Matahari mulai kembali menampakkan diri, membawa sinarnya menyalurkan energi positif untuk memulai hari. Namun tidak untuk Aksa Mahardika yang kini hanya terdiam dengan tatapan kosong mengarah ke luar jendela kamarnya.
Tok … tok ... tok
“Aksa, ibu masuk.”
Aksa dapat mendengar derap langkah kaki ibunya menuju ke arahnya setelah mendengar pintu kamarnya terbuka.
“Ada seorang tamu untukmu, ingin menemuinya?” kata Yasmin yang kini telah berdiri di belakang Aksa.
“Hn? Tamu?” Alis Aksa mengenyit. Selama ini ia tidak pernah menerima tamu kecuali tangan kanannya yang mengurus perusahaan dan akan selalu menghubunginya sebelum datang ke rumah.
“Dia Sherly. Anak teman lama ayah dan ibu,” ujar Yasmin memberitahu.
“Tidak.” Merasa asing dengan nama itu Aksa menolak.
“Kenapa? Dia tahu kondisimu tapi dia ingin bertemu denganmu. Mungkin kalian bisa berteman,” kata Yasmin yang kini sedikit membungkuk menatap Aksa dari samping.
Sherly adalah putri dari teman lama Yasmin. Ia sudah cukup sering mendengar Sherly dari ibunya. Mereka juga pernah bertemu saat Sherly masih sekolah dan gadis itu adalah gadis cantik nan manis.
Aksa sebenarnya malas jika lagi-lagi harus berurusan dengan wanita yang baginya semua sama saja. Tapi ia merasa iba pada ibunya, terlebih saat ia tahu ibunya menangis setelah acara makan malam di rumah keluarga Wijaya, dua Minggu yang lalu.
“Hn.” Akhirnya Aksa memilih menuruti keinginan Yasmin.
“Terimakasih Aksa.” Dengan bersemangat Yasmin mendorong kursi roda Aksa, membawanya pada tamu yang ia ceritakan.
Di sana, di ruang tamu keluarga Mahardika duduk seorang wanita cantik berambut blonde lurus sepinggang. Ia terlihat cantik dengan dress selutut tanpa lengan berwarna peach. Polesan makeup cukup tebal dapat terlihat jelas oleh siapapun yang melihatnya, kecuali Aksa.
“Maaf membuatmu menunggu, Sherly,” ucap Yasmin pada wanita yang menatap Aksa iba.
“Tidak apa-apa, Bi,” jawabnya dengan tersenyum manis. Sherly, nama gadis itu segera menghampiri Aksa seraya mengulurkan tangan. “Hai Aksa, perkenalkan namaku Sherly Mahendra,” ucapnya dengan suara lembut.
Aksa hanya diam tak menanggapi uluran tangannya membuatnya meraih tangan Aksa dan menjabatnya.
“Halus,” batin Aksa. Ia yakin wanita ini pasti menghabiskan banyak uang untuk perawatan. Meski ia tak bisa melihat, tapi ia bisa merasakan dengan sentuhan tangan. “Hn,” ucapnya sedikit malas.
Mendapat respon dingin, Sherly segera melepas tautan tangan mereka namun tetap berusaha tersenyum pada Yasmin.
“Maaf Sherly, Aksa memang seperti ini pada orang yang baru ia kenal.” Yasmin mencoba menjelaskan bahwa Aksa memang bersikap dingin pada orang yang baru ia temui.
“Tidak apa-apa Bi, wajar saja karena kita memang baru pertama bertemu,” kata Sherly dan kembali duduk ke tempatnya duduk sebelumnya.
“Bagaimana kabar ayah dan ibumu?” tanya Yasmin membuka perbincangan. Ia kini duduk berhadapan dengan Sherly dengan dibatasi meja keramik berukuran besar.
“Ibu baik Bi, hanya saja kesehatan ayah kini tidak begitu baik,” ucap Sherly dengan raut wajah sedih.
“Apa? Ada apa dengan ayahmu?” tanya Yasmin khawatir. Yasmin dan kedua orang tua Sherly sudah lama tidak bertemu dan saat putri teman lamanya itu berkunjung justru mengatakan kabar kurang baik tentang ayahnya.
“Bukan penyakit yang parah Bi, tapi sekarang kondisinya mulai membaik setelah berobat ke luar negeri,” jawabnya dengan mencoba tersenyum.
“Syukurlah, bibi turut prihatin. Semoga ayahmu segera pulih. Lalu bagaimana denganmu? Apa kuliahmu sudah selesai?” tanya Yasmin kemudian. Terakhir kali bertemu Sherly saat ia akan masuk Universitas.
“Aku sudah bekerja Bi, maksudku masih belajar meneruskan perusahaan ayah,” katanya dengan sedikit tersenyum malu.
“Itu bagus, Nak. Kau bisa jadi wanita karir yang sukses.” Yasmin berucap dengan bersemangat.
“Iya Bi, terimakasih.” kata Sherly dengan mengarah tatapannya pada Aksa yang sedari tadi hanya diam.
Yasmin yang melihatnya memberi waktu bagi keduanya untuk berbicara dan bisa lebih mengenal.
“Ya Tuhan, bibi sampai lupa belum membuatkanmu minum. Tunggu sebentar ya, bibi akan membuatkan minuman untukmu,” kata Yasmin yang berdiri dari duduknya dan menuju dapur. Yasmin sengaja meninggalkan keduanya berharap mereka bisa berteman.
Hingga beberapa menit berlalu namun Aksa sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun.
“Jadi … Aksa, apa kegiatanmu sekarang? Maksudku kesibukanmu setiap harinya,” tanya Sherly guna membuka percakapan. “Mungkin karena Aksa tak bisa melihat kecantikanku maka ia hanya diam,” batin Sherly.
“Hanya diam dan menjadi orang tak berguna,” jawab Aksa sarkastik, membuat Sherly terdiam.
“Jangan berkata seperti itu Aksa. Andai kau tidak mengalami kecelakaan pasti kau masih menjadi seorang pebisnis yang sukses,” ucap Sherly tanpa keraguan. Namun jawabannya justru membuat Aksa semakin malas berbicara dengannya.
Tanpa berniat lebih lama meladeni Sherly, Aksa hendak kembali ke kamar. Ia sudah hafal dengan letak kamarnya, meski tak bisa melihat ingatannya masih sangat kuat untuk menghafalkan letak kamarnya dengan perhitungan yang tepat.
“Tu-- tunggu Aksa,” panggil Sherly namun tak berniat untuk benar-benar mencegahnya.
Dan saat Yasmin kembali ia sudah tak mendapati Aksa disana. “Sherly, dimana Aksa?” tanyanya.
“Aksa bilang lelah dan ingin kembali ke kamarnya Bi, aku ingin mengantarnya tapi dia menolak.” Tanpa mengetahui yang sebenarnya Yasmin tentu percaya akan apa yang Sherly katakan.
“Benarkah? Maaf ya Sher, Aksa memang seperti itu tapi jika kalian lebih sering bertemu ia pasti berubah,” ucap Yasmin dengan rasa bersalah. Ia tak enak hati pada Sherly yang sepertinya bisa menerima keadaan Aksa. Ia meletakkan segelas jus jeruk di atas meja untuk Sherly kemudian duduk satu sofa dengan Sherly dan mengobrol ringan.
Tak terasa Sherly sudah di sana selama 1 jam. Ia melirik jam tangannya kemudian bangun dari duduknya.
“Sepertinya sudah saatnya aku pulang Bi,” katanya dengan tersenyum dan menunjuk jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
“Tidak bisakah lebih lama lagi?” pinta Yasmin penuh harap. Sepertinya ia senang mengobrol dengan Sherly.
"Ada urusan pekerjaan Bi, mungkin lain kali," kata Sherly menolak dengan cara halus.
"Hah … baiklah … senang kau berkunjung Sherly. Lain kali sering-seringlah berkunjung kesini dan sampaikan salamku pada ayah dan ibumu,” kata Yasmin yang kini memeluk Sherly dengan hangat.
“Baik Bi, terimakasih.” Sherly membalas pelukan Yasmin kemudian berpamitan dengan sopan.
Yasmin mengantar Sherly hingga depan rumah dan melambaikan tangan saat gadis itu mulai masuk mobil hingga melajukan mobilnya meninggalkan kediamannya.
Yasmin kembali ke dalam rumah dan menyusul Aksa yang kini tengah berbaring di atas tempat tidur.
“Aksa, apa kau tidur?” Yasmin menghampiri dan duduk di tepi ranjang Aksa.
“Hn?” gumam Aksa tak jelas.
“Bagaimana menurutmu putri teman ibu? Jika kau bisa melihatnya, dia sangat cantik dan manis,” kata Yasmin memuji kecantikan Sherly.
“Kau baru bertemu dengannya, Bu,” sanggah Aksa yang memejamkan mata.
“Ya tapi ibu sudah sering bertemu dengannya saat ia kecil,” ucap Yasmin bersemangat.
Mendengar penuturan ibunya Aksa tak lagi ingin membicarakannya lebih panjang. Tidak bermaksud mengurangi rasa hormat, ia pura-pura tidur dengan ibunya yang masih menceritakan semua tentang Sherly.
Di hari-hari berikutnya Sherly lebih sering berkunjung. Bahkan jika ayah dan ibu Aksa harus pergi, mereka akan memanggil Sherly untuk menjaga Aksa seperti sekarang ini.
“Aku ingin keluar.” kata Aksa dengan suara datar.
Sherly yang mendengarnya kemudian menghentikan aktivitasnya memainkan ponsel di tangannya.
“Keluar? Kau ingin kemana?” tanya Sherly memastikan. Ini pertama kalinya Aksa memintanya mengantar keluar rumah.
“Taman,” kata Aksa singkat.
Sherly berpikir sejenak. “Tapi hari ini sangat panas. Apakah tak apa jika kita keluar?” ucapnya seakan membujuk Aksa untuk tetap di rumah.
“Jika tidak ingin mengantarku, pergilah,” kata Aksa, kemudian memutar kursi rodanya namun segera dicegah oleh Sherly.
“Baiklah-baiklah aku akan mengantarmu,” kata Sherly dengan tersenyum dipaksakan, sebenarnya ia malas jika harus keluar bersama Aksa. Jika di rumah ia bisa menemani Aksa tanpa harus kerepotan mendorong kursi rodanya yang akan membuatnya lelah.
Sementara Aksa sengaja agar ia tahu apakah Sherly tulus atau malu jika bersama orang cacat seperti dirinya di depan umum.