NINETEEN

1641 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === “Orang suci, menjaga kesuciannya dengan pernikahan dan menjaga pernikahannya dengan kesucian.” (Ust. Salim A. Fillah dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta) “Dadah Om Dokter,” ucap seorang anak perempuan berusia enam tahun pada Fauzan yang ada di gendongan ayahnya. “Dadah, jangan lupa diminum ya obatnya.” “Makasih ya, Dok. Kami pamit pulang dulu,” ucap ayah sang anak. “Iya. Hati-hati, Pak, Bu.” Keluarga itu ke luar dari ruangan praktik di klinik Fauzan yang ada di rumah. Akhirnya praktik Fauzan di rumah hari ini selesai juga. Tadi adalah pasiennya yang terakhir. Hari ini cukup sibuk baginya karena asisten yang biasa membantunya praktik di rumah sakit dan tidak bisa masuk. Alhasil Fauzan dibantu oleh Fani mengurus pasien—pasiennya. Fauzan dan Fani merapikan klinik, menutup gorden dan terakhir mematikan lampu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Jadwal praktik Fauzan di rumah mulai dari jam empat sore hingga jam delapan sore. Pasien-pasien imutnya akan membludak jika sedang masuk musim pancaroba. Biasanya mereka akan mengeluh demam, batuk, pilek, radang tenggorokan dan penyakit khas anak kecil lainnya yang terjadi saat perubahan musim ditambah imunnya juga yang lemah. Kakak dan adik itu merebahkan diri di sofa ruang tengah karena mereka belum sempat istirahat sejak jam empat tadi. Mereka juga bahkan belum sempat makan malam. “Bang, capek ih,” keluh Fani. “Ya sama, apalagi abang.” “Bang, laper.” “Ya sana masak!” “Ih jahat deh. Pesenin aja. Males masak nih. Gih, delivery aja. Ayolah, upah gue bantuin abang gitu.” Fauzan segera membuka ponselnya dan memesan makanan. Setelah beberapa menit ia selesai dengan pesanannya dan menutup kembali ponselnya. Pasangan kakak beradik itu hanya tinggal berdua di rumah karena orang tuanya berada di luar negeri. Sang ibu masih setia menemani ayahnya bertugas sebagai konsulat jenderal di luar negeri. Fauzan masih merebahkan badannya di sofa sedangkan Fani duduk di lantai berselonjor kaki sambil bersender pada sofa yang ditempati Fauzan. “Bang, menurut abang, Nita gimana?” “Gimana apanya?” “Ya gimana, cocok gak jadi kakak ipar aku?” “Apaan sih Fan?” Fauzan sudah tahu ke mana arah pembicaraan adik perempuannya itu. Pasti ia ingin menjodohkan Nita dengannya. “Ah, jangan suka pura-pura gitu, Bang. Aku tahu abang suka sama Nita, kan? Hayo ngaku!” tebak Fani. “Sok tahu ah!” elak Fauzan. Ia jadi gelagapan sendiri ditembak seperti itu oleh Fani. “Ck ... ck ... Bang, Bang. Aku tuh kenal abang bukan kemarin sore ya, Bang. Aku tahu loh abang tuh naksir, suka sama Nita. Iya, kan? Kelihatan kok dari cara abang natap dia.” Fauzan menghela napas lelah. Ya, adiknya benar. Ia memang menyukai Nita. Dulu saat kecil, ia perasaannya pada Nita hanya sebatas suka-sukaan biasa yang terjadi pada remaja pubertas. Cinta monyet. Perasaan yang akan menghilang dengan sendirinya seiring terpisahnya mereka oleh jarak dan waktu. Namun ternyata Fauzan salah. Saat kembali bertemu Nita di mesjid usai kajian waktu itu, entah kenapa jantungnya berdebar saat menatapnya. Apalagi penampilan Nita yang berhijab membuat Fauzan semakin kagum dengan perempuan itu. Fani menoleh ka arah Fauzan yang berbaring. Ia mencubit lengan Fauzan yang berada di dekat kepalanya. “Aw! Sakit, Fan! Ngapain cubit-cubit segala sih!” ucap Fauzan sambil mengusap-usap lengannya. “Ya lagi diajakin ngomong malah diam aja. Bikin kesel aja!” “Abang lagi mikir makanya diam!” “Udah deh, abang kalo suka sama Nita mending buruan lamar aja deh. Nanti ketikung sama orang lain baru tahu.” “Yah, tapi gimana? Kamu tahu sendiri kan waktu kita makan siang bareng waktu itu dia bilang sendiri kalo belum mau nikah dalam waktu dekat ini. Kalo abangmu yang ganteng ini ditolak gimana coba?” “Iya juga ya.” Fani jadi teringat dengan percakapan mereka bertiga beberapa waktu lalu. Nita mengatakan memang belum ingin menikah dalam waktu dekat ini entah kenapa. “Ya mungkin aja nunggu dilamar sama abang kali. Mungkin dia masih mendam perasaan sama abang, ups!” Fani langsung menutup mulutnya yang keceplosan. “Hah? Apa?” Fauzan yang sedang berbaring rebahan sontak saja langsung terbangun karena terkejut dengan ucapan Fani. Apa? Nita memendam perasaan sama aku? “Maksud kamu apa, Fan?” Fani memukul-mukul mulutnya yang sudah keceplosan bicara tentang perasaan terpendam Nita pada Fauzan. Ia merutuki dirinya sendiri yang dengan mudahnya keceplosan bicara. Jika sudah begini, Fani tak bisa mengelak lagi. Duh, maafin gue, Nit, batin Fani. Ting ... tong ... “Eh, tuh makanannya udah datang. Biar Fani aja yang buka ya, Bang.” Fani langsung beranjak dan setengah berlari menuju pintu. Ia bersyukur kedatangan food delivery telah menyelamatkan nasibnya untuk sementara waktu ini. Entah bagaimana nasib Fani jika mereka sudah selesai menyantap makanannya. Fauzan pasti akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan tentang Nita. === Nita sudah kembali ke panti asuhan. Keadaannya sudah semakin membaik meski memang agak sedikit lemas, tapi Nita sudah merasa lebih bugar dari sebelumnya. Kini, ia harus ekstra hati-hati menjaga diri dan kandungannya. Nita membuka jendela kamarnya dan menghirup udara pagi yang masih terasa segar. Beberapa anak panti sudah hilir mudik antara kamar dan kamar mandi. Biasanya, Nita akan ikut membantu untuk menyiapkan sarapan, tapi Bu Dina dan Rena melarangnya. Nita harus banyak istirahat. Akhirnya Nita putuskan untuk mengganti baju tidurnya dengan gamis rumahan dan jilbab. Mulai sekarang, ia membiasakan menutup auratnya dengan disiplin, tidak hanya di luar panti atau jika sedang bepergian saja karena di panti ini juga ada anak lelaki remaja yang statusnya bukan mahram Nita. Jadi, Nita harus tetap menutup auratnya. Usia menata penampilannya di cermin, Nita menatap beberapa buku di mejanya. Buku yang dipinjamkan oleh Renata. Kebanyakan bertema Islami. Nita putuskan untuk mengambil Al Quran saja yang ada di samping tumpukan buku itu lalu ia duduk di tempat tidur untuk membacanya. Ah, sudah berapa lama ia tak menyentuh kalam Allah itu? Perlahan Nita membuka lembar demi lembar Al Quran yang digenggamnya. Ia membaca ta’awuz dan surat Al Fatihah lalu lanjut membaca lima ayat pertama pada surat Al Baqarah. Lalu Nita langsung membaca terjemahan yang tertera di samping ayat. “(1) Alif Lam Mim. Kitab (2) Al Quran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (3) Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat dan menginfakan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka. (4) dan mereka yang beriman kepada (Al Quran) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin adanya akhirat. (5) Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Air mata Nita menetes membaca terjemahan ayat yang baru saja dilantunkannya. Allah langsung meyakinkan hamba-hamba-Nya pada awal ayat, “Al Quran ini tidak ada keraguan padanya ...” yang berarti semua hal yang tertera dalam kitab ini adalah kebenaran, bukan kebohongan apalagi mengada-ada karena Al Quran adalah firman-firman Allah, Sang Pencipta alam semesta dan isinya, bukan perkataan atau kitab yang dibuat oleh Nabi sekali pun. Bagaimana Nabi Muhammad SAW yang buta huruf bisa membuat sebuah kitab? Bahkan ketika diperintahkan oleh Malaikat Jibril membaca pun Nabi SAW tidak bisa. Hati Nita semakin tersentuh ketika kembali membaca terjemahan ayat kelima, “Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Bolehkah ia berharap menjadi hamba Allah yang beruntung itu? Nita merasa kini ia telah mendapat petunjuk dari Allah untuk kembali ke jalan-Nya setelah sekian lama tersesat dan larut dalam kehidupan dan kesenangan dunia yang fana. Ya, Nita berharap dalam hati ia menjadi salah satu hamba Allah yang beruntung karena telah menjawab hidayah-Nya. === Fauzan berbaring di atas tempat tidurnya sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia teringat dengan percakapan dengan Fani soal Nita dua malam sebelumnya. “Sekarang kamu jelasin sama Abang maksud dari omongan kamu tadi, Fan.” Fani berusaha susah payah menelan makanan terakhir yang ada di mulutnya. Setelah berhasil tertelan ia mengambil gelas berisi air putih lalu meneguknya perlahan. Setelah memastikan makanannya benar-benar sampai ke lambung dengan selamat, barulah ia berani membuka mulut. Ya Allah, maafin gue ya Nit, kepaksa ini, keceplosan. Duh, dasar emang gue punya mulut gak bisa di rem, rutuk Fani dalam hati. “Ya gitu, Bang.” “Gitu gimana?” tanya Fauzan sambil bersedekap. “Ya, jadi si Nita itu dulu suka sama abang. Dari pas kita SMP, Cuma abang kan cuek gitu ya, jadi dia diam-diam aja. Ya rasa suka remaja kalo lagi puber gitu lah, Bang. Ngerti, kan?” Fauzan diam mendengarkan sambil menatap piring kosong di depannya. “Kenapa Abang kepo? Abang juga diam-diam suka sama Nita dari dulu, iya?” tebak Fani. Fauzan masih diam. Fani bisa membaca gelagat abangnya itu. Jika Fauzan diam, berarti tebakannya benar. “Abang kenapa gak bilang kalo suka sama Nita dari dulu? Kalian kan bisa jadian gitu.” “Ah, ngaco kamu! Mana mungkin abang pacaran. Pacaran itu gak ada dalam Islam, Fan. Lagian dulu abang itu ketua rohis di sekolah. Ya masa ketua rohis nyontohin yang gak baik kayak pacaran, ya nggak mungkin lah.” “Eh, iya deng, maaf lupa, Bang. Abang juga emang gak pernah pacaran dari dulu sampai sekarang. Terus abang maunya gimana? Abang masih ada rasa sama Nita?” “Abang juga bingung, Fan.” Fauzan pun menceritakan semua perasaannya pada Fani. Terjadilah curhat antara dua kakak beradik itu. “Ya udah, Fani bantuin pedekate ya, Bang. Lagian Nita kayaknya udah hijrah deh. Yah, cocoklah buat lelaki tipe-tipe ikhwan kayak Bang Papau ini. Lagian mama sama papa tuh udah nanyain mulu tiap nelepon aku, kapan Bang Pau nikah? Udah ada calonnya belum? Dan bla ... bla ... bla. Emang abang gak pusing diteror terus sama mama. Abang gak mau cepet nikah punya istri dan punya anak gitu?” Jawabannya adalah mau. Tentu saja Fauzan ingin segera menikah, mempunyai istri dan juga anak-anak yang lucu. Usianya yang sudah menginjak kepala tiga ini, ia sangat ingin membangun rumah tangga dan membina berkeluarga. Fauzan juga ingin menyegerakan untuk melaksanakan sunnah Rasulullah SAW dan menyempurnakan setengah agamanya dengan menikah. Ia ingin menjaga kesucian dirinya dengan ibadah bernama pernikahan dan nanti setelah menikah ia akan berusaha sekuat tenaga menjaga pernikahannya dengan kesucian seperti pernikahan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Tapi, sampai sekarang ia belum menemukan perempuan yang dirasa cocok dengannya. Atau, karena masih ada perasaan untuk Nita di hatinya sehingga ia sulit menerima perempuan lain? Ah, tidak! Bukan, bukan itu alasannya. Fauzan menggelengkan kepalanya. Meski otak Fauzan menampik, hati dan perasaannya tidak berbohong. Ada perasaan lain yang membuncah ketika ia pertama kali bertemu kembali dengan Nita setelah sekian lama. Perasaan yang menimbulkan gelenyar aneh di d**a Fauzan. Apakah itu yang namanya cinta? Apakah Fauzan harus meminta bantuan Fani untuk mendekati Nita? Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Apakah Nita perempuan yang Engkau kirimkan untuk jadi pendamping hamba?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN