Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
Revan mendekati Nita. Ia memegang kedua bahu Nita dan menatapnya. “Nita, dengerin kata aku. Lebih baik kamu gugurin kandungan kamu.”
“Apa?”
Tangan Nita sudah kembali terangkat hendak menampar Revan, tapi Revan langsung dengan sigap menahan tangan Nita yang akan kembali menamparnya. Nita meringis dan memberontak.
“Apa?! Mau tampar gue lagi? Iya?!” tanya Revan sambil mencengkram tangan Nita.
“Iya! Lo emang pantes dapatin itu! Cowok pengecut!” bentak Nita sambil berusaha melepaskan cekalan Revan pada tangannya.
Revan menatap Nita tajam. Rahangnya mengeras menahan amarah. Usahanya untuk mendapatkan Lisa kembali belum membuahkan hasil. Sekarang datang masalah baru, Nita yang mengaku sedang mengandung anaknya. Bagaimana bisa Revan mendapatkan Lisa kembali jika ia harus menikahi Nita? Itu tidak mungkin. Revan tidak mungkin meninggalkan rencanaya merebut Lisa yang sudah berjalan setengah ini. Kepala Revan rasanya mau pecah dengan semua kenyataan yang ia hadapi. Revan menganggap Nita telah mengacaukan segala rencananya. Revan melepaskan cekalan tangannya pada Nita.
“Lebih baik kita ngomongin ini semua gak pake emosi, Nit. Pasti ada jalan ke luar yang baik buat kita berdua.” Revan mencoba mengendalikan emosinya sebagai seorang lelaki karena ia menghadapi seorang perempuan. Jadi, Revan memutuskan untuk bernegosiasi dengan Nita agar mereka memperoleh win-win solution.
Nita yang mengelus pergelangan tangannya yang memerah langsung menoleh. “Jalan ke luar yang baik buat kita berdua?” Nita menghela napasnya menghadapi kebodohan lelaki di depannya ini. Nita sempat menyesal dan merutuki kenapa dirinya bisa jatuh cinta pada lelaki seperti Revan.
“Gak ada jalan ke luar terbaik bagi kita berdua selain nikah, Van. Kita harus nikah. Gak ada jalan lain!”
Revan masih terdiam.
“Jangan pikir aku mau gugurin anak ini, Van! Gak! Gak akan pernah! Aku gak mau nambah dosa dengan ngebunuh anak gak berdosa ini, Van! Aku gak setega dan segila itu.”
Revan melangkah menjauhi Nita sambil berkacak pinggang. Keterkejutannya mengetahui kehamilan Nita membuat otaknya mendadak buntu dan beku untuk berpikir. “Kamu mau karir kamu hancur gara-gara menikah sama aku? Kamu gak kasihan sama karir di kantor yang sudah susah payah kamu bangun bertahun-tahun?”
Nita melongo mendengarkan perkataan Revan padanya.
Hei, bukankah seharusnya Nita yang berkata seperti itu pada Revan? Kenapa jadi terbalik? Harusnya kan Nita yang berkata ,”Kamu tega lihat aku hancur, Van? Kamu tega lihat aku hamil tanpa suami dan besarin anak ini sendiri? Apa kata orang nanti?”
Pertanyaan itu harusnya mampir di kepala Nita sebelum berhubungan jauh dan melewati batas dengan Revan. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Nita tak bisa memutar waktu dan kembali ke awal.
Nita masih terdiam menunggu reaksi Revan selanjutnya. Tak lama, lelaki itu berbalik kembali ke arahnya lalu bicara sambil memegang kedua bahunya.
“Nita, listen to me. Kamu tahu kan hubungan kita selama ini seperti apa? Aku, aku gak pernah cinta sama kamu dan aku hanya menganggap kamu sebagai pelarian semata dari Lisa.”
Tak bisa dibanyangkan betapa remuk dan hancurnya hati Nita saat ini. Revan benar—benar lelaki yang berperangai buruk, tak punya perasaan berkata seperti itu di depan Nita. d**a Nita terasa sesak dan nyeri. Air matanya jatuh meluruh begitu saja dari pelupuk matanya.
Revan memang tak pernah mencintainya.
Nita hanya dijadikan pelarian.
Kata-kata itu sudah cukup melukai harga diri Nita bahkan membuat Nita hancur, sehancur-hancurnya sebagai seorang perempuan.
“Aku gak mungkin menikahi kamu karena aku gak cinta sama kamu, Nita. Kamu tahu sendiri kan aku cintanya sama siapa. Aku gak mungkin menikah dengan orang yang gak aku cintai, tolong Nita, ngertiin aku. Waktu di awal kita jalin hubungan, kamu seharusnya sudah sadar posisi kamu seperti apa,” ucap Revan tak berperasaan.
Nita memutuskan untuk mengesampingkan perasaannya. “Van, aku gak peduli kalau kamu gak cinta sama aku. Tapi, tolong nikahi aku demi status anak ini aja, Van. Aku betul-betul gak peduli kalau dalam pernikahan kita gak ada cinta. Yang jadi perhatianku sekarang Cuma anak ini,” ucap Nita sambil memegang perutnya.
“Aku gak mau anak ini lahir tanpa ayah dan ibu yang lengkap. Please, Van?” ucap Nita dengan nada memohon.
Nita sudah tak peduli dengan dirinya sendiri. Ia sudah hancur dan tak punya harga diri lagi. Biarlah ia merendahkan dirinya di hadapan Revan agar lelaki itu mau menikahinya dan anaknya punya status yang jelas.
Revan menggelengkan kepalanya mantap. Revan bersikeras tak mau menikahi Nita bahkan demi anak yang ada di kandungannya.
“Maaf, aku gak bisa, Nita.”
Nita hanya tersenyum samar mendengar penolakan Revan padanya. Hancur sudah seluruh hidupnya. Hamil tanpa suami dan di luar nikah.
Nita mengusap wajahnya kasar agar air matanya tak terlalu ketara. “Mungkin kamu masih shock dengan kabar kehamilanku, Van. Aku akan kasih kamu kesempatan untuk berpikir, Van. Berpikirlah baik-baik, jangan sampai kamu menyesal dengan keputusanmu yang menolak menikahiku demi anak ini. Aku jamin, anak ini ... “ Nita menjeda ucapannya sejenak lalu mengambil telapak tangan Revan dan meletakkan di atas permukaan perutnya yang tertutup baju, “ ... anak ini anak kamu, Van. Aku berani jamin itu. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena nantinya anak ini gak mengenal kamu sebagai ayahnya. Sekali lagi, aku akan kasih kamu waktu berpikir.”
Usai menyelesaikan kalimatnya, Nita berbalik meninggalkan Revan yang masih mematung. Air mata Nita kembali menetes. Jauh di lubuk hatinya, ia berharap Revan akan berubah pikiran nnati dan mau menikahinya. Biarlah, katakanlah ia perempuan yang bodoh dan tak tahu malu, tapi Nita lakukan semua itu semata-mata demi anak yang dikandungnya.
Saat mencapai pintu, Nita bukan main terkejut karena mendapati sosok Lisa.
“Li ... Lisa?” ucap Nita sedikit gugup.
Lisa sedikit terperangah melihat kondisi Nita. “Kamu, nangis? Kenapa?” tanya Lisa penasaran. Meski dulu sempat merasa kesal dan marah, tapi Lisa tak menyimpan dendam pada Nita. Lisa justru merasa kasihan melihat kondisi Nita saat ini.
“Ah, nggak apa-apa. Aku permisi dulu.” Nita berjalan cepat sambil menghapus air matanya. Ia menuju mobil sedannya yang terparkir di depan vila Revan. Setelah masuk ke dalam mobilnya, Nita dengan cepat melaju meninggalkan vila milik Revan.
===
Nita menangis di tempat tidrunya sambil memeluk kedua lututnya. Ia kini berada di apartemennya sendiri. Jujur, ia bingung memikirkan nasibnya. Nasibnya dan anak dalam kandungannya.
Bagaimana jika Revan benar-benar menolak menikahinya?
Sanggupkah ia menjalani kehamilannya seorang diri tanpa pendamping?
Lalu, bagaimana kata orang nanti? Ia belum menikah tapi sudah hamil?
Bagaimana dengan karirnya di kantor?
Sanggupkah ia menjadi single parent jika Revan menolak menikahinya?
Lalu, apa yang akan dikatakan pada anaknya nanti jika sudah besar? Mana ayahnya?
Pertanyan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya membuat kepala Nita serasa ingin pecah. Nita semakin tenggelam dalam tangisnya. Wajah Nita sudah tak karuan karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Ia menangis tak kenal waktu. Ia menangis hingga lelah dan akhirnya tertidur.
Beberapa jam kemudian, Nita terbangun. Kepalanya sangat berat dan terasa pusing akibat terlalu banyak menangis. Meski begitu, Nita memaksakan diri untuk bangun karena ia ingat belum mengisi perutnya dengan apa pun sejak siang, sedangkan sekarang hari sudah mulai sore bahkan menjelang malam.
Sebelum menuju dapur, ia terlebih dahulu berjalan menuju kamar mandi. Ia melihat wajahnya yang sembab dan matanya yang bengkak di cermin kamar mandi. Rambutnya yang juga kusut tak tertata. Ia tersenyum miris melihat penampilannya yang buruk. Pandangannya terarah pada perutnya. Hal itu tak ayal membuat tangannya bergerak mengelus perutnya.
“Kamu harus kuat, Nak. Mama yakin kamu anak yang kuat, ya, kan? Kamu dan mama pasti bisa lewatin ini semua.” Usai mengucapkan hal itu, Nita memaksakan bibirnya untuk menyunggingkan senyuman. Senyuman penyemangat untuk dirinya sendiri. Ya, sekarang ia tak punya siapa pun untuk berbagi. Jadi, Nita harus menghibur dan menguatkan dirinya sendiri.
Nita membasuh wajahnya yang sembab lalu mengikat rambutnya ekor kuda agar terlihat lebih rapi. Setelah memastikan penampilannya baik, Nisa berjalan dari kamar menuju dapur. Ia membuat segelas s**u ibu hamil rasa cokelat dan juga roti panggang keju. Saat ini tubuhnya malas untuk memasak masakan yang berat. Jadi, ia hanya membuat menu yang simpel saja, roti dan s**u. Nita beruntung ia tak mengalami mual yang berat yang sering dialami ibu hamil pada umumnya.
Ia duduk di meja makan dengan sepiring roti dan s**u yang tinggal setengah gelas. Saat akan memakan kembali rotinya, terdengar suara bel apartemennya berbunyi. Nita kembali meletakkan roti panggangnya di piring lalu bergegas untuk membukakan pintu.
“Assalamu’alaikum, Nita.”
Nita terkejut bukan main mendapati tamunya.
“Ibu!”