatkan wanita itu makanan. Raihan melihat dirinya di depan cermin dapur. Baju kokohnya kini dipenuhi tepung. Pria itu menggeleng saat membayangkan apa yang sudah ia lakukan dengan Adriana tadi. Mengapa ia bisa memeluk Adriana dari belakang? Tak sedikit pun niat pria itu mendekap istrinya. Dia berani bersumpah bahwa ia tidak pernah berniat melakukan itu. Apalagi dalam keadaan mereka bertengkar. "Ada apa dengan saya ni? Kenapa saya mendekap badan dia?" batin Raihan yang masih bingung dengan situasi yang ada. "Ah sudahlah. Mungkin ini sudah takdir Allah. Bila pun saya lari, kejadian tadi tetap terjadi." Raihan mendesah pelan. Dia melangkah memasuki kamar mereka, di mana Adriana ada di sana. Berada di dekat Adriana membuat lelaki itu merasa tegang. Apa yang harus ia katakan kepada wanita itu? Ketegangan Raihan seketika lenyap karena saat ia masuk, Adriana berada di balkon. Dia sedang melakukan selfie setelah selesai mandi. Raihan tersenyum melihatnya. "Baru pertama kali mandi pagi. Memang perlulah diabadikan macam tu," bisik Raihan. Ada kebahagiaan saat melihat Adriana dengan percaya diri mengambil gaya saat berfoto. Dia berlagak seperti Kendall Jenner, dan itu cukup menghibur Raihan. Setelah puas melihat Adriana, Raihan masuk ke kamar mandi. Dia membersihkan badannya. Pria itu teringat akan panggilan dari Ayuma tempo hari. Hari ini, dia akan menelepon calon sekretaris barunya yang direkomendasikan Ayuma itu. Raihan merasa perlahan-lahan lega. Tak lama lagi pekerjaannya yang membebani akan lebih mudah dengan hadirnya sekretaris baru. Semoga sekretaris barunya bisa bekerja lebih baik seperti Ayuma. *** "Saya dah buatkan burger untuk awak. Jangan lupa makan. Saya dah susah buatkan awak makanan tu." Raihan pandai memasak. Itulah sebabnya ia tahu cara menghargai sebuah makanan. Menolak sebuah makanan merupakan hinaan untuk makanan itu sendiri. "Aku kan enggak minta kamu buatin aku makanan. Plis deh jangan sok perhatian kayak gitu. Kita tahu hubungan kita seperti apa." Ya, mereka berdua tahu seperti apa hubungan mereka. Keduanya hanyalah partner untuk mendapatkan warisan keluarga masing-masing. Setelah mereka berhasil mendapatkan keinginan mereka. Status pernikahan mereka akan berakhir. Raihan tidak ingin membahas pernikahan mereka terus-menerus. Jadi ia memilih untuk tidak berkomentar mengenai hal itu. Dia lebih fokus pada apa yang sedang dilakukan istrinya. Raihan memperhatikan Adriana yang tengah bercermin melalui ponselnya. "Bila saya perhatikan, awak tu sebenarnya cantik." Raihan memujinya bukan untuk membuat Adriana jatuh hati. Pria itu hanya ingin bersahabat dengan wanita itu. Paling tidak mereka tidak selalu bertengkar seperti Tom dan Jerry. "Benar. Aku memang cantik. Jangan berharap aku memuji kamu balik. Asal kamu tahu ya, Mas Raihan. Wajah kamu itu mirip reptil. Wajah kamu mirip kadal." Adriana menegaskan setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Hahaha. Astagfirullah hal adzhim. Tak baik hina wajah orang lain. Saya dah beri awak emas, awak balas dengan besi berkarat. Tak adil lah tu." Raihan segera memasang dasinya. Adriana hanya memutar bola mata. Raihan pamit berangkat ketika istrinya masih fokus pada ponselnya. Adriana sama sekali tak memberikan perhatian lebih kepada suaminya yang akan berangkat kerja. *** Di kantor, jadwal Raihan sepadat biasanya. Dia tak punya pilihan selain meminta bagian rekrutmen menelepon calon sekretaris rekomendasi Ayuma. Menurut Ayuma, orang yang ia rekomendasikan sudah berpengalaman sehingga Raihan tidak perlu melakukan wawancara yang membuang-buang waktu. Lagipula, dialah pemilik perusahaan. Dia berhak menentukan apa yang akan diputuskan perusahaannya. "Bapak mau melihat profil calon sekretaris itu? Dia akan datang siang ini, Pak." Seorang pria berdasi dari bagian rekrutmen karyawan bertanya dengan sopan. "Tak perlu. Nanti saya baca berkas dia bila diorang sudah tiba. Jam berapa diorang datang?" tanya Raihan memastikan. Masih ada beberapa berkas yang harus ia baca sehingga ia memerlukan lebih banyak waktu daripada membaca berkas calon sekretarisnya. Dia pikir akan lebih baik kalau membaca berkas calon karyawannya saat yang bersangkutan sudah tiba di perusahaannya. "Jam dua siang, Pak." "Oke. Saya akan temui dia bila kerjaan saya ni dah selesai." Pegawai laki-laki yang tadi masuk mengangguk dan undur diri dari ruangan atasannya. Raihan kembali mengerjakan aktivitas kantornya. Benar-benar kesibukan yang nyata. Jika ada sekretaris, mungkin pekerjaannya akan lebih ringan. Jadwalnya akan kembali rapi seperti biasanya. Tiga jam berlalu. Ketika calon sekretarisnya sudah tiba, Raihan menyudahi aktivitasnya. Dia meminta staf rekrutmen membawa calon sekretarisnya menuju ruangannya. Sebelum bertemu, Ayuma menelepon dan memastikan wanita yang datang adalah rekomendasi darinya. "Ini calon sekretarisnya, Pak. Namanya Ariza Zulkarnain." "Ariza Zulkarnain?" Nama itu tidak asing. Ketika Raihan mendongak, ia mendapati wanita masa lalunya berdiri di hadapannya. Mulutnya terbuka lebar. Sang wanita juga tak kalah kagetnya. "Bapak sudah kenal dengan Ariza?" "Belum. Maksud saya, Ayuma bagitahu saya nama diorang. Silakan awak keluar." Staf rekrutmen keluar dari ruangan Raihan menyisakan Raihan dan Ariza. Raihan memijat pelipisnya. Entah apa yang harus ia putuskan sekarang. Wanita masa lalunya datang kembali. Tidak ada drama dalam kisah mereka. Keduanya berpisah baik-baik. Akan tetapi mantan pacar tetaplah mantan. Tentu ada perasaan canggung di antara keduanya. "Jom duduk, Riza. Saya akan jelaskan tentang kerjaan awak." Ariza duduk dengan perasaan bimbang. Wanita itu tidak tahu kalau Raihan masa lalunya merupakan bos di perusahaan tempatnya melamar pekerjaan. "Maaf, saya sikitpun tak tahu pabila Kak Raihan adalah bos di office ni. Saya takde niat ganggukan hubungan Kak Raihan dan istri." Ariza sadar diri. Dia datang sebagai karyawan baru. Melalui teman-temannya yang di Kuala Lumpur mengatakan kalau Raihan sudah menikah dengan anak pengusaha di Indonesia. "Takpe, Riza. Saya pun tak masalah awak kerja di tempat saya. Maksud saya, saya sikit senang bisa bertemu awak." Raihan berusaha mengatur napas. Dia berusaha mengusir ketegangan di antara mereka. Namun, tetap saja sulit untuk ia lakukan. Dia kaget bisa bertemu Ariza lagi. Dialah gadis yang ia lihat di mini market tempo hari. Raihan pikir itu hanya halusinasi, ternyata bukan. Ariza Zulkarnain memang pindah ke Indonesia. "Thanks, Kak Raihan. Eh, maaf saya mestinya panggil Pak Raihan. Maafkan ketidakprofesionalan saya, Pak." Raihan menggeleng. Ada senyum yang tercetak di bibirnya. Pria itu berkata, "Tak. Awak boleh panggil saya dengan 'Kak Raihan' sahaja. Jangan terlalu formal. Bila pun mau panggil 'Pak', mesti di depan karyawan lain. Kalau cuma berdua, panggil 'Kak' sahaja." Ariza mengangguk. Raihan mulai menyerahkan beberapa jadwal yang harus dicatat oleh Ariza. Keduanya tidak banyak membicarakan kehidupan pribadi walaupun sebenarnya Raihan ingin membicarakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN