7 | Cinta Dalam Diam

1404 Kata
Elvin berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki menuju kamarnya. Ia tau pasti sang asisten sedang ada dikamarnya, karena tadi ia sendiri yang menitipkan access card kamarnya pada Meli. Dan benar saja, ketika Elvin membuka pintu dengan kasar, Meli langsung terhenyak sambil memegang dadanya karena terkejut. "Elo kesambet jin dimana sih kak Vin?" katanya dengan sepasang mata yang membelalak sempurna. Tak menjawab, Elvin malah melemparkan tubuhnya dengan kasar ke sofa empuk didekat jendela. Wajahnya begitu mendung seolah keceriaan karena suksesnya seminar yang menjadikannya bintang utama lenyap tak bersisa. Melihat boss cantiknya enggan bersuara, Meli memutuskan untuk mendekat dan ikut duduk di sebelah Elvin. Ternyata wajah Elvin tak hanya mendung, gerimis tangis ternyata juga mulai turun menghiasi pelupuk matanya. "Kak Vin, please ya... Cukup Rosa dan sinetron-sinetron ikan terbang aja yang menampilkan banyak adegan kumenangis. Elo jangan yaa, males banget gue liat elo nangis, karena pasti susah berhentinya." ketus Meli tanpa melarikan pandangannya kemana-mana selain pada wajah sayu Elvin Eleanor. "Elo kenapa sih kak?" Meli mengguncang pelan lengan Elvin yang masih menunduk dalam. "Gue cemburu Mel, gue cemburu." jawabnya dengan isak tangis tak tertahan. "Because?" "Ervan ternyata beneran ngajak mbak Irina." cicit Elvin membuat Meli mengerutkan keningnya. "Dan Irina adalah?" "Bininya lah..." decak Elvin memutar bola matanya malas. "Terus apa masalahnya kak? Elo masih waras kan kak? Elo kurang kerjaan banget deh cemburu sama istri orang. Mereka suami istri sah, ngapa elo musti sibuk-sibuk cemburu." "Entahlah.. gue bingung sendiri sama hati gue Mel. Rasanya tuh sakit banget." Elvin semakin tergugu sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Sejak kapan sih elo jadi gampang goyah gini kak? kayak bukan Elvin deh. Gak malu Lo sama Malika" Aah... Iya, Malika. Satu-satunya nama yang bisa menarik Elvin menatap dunia nyata. Benar apa yang Meli katakan, tak seharusnya ia bersikap goyah seperti ini. Apa kata Malika jika melihat bundanya melakukan hal tak berguna seperti yang sekarang ia ratapi. Meli menghembuskan nafas pelan. Disatu sisi ia tak tega melihat Elvin menangisi seorang Ervan yang notabene bukanlh siapa-siapanya. Tapi di sisi lain ia juga tak habis pikir bagaimana seorang Elvin yang biasanya ia kenal sebagai perempuan mandiri, tegar dan punya pendirian bisa takluk pada pesona suami orang. "Gak tau Mel, mungkin sejak ketemu Ervan dua hari lalu, hati gue kayaknya gak bisa diajak kerja sama deh." ucap Elvin lirik sambil sesekali mengusap ujung hidungnya yang memerah. "Dasar iman Lo aja yang setipis selaput dara kak." cibir Meli lantas berdiri hendak meninggalkan kamar Elvin. "Bangsad mulut Lo Melisa." Elvin melempari Meli dengan tissue bekas yang baru saja digunakannya untuk mengusap air mata. Meli hanya terbahak-bahak melihat sahabat sekaligus bossnya itu sudah berhenti menangis bahkan bisa mengumpat padanya. "Naaah gitu dong kak, mending denger Lo ngomong kasar daripada liat elo nangis gak guna." "Mending Lo keluar dari kamar gue deh Mel, daripada bikin gue makin pening." usir Elvin masih terus melempari Meli dengan tissue. Dengan bersungut-sungut Meli akhirnya berjalan menuju pintu kamar Elvin sambil menghentak-hentakkan kakinya. Gadis itu cukup senang setidaknya ucapan pedasnya bisa menghentikan Elvin dari drama penuh air mata yang bisa merusak moodnya. Karena ia tau Elvin kini sedang dalam proses menyelesaikan n****+ terbarunya. Mood yang kurang baik tentu akan mengurangi kinerjanya sebagai seorang penulis. "Oke deh Bu boss, gue keluar mau manja-manja dulu sama mas Bayu. Elo jangan mellow lagi ya, mending berenang atau berendam sana biar otak Lo gak mikir chef Ervan terus." Tak menggubris asistennya yang berpamitan, Elvin beranjak mendekati jendela disebelah kanan private pool kamarnya. Ia pandangi indahnya pemandangan Bali di sore hari dengan tatapan nanar, karena hatinya masih diliputi nyeri karena merasa terabaikan. "Bie.. libie, artinya kesayangan El. Kamu sayang Abang kan?" tanya Ervan saat itu, dua belas tahun yang lalu. "Sayang, sayang banget bang." jawab Elvin dengan wajah polos. Diusianya yang masih 17 belas tahun, hatinya sontak berbunga-bunga jika selalu ditatap dengan tatapan penuh kasih oleh pria yang selalu dikaguminya. "Kalau gitu panggil Bie aja, biar Abang gak terlihat terlalu tua." "Abang gak tua kok." "Kalau disamping kamu kelihatan jauh lebih tua." "Nggak kok, kan cuma... ehmm.. lima, enam, tujuh. Cuma beda tujuh tahun aja kita." Elvin menghitung selisih usianya dengan sang pemuda pujaan. "Iya deh terserah, tapi mulai sekarang panggil Abang pake panggilan itu ya. Cuma kamu yang boleh panggil Abang dengan sebutan itu. Cuma kamu." Ervan mengacak poni Elvin dan mengecup keningnya pelan. Elvin tersenyum kecut ketika kilas-kilas masa lalu mendadak berlarian dalam benaknya. Dahulu, setiap pulang sekolah, Ervan sudah menunggunya di gerbang kompleks perumahan mereka. Ervan yang saat itu sudah lulus kuliah dan sudah bekerja di salah satu hotel mewah di Uluwatu, selalu setia menemaninya berjalan kaki sampai di depan rumahnya. Pria tinggi dengan rahang tegas, dan sorot mata yang menenangkan itu jadi pria pertama yang mampu menaklukkan hati Elvin. Ia bertahta cukup lama disana, tanpa bisa digeser oleh siapapun, termasuk Rega Sadewo. Pembawaan Ervan yang dewasa namun selalu ceria membuat Elvin jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada pria itu. Dering ponsel di dalam tas kecil Elvin, menarik kembali lamunan Elvin dari masa lalunya. Segera ia ambil benda pipih tersebut, terlihat nama Rega berkedip-kedip dilayar ponselnya. "Iya mas?" "Sudah selesai acaranya Vin?" tanya Rega dengan nada pelan. "Udah mas, baru aja. Ini baru balik ke kamar hotel." jawab Elvin. "Eh, kenapa mas? Malika nggak apa-apa kan?" tiba-tiba saja Elvin mengingat putrinya yang tengah berada dengan Rega. "Aman, Malika nggak kenapa-kenapa kok. Kami juga baru saja pulang, tadi dia ikut aku ke kantor. Happy banget dia." Elvin mendesah lega karena kekhawatirannya akan sang putri tak terbukti apa-apa. "Terus?" "Pengen tau aja gimana acara kamu di Bali." "Ouh... acaranya lancar kok, semua berjalan sesuai rencana. Pembaca yang hadir juga banyak banget, aku jadi punya deadline baru untuk launching n****+ berikutnya." "Syukurlah kalau begitu, aku kirim sesuatu ke kamar kamu, mungkin beberapa menit lagi sampai. Semoga suka, anggap aja sebagai ucapan dari aku dan Malika atas suksesnya acaramu." "Kirim apaan mas?" "Tunggu aja sebentar lagi." terdengar kekehan kecil di seberang sana, membuat Elvin yakin pria yang menjadi mantan suaminya itu tengah tersenyum. "Ya sudah, aku tutup dulu ya, mau siapin makan malam buat Malika." pamit Rega. "Oke mas, by the way... hmm... makasih ya buat semuanya." "Gak usah makasih makasih gitu, udah kewajiban ku, sebagai.. sebagai ayah dari anak kita." jawab Rega sedikit terbata. "Hmm...." "Oke, bye dulu ya Vin. Take care." "Bye mas." Dan benar saja, sekitar lima belas menit setelah Rega mengakhiri hubungan teleponnya. Seseorang menekan bel kamar Elvin, Elvin bergegas mendekat dan sedikit mengintip dari door viewer diatas kepalanya, ternyata yang mengetuk adalah petugas dari hotel dimana ia tinggal. Petugas hotel tersebut mengangguk hormat lantas masuk dengan mendorong troli kecil, yang diatasnya terdapat cake berbentuk buku bertumpuk-tumpuk dengan topping bertuliskan 'Congratulations on your achievement Renjana Hati'. Tak hanya kue cantik itu yang tertangkap netra Elvin, tapi juga ada buket bunga besar disampingnya. Buket bunga berisikan bunga mawar putih dengan tangkai panjang, dibagian tengah dikombinasikan dengan bunga mawar berwarna pink lembut. Diatasnya juga terdapat kartu ucapan dari sang pengirim. Bibir Elvin menyunggingkan senyum saat membaca isi kartu tersebut setelah petugas hotel keluar dari kamarnya. Some are dreamers, some are talented. You are both. May you achieve more success ahead. Congratulations on this success! Rega & Malika. Rega Sadewo, pria itu tetap saja memanjakan dirinya dengan segala hal yang tak terduga. Bahkan ketika hubungan diantara keduanya tak lagi sama. Rega dengan segala perhatian dan kasih sayangnya pada Elvin, tak bernah berkurang sedikitpun. Namun, semua perhatian dan kucuran kasih sayang yang Rega beri tak sanggup membuat Elvin tergerak untuk membalas perasaan pria tegap itu. Rega tetaplah Rega, pria yang ia anggap sebagai pelindungnya, pengganti almarhum Fedric. Kakak lelaki Elvin yang sudah tiada. [Terimakasih banyak Mas, untuk cake dan bunga cantiknya. I love it] Elvin mengamati deretan huruf yang ia ketik, sebelum akhirnya mengirimkan pesan tersebut pada Rega. Malam beranjak semakin larut, Elvin menata kembali deretan bunga yang ia terima setelah acara tadi siang. Dari pembaca setianya, dari panitia acara, dari Rega dan dari Ervan. Dua buket bunga raksasa yang hampir serupa, bunga mawar putih dengan sedikit hiasan disekelilingnya. "Rega..." "Ervan.." Elvin mengeja nama pria yang begitu melekat dalam hidupnya. Elvin tersenyum samar saat melihat bunga dari Rega, namun sedetik kemudian matanya berkaca-kaca dan dadanya mendadak sesak. Ketika netra kelamnya mengamati bunga yang ia terima dari, Ervano Bhalendra. Cintanya, cinta dalam diam yang selama ini setia ia jaga. ➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜ Rega.... udahlah sama aku aja, daripada ngejar Elvin yang belum bisa move on dari si chef ganteng. (≧▽≦)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN