Pamit

1604 Kata
"Eh, anak Daddy yang paling cantik," sapa Banyu pada sang putri yang baru menuruni anak tangga rumahnya, gadis itu berjalan sambil menenteng tas dan mendekap beberapa buku dan seperti biasa dia berjalan sambil malas malasan. "Iya lah aku anak Daddy yang paling cantik, ya kali Langit juga cantik!" sahut Bella dengan nada malas, Banyu terkekeh lalu merangkul bahu sang putri. "Ayo kita sarapan," ajak Banyu sambil melangkahkan kakinya mau tidak mau sang putri yang tengah dia rangkul mengikuti ke ruang makan di mana sang ibu dan sang adik sudah menunggu untuk sarapan bersama sebelum memulai kegiatan masing masing. "Eh, Bell, kok bisa kamu enggak bersemangat gitu?" tanya Laura melihat ekspresi wajah sang putri pagi ini, gadis itu lalu menarik kursinya dan duduk bersebelahan dengan sang adik yang sudah mengenakan seragam sekolahnya. "Males berangkat kuliah, tau Mom," jawab Bella, gadis itu lalu mengambil roti gandum dan mengolesinya dengan selai cokelat. "Oh, Mommy pikir kamu nggak semangat menyambut Abraar siang ini," sahut Banyu untuk meledek sang putri. "Kalau itu sih aku semangat banget!" kata Bella dengan penuh semangat dan wajah berbinar ceria, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat dalam satu detik karena mendengar ucapan sang ayah. "Enggak mungkin lah Kak Bella enggak semangat semalem aja Kakak sibuk mondar mandir ngecek kamar tamu terus, udah kayak mau nyambut tamu negara aja!" kata Langit untuk meledek sang kakak, Bella merengut sebal menatap sang adik. "Dih, kak Abraar soh lebih penting dari tamu negara ya. Lagian kamu tuh sirik aja!" sahut Bella sambil menikmati roti sebagai menu sarapannya. "Ya enggak sirik tapi Kakak tuh ganggu aku nonton tivi!" jawab Langit tidak terima di bilang sirik oleh sang kakak, Laura memang sengaja tidak menaruh televisi di kamar anak anaknya. Kamar hanya untuk istirahat dan belajar, mereka bisa menonton televisi di ruang keluarga yang ada di lantai dua atau ruang menonton yang ada di lantai tiga, ruangan yang mirip teater bioskop dengan layar lebar itu. "Udah pagi pagi jangan debat, apalagi di depan makanan!" kata Laura melerai kedua anaknya, meskipun saling menyayangi tetap saja antara kakak adik selalu ada saja perdebatan. Saling ledek dan saling ejek juga tidak luput dari keseharian mereka. "Mom, Daddy, boleh nggak kalau aku nunggu Kak Abraar di rumah aja?" tanya Bella sambil menatap ayah dan ibunya sambil mengerjap ngerjapkan matanya dengan manja. "Abraar terbang jam berapa?" tanya Laura membuat wajah Bella semakin berbinar merasa sang ibu akan mengijinkan dirinya menunggu di rumah dan melewatkan jadwal kuliahnya. "Jam setengah sebelas," jawab Laura cepat. "Kalau begitu masih banyak waktu buat Daddy nelpon Papa Sam dan bilang kalau Daddy cabut ijin Abraar buat jadi tutor kamu dan tinggal di sini," kata Banyu sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Wajah berbinar Bella langsung berubah menjadi suram karena mendengar ucapan sang ayah. "Daddy, iya iya aku berangkat kuliah!" kata Bella cepat, Laura dan Banyu saling tatap sambil menahan tawa sedangkan Langit langsung tertawa lepas melihat ekspresi wajah Kakaknya. Bella kembali merengut dan melirik sekilas pada kedua orang tuanya, gadis itu tidak habis pikir apa iya besarnya rasa cinta mereka membuat keduanya bisa saling membaca isi hati. Sepasang suami istri yang dengan usaha mereka berdua membuat dirinya lahir ke dunia ini keterlaluan kompaknya. *** "Pa, aku pamit sama Om Bekti dan Tante Ela dulu ya," kata Abraar pada sang ayah setelah memasukkan kopernya di dalam bagasi. "Sama Nasya enggak?" tanya Samuel sambil tertawa kecil karena sang putra tidak menyebutkan nama gadis itu. "Ya pastinya sekalian, dia kan pasti di rumah sama orang tuanya," kata Abraar, pemuda itu lalu berlari kecil menuju rumah Nasya yang hanya terpisah dua rumah dari rumah orang tuanya. Sesampainya di rumah Bekti pemuda itu langsung mengucap salam dan menemui Om dan Tantenya yang ada di ruang tengah. "Om, Tante, aku pamit ya," kata Abraar sebelum mencium punggung tangan Bekti dan Ela. "Berangkat sekarang, Nak? salam buat Kak Laura dan Bang Banyu, ya, buat Bella sama Langit juga," kata Ela pada keponakannya itu. "Iya, Tante, nanti aku sampein," jawab Abraar dengan senyum manisnya, "Nasya mana, Tante?" "Nasya ada di kamarnya, dia lagi enggak enak badan. Kamu langsung ke kamarnya aja kalau mau pamit." Bekti yang sedang memijit kaki sang istri yang ada di pangkuannya itu yang menjawab. "Oke deh, aku naik ya," kata Abraar sambil berjalan menuju tangga yang harus dia titi untuk sampai ke kamar Nasya. Pemuda itu mengetuk pintu kamar Nasya yang tertutup rapat beberapa kali, "Sya, kamu tidur?" Tidak ada jawaban yang Abraar dengar membuat pemuda itu ragu, ingin masuk tapi takut menganggu istirahat gadis itu tapi untuk pergi tanpa berpamitan juga hatinya merasa tidak lega. "Nasya, Mas masuk ya," kata Abraar setelah kembali mengetuk pintu, akhirnya Pemuda itu memutuskan untuk masuk karena ingin tahu juga keadaan Nasya yang katanya sedang tidak enak badan. Abraar mendorong daun pintu hingga terbuka dan melihat Nasya menutupi tubuhnya dengan selimut hingga lehernya, gadis itu menatap Abraar yang berjalan mendekat dengan tatapan malas. "Kamu nggak tidur? Kok nggak jawab tadi Mas panggil," kata Abraar yang sudah sampai di dekat ranjang gadis itu. "Males ngomong," sahut Nasya singkat, ia hanya melirik Abraar yang duduk di tepi ranjang. "Kata Om Bekti kamu enggak enak badan?" tanya Abraar sambil menyentuh kening Nasya dengan tangan kanan dan menyentuh keningnya sendiri dengan tangan kiri seolah sedang membandingkan suhu tubuh mereka. "Badan kamu enggak panas," gumam Abraar setelah merasakan kening Nasya memang tidak panas bahkan terasa lebih dingin dari keningnya sendiri. "Yang panas di dalem sini Mas," kata Nasya sambil menepuk tubuhnya yang tertutup selimut dengan rapat, dari gerakannya Abraar tahu yang Nasya tepuk itu bagian d**a. "Kata Mama kalau d**a terasa panas bisa jadi itu karena asam lambung naik, mungkin kamu makam mie terlalu pedes kemaren," kata Abraar teringat Nasya memang menambahkan banyak sambal di mie nya kemarin, Nasya malah berdecak kesal mendengar ucapan Abraar, pemuda itu memang selalu tidak peka. "Udah sana Mas Abraar ke sini cuma mau pamit aja kan? Ya udah sana pergi ntar ketinggalan pesawat. Aku yang lagi sakit juga enggak akan bisa bikin Mas Abraar batal pergi kan," kata Nasya dengan wajah sewotnya. "Iya juga, sih. Mas kan bukan dokter," sahut Abraar sambil nyengir kuda, Nasya kembali berdecak kesal sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain malas menatap wajah Abraar yang membuatnya kesal. Juga ... merasa begitu takut kehilangan, gadis itu merasa kalau dia pasti akan sangat merindukan Abraar yang akan pergi lama, juga merasa cemburu karena pastinya Abraar akan lebih dekat dengan Bella di sana. Gadis itu benar benar merasa kesal dan ingin Abraar untuk tidak pergi, tapi dia bisa apa? "Ya udah, Mas berangkat, ya, kamu baik baik di sini," kata Abraar sambil menatap lembut mata Nasya membuat gadis itu ingin menangis meraung raung meminta agar Abraar tidak pergi rasanya. "Iya," jawab Nasya ketus tapi dalam pikiran Abraar gadis itu ketus hanya karena sedang tidak enak badan saja. "Oh iya," gumam Abraar sambil bangun dari duduknya, Nasya hanya diam membisu, "Sya, bisa jadi kamu panas dalam, jangan pake selimut tebel gini!" "Aakkhh, Mas!" pekik Nasya sambil menutupi tubuh bagian atasnya dengan tangan saat Abraar dengan cepat menyingkap selimutnya, Nasya hanya mengenakan bra di balik selimut itu sedangkan Abraar langsung menutup rapat kedua matanya dengan tangan. "Maaf, maaf, Mas nggak tau. Mas keluar deh. Mas berangkat, Mas pamit," kata Abraar gugup dan malu, pemuda itu langsung keluar dari kamar Nasya dengan tangan masih menutupi kedua matanya dia mengintip dari sela jari. mengintip jalan, bukan mengintip Nasya yang sudah menutup kembali tubuhnya dengan selimut. "Iiiiiihhhhh! Mas Abraar nyebelin!" pekik Nasya sebal setelah Abraar keluar dari kamarnya, gadis itu duduk di tengah ranjang sambil menendang nendang selimut dengan kesal. "Percuma aku pura pura sakit, Mas Abraar emang enggak peduli sama aku. Selalu Kak Bella, Kak Bella, Kak Bella!" omel Nasya sembari turun dari ranjangnya lalu berjalan ke kamar mandi yang buru buru dia tinggalkan saat mendengar Abraar mengetuk pintu kamarnya tadi. Abraar menghela napas panjang saat menuruni anak tangga rumah Bekti itu, menyesal karena tanpa permisi menyingkap selimut Nasya dia tidak menyangka gadis itu tidak mengenakan baju. Beruntung hanya sekilas dan sedikit yang dia lihat. Pemuda itu jadi merasa bersalah. "Udah, Braar, Nasya lagi ngapain?" tanya Bekti yang masih dengan setia memijit kaki sang istri. "Udah Om, lagi istirahat Nasya nya," jawab Bekti singkat. "Nadif ke mana Tante?" tanya Abraar sambil berjalan melewati sepasang suami istri itu, "Om sama Tante berdua duaan terus, nanti jadi ada dedek bayi deh!" "Abraar!" pekik Ela karena sang keponakan jahil menggoda mereka, Bekti hanya tertawa geli. "Aku pamit Om, Tante ...." kata Abraar setengah berteriak dari ruang tamu lalu meninggalkan rumah itu karena tahu orang tuanya yang akan mengantarkan dirinya ke bandara sudah menunggu. "Lama banget pamitannya," kata Samuel yang sedari tadi menunggu, laki laki itu berdiri bersandar pada pintu mobilnya sambil mengobrol dengan sang istri. "Iya, Nasya lagi nggak enak badan jadi aku ke atas," jawab Abraar apa adanya meski tidak semua dia ceritakan. "Nasya sakit apa? demam?" tanya Meisya pada sang putra. "Nggak tau, Ma, tapi badannya nggak panas," jawab Abraar berdasarkan pemeriksaan tangannya tadi. "Udah siap? ayo berangkat," kata Abitha yang keluar dari rumah dengan langkah ceria. "Kamu mau ikut? Tumben biasanya males," kata Abraar sambil membuka pintu mobil dia duduk di belakang dan sang adik mengikuti. "Iya, abis nganterin Kakak kan aku mau jalan jalan sama Mama Papa, aku mau nikmatin waktu jadi anak tunggal dulu," jawab Abitha sambil tertawa kecil. "Dih ... dasar manja!" sembur Abraar, Abitha hanya menjulurkan lidahnya untuk meledek sang kakak. "Udah? ayo kita berangkat, jangan sampai kamu ketinggalan pesawat, Braar," kata Samuel sambil bersiap menjalankan mobilnya. "Bisa nangis guling guling anak orang kalau Abraar sampai ketinggalan pesawat," kata Meisya sambil tertawa geli, semua juga ikut tertawa mendengarnya merasa apa yang wanita itu ucapkan benar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN