TWENTY ONE

1954 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) === “Revan.” Revan memperkenalkan dirinya pada Fauzan sambil mengulurkan tangan. “Fauzan.” Fauzan menyambut uluran tangan Revan. Dua lelaki itu saling berhadapan dan saling bertatapan. Revan mengeratkan cengkaramannya di telapak tangan Fauzan. Ia merasa Fauzan adalah saingan terberatnya dalam mendapatkan Nita. Fauzan merasa aneh dengan lelaki bernama Revan yang sedang menjabat tangannya saat ini. Entah kenapa, Fauzan merasa lelaki ini menatapnya dengan tatapan kebencian dan juga aura permusuhan. Sungguh, Fauzan tidak mengerti. Mereka berdua baru saja bertemu dan kenal hari ini, tapi kena sikap Revan sudah tidak mengenakkan baginya. Nita pun dibuat bingung dengan kehadiran Revan dan Fauzan. Nita bingung apa yang harus ia lakukan. Akhirnya ia meminta Revan untuk menunggu di ruang tengah sementara ia menemani Fani dan Fauzan di ruang tamu depan. “Van, lebih baik tunggu dulu di ruang tengah. Saya masih ada tamu.” Karena tak ingin memancing keributan dan akhirnya membuat Nita ilfeel padanya, Revan menurut untuk menunggu di ruang tengah. Saat melangkahkan kakinya di ruang tengah, ia melihat beberapa anak panti sedang menempati meja besar dengan peralatan rajut. Revan pun menyapa mereka. “Hai, kalian lagi ngapain?” “Lagi berenang, Kak,” jawab salah seorang anak perempuan dengan niat bercanda. Wajah sumringah Revan langsung berubah masam mendengar jawaban anak tersebut. Ternyata niat baiknya belum disambut dengan baik. “Jangan diambil hati, Kak. Santi memang begitu, suka bercanda,” ucap anak perempuan lain yang lebih ramah yang bernama Fatimah. Santi pun tergelak melihat wajah Revan yang masam. “Yah, kakak gimana sih, udah tahu nih kita lagi ngerajut, pakai ditanya segala lagi, kan bikin emosi.” “Ya, gak usah ngegas juga jawab berenangnya,” ucap Revan sedikit kesal. “Kakak temannya Mbak Nita juga, ya? Kayak yang di depan itu?” tanya Fatimah dengan ramah. “Eh, oh itu, iya. Kakak temannya Mbak Nita juga.” “Iya. Kata Mbak Nita mereka itu temannya waktu SMP,” jawab Fatimah. Revan hanya menganggukkan kepalanya sambil ber”o”ria. Jadi, mereka itu teman sekolahnya Nita dulu, batin Revan. “Sebentar Fat buatin minum dulu ya buat kakak.” “Eh, gak usah. Gak perlu repot. Kalian lanjutin aja ngerajutnya lagi.” Fatimah yang hendak pergi ke dapur pun kembali duduk dan berkutat dengan rajutannya lagi. Revan mengamati Santi, Fatimah dan satu anak perempuan lainnya lagi. Ketiganya merajut dengan serius. Revan juga mengamati bahan-bahan rajut yang tercecer di meja besar. Lalu pandangannya tertuju pada sepasang kaos kaki rajut dan topi rajut warna biru muda yang keduanya berukuran mungil yang ada di dekat Fatimah. Tangan Revan terulur begitu saja untuk mengambilnya. Saat menatap dua benda mungil itu, tak sadar bibir Revan menyunggingkan senyum. Santi yang melihat kelakuan Revan menggelengkan kepala. “Tuh kan, sekarang senyum-senyum sendiri. Kakak ini sehat?” tanya Santi. Fatimah hanya tersenyum melihat Santi yang terus mengejek Revan sedangkan Revan kembali memasang wajah masamnya karena diledek oleh Santi. “Kaos kaki sama topi rajutnya bagus, lucu. Ini kalian yang buat?” tanya Revan sambil menunjukkan bendanya. “Bukan, Kak. Itu punyanya Mbak Nita. Mbak Nita bikin itu buat dedek bayinya katanya,” jelas Fatimah. Beberapa anak panti yang sudah besar dan paham seperti mereka memang sudah mengetahui tentang kehamilan Nita. Apalagi saat kemarin Nita mengalami pendarahan dan dirawat di rumah sakit. Dada Revan seketika menghangat mendengar penjelasan Fatimah. Ia membayangkan anaknya nanti menggunakan topi dan kaos kaki mungil hasil rajutan ibunya sendiri. Eh, tunggu dulu! Apa tadi katanya? Anaknya? Apa itu berarti gue udah mengakui kalau anak yang dikandung Nita itu anak gue? Yaelah, Van. Masih mau ngelak aja? Batinnya mengejek. Saat sedang menyelami perasaannya, tiba-tiba saja kaos kaki dan topi yang sedang berada di genggaman Revan dirampas paksa oleh Nita. Revan pun terkejut menatap Nita yang sudah ada di sampingnya. “Ayo, ikut saya, Tuan Revan yang terhormat,” ucap Nita lalu bergegas pergi menuju ruangan Bu Dina yang terletak di samping ruang tamu depan. Tak mungkin mereka bicara di dekat anak-anak panti seperti Santi dan Fatimah. Revan mengekori langkah Nita menuju ruangan Bu Dina. Nita membuka pintu ruangan ibunya lebar dan ia duduk di balik meja kerja ibunya. “Lelaki tadi siapa? Teman kamu?” tanya Revan basa basi. Nita mendengus mendengar pertanyaan Revan. “Langsung saja, apa tujuan Anda datang ke sini?” tanya Nita ketus. Nita bertanya tanpa memandang wajah Revan. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela ruangan yang terbuka. Revan mengabaikan pertanyaannya yang tak dijawab dan juga sikap ketus Nita. “Gimana keadaan kamu sekarang? Sudah lebih baik sejak ke luar dari rumah sakit?” “Apa peduli Anda?” “Nita, aku ingin kamu mempertimbangkan kembali lamaran dari kedua orang tuaku.” Nita memicingkan matanya menatap Revan lalu kembali menatap ke arah lain. “Untuk apa? Anda kan tidak mau mengakui anak ini, bertanggung jawab dan menikahi saya. Lalu untuk apa saya mempertimbangkan lamaran kedua orang tua Anda?” Nita bersikap ketus dan tegas. Ia tak mau lagi terlihat lemah dan menyedihkan di hadapan Revan. Tidak, setelah apa yang telah dilakukan oleh lelaki itu padanya. Revan menghela napasnya. Nita yang sekarang berada di depannya sangat berbeda dari Nita yang dulu. Mungkin sikapnya dulu, penolakannya dulu telah merubah Nita menjadi seperti ini. Ya, Nita berubah karena ulahmu, Van. Perempuan yang disakiti akan menjadi lebih kuat dan tegar. Ada dinding kokoh yang dibangunnya agar ia tidak tersakiti lagi oleh orang yang sama dan oleh penyebab yang sama. Mulai sekarang ia harus mengeluarkan usaha yang ekstra untuk membujuk Nita seperti kata Faraz kemarin. “Oke, aku ngaku salah dulu. Aku minta maaf.” Nita tersenyum sinis. “Oh, jadi sudah mengaku salah ya?” sindirnya. “Aku minta maaf karena dulu di vila sudah menolak untuk bertanggungjawab dan juga menolak untuk mengakui anak yang kamu kandung. Sekali lagi, aku minta maaf.” “Oke, Anda saya maafkan.” Wajah Revan yang tadinya mendung berubah menjadi cerah.  “Jadi, kamu mau maafin aku dan nikah sama aku?” “Saya rasa pendengaran Anda masih normal. Saya tadi bilang sudah memaafkan Anda, tapi saya tidak mau menikah dengan Anda, Tuan. Kalau keperluan Anda ke sini sudah beres, Anda bisa meninggalkan panti ini.” Nita bangkit dari kursinya dan melangkah melewati Revan. Belum sempat Nita mencapai pintu, lengannya sudah terlebih dahulu dicekal oleh Revan. “Aw, apa sih? Lepas!” ucap Nita sambil meronta. “Nit, dengar ya. Terserah kamu mau ketus atau marah sama aku sekalipun aku gak peduli. Tapi, tolong pikirin masa depan anak kita, anak yang kamu kandung sekarang. Apa kamu mau mereka bernasib sama kayak adik—adik kamu di panti? Hm? Kamu gak kasihan sama dia nanti? Please, jangan jadi calon ibu yang egois!” ucap Revan tegas. Nita menatap Revan dengan penuh amarah. Ia sungguh tak terima jika ia dikatakan sebagai ibu yang egois untuk anaknya sendiri. Jika dirinya egois, lalu bagaimana dengan dia yang dulu menolak mengakui anak dalam kandungannya ini? “Hah? Apa? Egois? Anda gak ngaca? Lalu bagaimana dengan Anda yang dulu menolak untuk mengakui anak ini?” sindir Nita tajam. Revan merutuki dirinya sendiri yang sudah salah bicara sehingga memancing emosi Nita. “Ck, aku sudah minta maaf tadi, kenapa masih diungkit.” Revan belum melepas cekalan tangannya di lengan Nita. “Tolong lepaskan tangan Anda!” Nita masih berusaha melepaskan diri dari Revan. Revan pun mengalah. Ia sadar, Nita baru saja pulih, Ia tak mau membuat  emosi Nita kacau dan akan memperburuk kondisinya. “Oke, aku lepas. Tapi please, tolong, Nit. Pikirkan lagi tentang lamaran dari kedua orang tuaku. Kalau kamu benci aku, fine, aku terima. Tapi tolong jangan hancurkan masa depan anak kita nanti. Kita tahu, kita memang salah. Anggap saja pernikahan ini sebagai hukuman untuk kita.” Apa? Pernikahan sebagai hukuman? Adakah lelucon yang lebih buruk dari ucapan Revan tadi? Pernikahan adalah janji, ikrar suci antara manusia dengan Allah SWT. Mitsaqan ghaliza, perjanjian yang agung, setara dengan perjanjian Allah dengan para nabi dan rasul. Pantaskah perjanjian suci antara manusia dengan Sang Pencipta ia sebut sebagai hukuman? “Apa?” Nita tertawa sinis. “Pernikahan sebagai hukuman? Kamu mau mempermainkan pernikahan begitu, iya?” Nita sungguh tak habis pikir dengan cara berpikir lelaki di depannya ini. “Bukan, bukan begitu maksudku, Nita.” Revan gelagapan karena telah salah bicara lagi di depan Nita. “Maksudku, mungkin aku dan kamu memang tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi, karena adanya dia, anak yang kamu kandung, mengharuskan kita terikat dalam pernikahan. Mau tidak mau, suka tidak suka. Demi dia. Anggap saja, ini sebagai penebus dosa, bukan hukuman, atas kesalahan kita berdua di masa lalu.” Nita bersedekap memikirkan ucapan Revan. “Tolong Nit, pikirkan lagi ucapanku. Aku akan kasih waktu kamu beberapa hari untuk berpikir. Nanti aku akan datang lagi ke sini. Assalamu’alaikum.” Revan langsung pamit undur diri tanpa menunggu jawaban salam dari Nita. “Wa’alaikumussalam.” Nita menjawab salam Revan saat lelaki itu sudah jauh dan dengan suara yang lirih juga. === Malam harinya, Nita bangun pada sepertiga malam yang terakhir untuk bersimpuh di hadapan Sang Pencipta. Nita mengambil wudhu lalu memakai mukenanya. Setelah shalat tahajud, ia kembali mendirikan shalat istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah mengenai lamaran Revan. “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon keputusan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu dan aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu Yang Maha Agung. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Menguasai takdir dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu sedangkan aku tidak tahu dan Engkaulah yang Maha Mengetahui segala perkara yang gaib.” “Ya Allah, hamba bingung dengan lamaran kedua orang tua Revan. Apakah hamba harus menerimanya dan menikah dengan Revan hanya demi anak yang hamba kandung? Hamba takut ya Allah. Sementara hamba sudah belajar bahwa niat menikah yang baik adalah menikah karena-Mu, untuk menggapai ridha, cinta dan surga-Mu. Hamba takut niat hamba untuk menikah salah ya Allah. Beri hamba petunjuk-Mu ya Rabb, yang Maha Memberi Petunjuk. Aamiin.” Nita berdoa meminta petunjuk Allah agar ia tidak salah dalam mengambil keputusan dan melangkah. Meski keadaannya yang seperti ini, ia ingin jika memang harus menikah, ia menikah karena Allah, bukan hal lainnya. Apakah keinginanya itu terlalu berlebihan? Nita sudah mengikuti kajian dan beberapa buku tentang pernikahan yang dipinjamnya dari Rena dan ia sudah sedikit demi sedikit paham bagaimana Islam memandang pernikahan. Semua berawal dari niat. Seseorang yang ingin menikah harus meluruskan niatnya terlebih dahulu. Untuk apa ia menikah? Apa hanya karena gengsi menyandang status jomblo? Iri melihat teman-teman yang sudah menikah? Menikah karena desakan orang tua? Atau menikah untuk beribadah dan meraih ridha Allah serta menggenapkan separuh agama? Untuk itulah, Nita ingin meluruskan niatnya  terlebih dahulu, ia tak ingin menikah hanya demi status anak yang dikandungnya semata. “Ya Allah, bantu hamba untuk meluruskan niat hamba untuk menikah,” doanya dalam hati. === Suasana panti asuhan Bu Dina hari ini sangat ramai. Terlihat banner rumah sakit tempat Fauzan bekerja terpampang di depan panti. Ada beberapa dokter dengan snellinya hilir mudik, beberapa meja berisi peralatan kesehatan dan juga warga sekitar yang kurang mampu yang antri di tempat duduk yang telah di sediakan. Nita dan Bu Dina serta beberapa anak panti lainnya hanya bisa menyaksikan dengan senyum. Mereka senang tempatnya bisa dijadikan untuk program charity rumah sakit tempat Fauzan bekerja. Beberapa anak panti juga ada yang ikut memeriksakan dirinya. Anak-anak panti yang sehat lebih banyak memeriksakan giginya ke bagian meja yang menjadi “poli gigi”. Selain itu mereka juga mengecek tensi, berat dan tinggi badan. Acara yang berlangsung dari pukul delapan pagi hingga jam dua siang itu berlangsung lancar dan tanpa kendala yang berarti. Para dokter dan pasien merasa senang. Warga sekitar panti yang kurang mampu pun merasa sangat terbantu dengan adanya kegiatan charity itu. Saat acara sudah usai, semua perlengkapan dan alat kesehatan, meja dan banner pun dirapikan. Teman-teman Fauzan yang sesama dokter dengan beberapa petugas pun telah meninggalkan panti, ada yang pulang dan ada yang kembali ke rumah sakit sedangkan Fauzan sendiri masih betah berlama-lama di panti bermain dengan beberapa anak. Saat waktu menunjukkan pukul lima sore, barulah Fauzan izin pamit pulang. Nita mengantarkan Fauzan dari dalam panti hingga halaman tempat mobilnya terparkir. “Makasih ya buat hari ini, Nita” “Iya, sama-sama, Bang. Nita, ibu sama anak-anak panti juga senang banget kok bisa bantu acara tadi, ya meski Cuma nyediain tempat aja.” Mereka berdua saling tersenyum kikuk. “Hmm, Nita ... “ “Ya?” “Hmm, apa kamu sudah punya calon suami?” Nita tertegun sekaligus kaget mendengar pertanyaan Fauzan. “Eh? Oh, itu ... hmm kenapa, Bang?” “Kalau belum, boleh abang dan orang tua abang datang melamar kamu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN