Keesokan harinya.
Aifa terbangun disebuah kamar bernuansa pink feminim. Jam masih menunjukkan pukul 03.00 pagi. Aifa tahu jika saat ini adalah waktu yang tepat untuk berdoa terutama meminta pada Allah agar Rex menjadi jodohnya.
Aifa segera turun dari tempat tidur. Mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat Tahajjud kemudian di lanjutkan dengan berdoa, berdzikir dan mengaji hingga menjelang sholat subuh.
Setelah melakukan itu semua, Tak lama kemudian Aifa keluar kamar. Menuju dapur lalu melihat Luna yang sedang duduk di kursi meja makan sambil meminum segelas air putih.
"Mama mertua?"
Luna menoleh ke asal suara. Mengetahui ada Aifa ia tersenyum. "Aifa? Sini kemarilah."
Aifa menurut. Ia duduk disebelah Luna. Lalu tak lupa mencium punggung tangan Luna.
"Tante apa kabar? Maaf ya Aifa baru ketemu sama Tante sekarang. Padahal Aifa nginap disini dari semalam."
"Tidak apa-apa sayang. Kamu sehat?"
Aifa tersenyum manis. "Alhamdulillah Aifa sehat mama mertua. Mama mertua sendiri gimana? Sehat aja kan? Maaf ya semalam Aifa nginap disini."
"Tidak apa-apa nak." senyum Luna. "Alhamdulillah Tante juga sehat. Bersyukurlah Ray menemukan mu di pinggir jalan. Kalau tidak pasti saat ini Daddy dan mommy mu kebingungan."
Aifa panik. "Apa?! Daddy dan mommy tahu?"
Luna mengangguk. "Tentu saja. Franklin yang menghubungi daddymu di Indonesia. Bertepatan saat Tante lagi Video Call dengan Mommymu."
Aifa menghela napas pasrah. "Ah, pasti nanti Daddy marah-marah lagi. Aifa sebel sama Daddy. Aifa pengen dinikahkan sama Rex tapi Daddy mengabaikan keinginan Aifa terus."
Luna tersenyum maklum. "Kamu yang sabar. Mungkin belum waktunya. Lagian Tante bisa lihat kok kalau Rex itu masih mencintai mu."
"Beneran mama mertua?"
"Iya bener."
"Aaaaaaaaaaaaaa senengnya."
Luna dan Aifa pun tertawa bersama. Bahkan tanpa rasa canggung Aifa memeluk Luna. Luna memegang lembut pipi Aifa setelah mereka saling berpelukan.
"Sekarang kondisi kamu bagaimana? Sudah agak mendingan? Kata Ray tadi malam kamu kecapekan."
"Aifa cuma lelah. Sekarang Aifa mau pulang."
"Ini masih jam 04.00 pagi loh. Kenapa tidak pulang siang aja sih?"
"Aifa sebenarnya mau disini. Aifa belum ketemu Rex. Tapi kalau lama-lama disini Aifa takut kalau Daddy dan mommy akan marah. Kan Aifa sayang sama mereka. Gak mau bikin Daddy dan mommy kepikiran Aifa."
Aifa memaksakan senyumnya. Padahal ia bisa saja pulang siang ini. Tapi bayangan kalau sebentar lagi ia akan ajak masak oleh Luna membuat Aifa bergidik ngeri.
Apalagi saat ini mereka sedang berada di dapur. Masak adalah hal yang paling di hindari oleh Aifa. Aifa sengaja menggunakan nama mommy dan daddynya sebagai alasan yang tepat.
Luna mengangguk. "Iya nak. Ah kebetulan tante mau masak buat sarapan. Ayo bantu-bantu Tante."
Luna beranjak dari duduknya. Lalu Aifa panik. Sesungguhnya ia memang benar-benar malu jika diusianya sekarang Aifa belum bisa masak. Bagaimana jika dirinya akan di coret sebagai calon menantu? Ah tidak-tidak! Banyaknya alasan yang Aifa lontarkan saat ini membuat Aifa memilih untuk tidak membantu Luna.
"Lah kok diam. Ayo sini." panggil Luna lagi.
"Aduhhh.. perutku sakit."
Luna yang tadinya baru saja mengeluarkan sayuran dari dalam kulkas pun terkejut lalu menghampiri Aifa.
"Aifa sakit?"
"I-iya Mama mertua. Sepertinya Aifa harus balik kekamar."
"Yaudah kalau gitu kamu istirahat ya. Nanti biar Tante suruh asisten Villa ini antar sarapan ke kamarmu."
Aifa mengangguk. Ia pun melenggang pergi. Menaiki anak tangga lalu bernapas lega. Seketika ia ingat Rex. Apakah Rex ada di Villa ini? Apakah Rex tahu bila dirinya ada disini juga?
Dengan rasa kepo tingkat tinggi Aifa mengendap-endap kembali menuruni anak tangga. Memasuki sebuah lorong untuk bersembunyi agar Luna tidak melihatnya.
Lalu kedua matanya terkejut begitu melihat Luna yang malah keluar dari dapur dan berjalan kearahnya.
"Issssshh gawat!"
Aifa panik. Aifa kelabakan lalu asal memasuki sebuah ruangan yang tidak terkunci. Aifa menghela napasnya akibat degupan jantungnya sambil memegang kenop pintu.
Aifa membalikan badannya. Lalu kedua matanya terbelalak kaget. Bibirnya kelu. Degup jantung Aifa berdetak sangat kencang berkali-kali lipat. Aifa ingin lemas dan luruh di lantai begitu mengetahui bahwa yang ia masuki adalah sebuah kamar milik Rex.
Aifa menatap Rex dari jarak beberapa meter dari tempat ia berdiri. Rex terlihat sedang duduk di sofa sambil memegang Machbooknya dengan tatapan datar.
Rex yang sedang fokus mengecek beberapa email perusahaan pun awalnya terkejut begitu pintu terbuka lalu tanpa diduga Aifa masuk begitu saja.
Keduanya saling bertatapan sesaat. Aifa bisa merasakan sorot kemarahan Rex dari pancaran kedua matanya. Aifa meneguk ludahnya dengan susah lalu berusaha untuk mencairkan suasana.
"Hai.. em Hai Rex."
"Pergi."
"Aifa baru masuk kok di usir?"
"Pergi."
"Aifa-"
"PERGI!!"
Dan Aifa terkejut. Ia tidak menyangka bila Rex akan membentaknya dengan kasar. Seketika kedua mata Aifa berkaca-kaca. Semudah itu bagi Aifa jika Rex membuatnya bersedih dan menangis.
"Aifa gak mau pergi. Aifa selalu mencari Rex. Sekarang Aifa sudah disini."
"Aifa kangen sama Rex."
Aifa memajukan langkahnya. Ia berdiri didepan Rex yang masih duduk di sofa empuknya. Cuaca diluar begitu dingin. Tapi tidak membuat Rex bermalas-malasan untuk bekerja meskipun saat ini ada sosok Aifa yang lagi-lagi menganggunya.
"Aifa cinta sama Rex."
"Kemarin Aifa ngejar Rex pakai supir Taxi. Kenapa Rex menghindar? Aifa sampai panik dan menjatuhkan ponsel Aifa sendiri dijalan. Sekarang ponsel Aifa hilang."
"Rex marah ya sama Aifa?"
"Salah Aifa selama ini apa?"
"Rex jawab. Jangan-"
"Pergi atau aku akan melakukan hal yang tidak-tidak padamu!"
Aifa terdiam. Mendadak ia tidak paham dengan apa yang di pikirkan Rex saat ini juga.
"Maksud Rex? Rex mau apain Aifa disini?"
Rex tersenyum sinis. Ia meletakan Machbooknya lalu berdiri dan berjalan kearah Aifa dengan sorotan tatapannya setajam elang. Aifa gugup. Ia memundurkan langkahnya hingga sebuah dinding membuatnya tersudut.
"R-rex mau ngapain?"
"Kamu lupa kalau aku seorang pria dewasa."
Aifa menggeleng. "Aifa gak lupa. Kan Rex pria. Kalau Rex wanita Aifa gak mau. Aifa masih normal." songong Aifa meskipun ia sendiri gugup.
Rex tidak perduli dengan ucapan polos Aifa. Rex pun beralih memenjarakan Aifa dengan kedua lengan kekarnya.
"Kalau begitu kamu salah besar sampai masuk ke kemar seorang pria dewasa seperti ku. Disini. Hanya berdua. Tidak ada yang tahu. Aku bisa saja melakukan hal apapun padamu saat ini juga."
Wajah Rex begitu dekat dengan Aifa. Rex menatap lekat wajah cantik Aifa yang sedari dulu berusaha ia hilangkan dari pikirannya meskipun tidak akan pernah bisa.
Tapi ntah kenapa lama kelamaan mendadak Rex tidak fokus. Gejolak gairah hadir tanpa di inginkan apalagi melihat bibir merah Aifa yang tipis dan ranum.
Berbagai macam pikiran. Bisikan syaitan yang terus menggodanya untuk melakukan hal yang tidak-tidak pun semakin meningkat. Aifa sendiri saat ini berasa gugup berlipat-lipat. Ia malu karena tidak sanggup menatap wajah Rex begitu dekat dengannya.
Tanpa diduga Aifa memejamkan kedua matanya. Sebuah undangan bagi Rex saat ini juga untuk mencium bibir Aifa.
Rex merasakan debaran hatinya begitu kuat sampai akhirnya ia menyerah. Membisik Aifa hingga membuat wanita itu terkejut.
"Sayangnya aku tidak berkeinginan menyentuh seorang wanita yang kekanakan. Manja. Tidak bisa diandalkan dan aku lebih menyukai seorang wanita dewasa yang seimbang dengan diriku.."
Rex melenggang pergi. Meninggalkan Aifa yang sudah berlinangan air mata. Kata-kata Rex tadi membuat Aifa tersinggung. Ia tidak menyangka bahwa Rex sekejam itu.
"Pokoknya daddy tidak mau tahu Frank! Kamu benar-benar bocah payah! Menjaga Kakakmu saja tidak bisa!"
"Cepat datangin Aifa di Villa Rex. Tante Luna sudah memberikan alamatnya pada Daddy. Daddy ada mengirimkan balik alamatnya melalui pesan singkat di ponselmu."
"Aku tahu. Sekarang aku sudah di halaman Villa Rex."
"Akui saja jika waktu itu kamu sedang menjalin hubungan dengan si Ava sampai-sampai kamu membiarkan kakakmu itu hilang?!"
Franklin mencoba sabar. Ia memegang erat ponselnya. Sungguh ia begitu tidak terima begitu daddynya menuduhnya menjalin hubungan dengan Ava.
"Aku tidak seperti yang Daddy katakan."
"Kalau gitu cepat bawa balik Aifa! Batalkan saja kontrak kerjasama itu dengan Perusahaan milik Farhan. Daddy lebih mengkhawatirkan kehormatan kakakmu ketimbang bisnis perusahaan apalagi pria macam Rex yang tidak pernah serius dengan Aifa!"
Klik. Sambungan terputus begitu saja. Franklin menggeram kesal. Padahal meeting baru saja ia lakukan beberapa hari yang lalu dengan calon klien. Sebuah perusahaan parfum yang sebenarnya akan dirilis 3 bulan lagi.
Tapi kekesalan Franklin menghilang begitu ia melihat Aifa keluar dari Villa Rex sambil seengukan. Dengan cepat Franklin membuka pintu mobilnya.
"Kakak ada ap-"
Franklin sudah tidak bisa berkata lagi karena Aifa berlari ke pelukannya. Menangis pada d**a bidangnya. Aifa seengukan. Ia menumpahkan rasa kesedihannya dengan Franklin. Hanya sosok adik yang saat ini yang mengerti keadaannya.
"Aifa sakit. Hati Aifa terluka. Rasanya tidak enak." isak Aifa seengukan.
Dari atas balkon, Ray melihat semuanya. Ia menatap nanar pemandangan didepan matanya. Lagi-lagi kakak tirinya itu membuat Aifa menangis. Ekspresi raut wajah Ray tidak bisa ditebak. Berbagai macam pikiran memenuhi benaknya hingga kedua tangannya terkepal kuat.
"Jika terus seperti ini. Jika Kak Rex terus membuatnya menangis. Maka aku yang akan menghentikan tangisan itu menjadi air mata kebahagiaan." ucap Ray dingin. Ray memilih masuk kedalam kamarnya lagi. Meninggalkan Franklin dan Aifa diluar sana.
Dengan lembut Franklin menangkup kedua pipi Aifa. Menghapus buliran air matanya.
"Jangan sedih. Aku gak suka lihat kakak nangis."
"Aifa sedih karena Rex bilang Aifa kekanakan. Apakah.. a-apakah itu benar?"
"Tidak. Itu tidak benar." Franklin menggeleng. Berusaha menghibur sang kakak. "Kakak tetap wanita dewasa yang cantik. Allah hanya sedang menguji kesabaran kakak."
"Sampai kapan Allah menguji Aifa?"
"Hanya Allah yang Tahu kak." Franklin kembali memeluk Aifa dengan erat. "Kita pulang ya. Daddy dan mommy merindukan kakak."
"Tapi Aifa takut. Aifa takut mereka marahin Aifa."
"Biar bagaimanapun mereka sayang sama kita. Jangan bersedih. Aku akan terus bersama kakak sampai akhirnya Rex bersatu dengan kakak
Suatu saat."
Aifa mengangguk lemah. Ia begitu lelah. Yang bisa ia lakukan saat itu ini hanyalah menyenderkan pipinya pada d**a bidang Franklin. Tapi tidak dengan Franklin yang kini rahangnya mengeras akibat amarahnya pada Rex.
"Aku tidak akan pernah bisa membiarkan pria manapun yang tega membuat kakakku menangis!"
Makasih sudah baca. Ikutin aja alurnya dengan sabar sesabar Aifa. Aifa kuat kok. Itulah kelebihan Aifa dibalik kekurangannya
With Love
LiaRezaVahlefi
Instagram
lia_rezaa_vahlefii