9 | Tak Bisa Menghindar

1759 Kata
Ervan melangkah pelan ketika berjalan keluar cafe, tatapannya seketika teralih dari layar ponsel ketika mendengar derap langkah yang berjalan mendekat ke arahnya. Bukan, maksudnya ke arah pintu masuk yang ada di belakangnya. Didepannya seorang gadis manis dengan sepasang lesung pipi, sedang berjalan cepat dengan membawa beberapa map di tangan kanan dan paper bag besar di tangan kiri. "Mbak Meli?" sapa Ervan ramah ketika tatapan mereka bertemu. "Eh? Chef Ervan." jawab meli dengan nafas sedikit putus-putus. Ervan memberinya senyum ramah seperti sebelumnya. "Ketemu lagi, pasti lagi cari Elvin di dalem ya?" Tebakan Ervan tak meleset, karena memang tujuan Meli ke Gianyar adalah untuk menemani Elvin bertemu Bu Kasih beserta putrinya. "Tau aja chef, pasti udah ketemu kak Elvin ya?" "Iya, barusan aja ketemu sebentar." "Kayaknya bakalan sering ketemu chef Ervan terus nih kak Elvin? Kapan hari ketemu di cafenya chef yang di Sanur, sekarang ketemu lagi disini." "Hmm.. ini juga salah satu cafe saya. Tapi dikelola oleh istri." jawab Ervan merendah. "Ooh.. wow, jangan-jangan semua cafe di Bali kebanyakan punya chef Ervan lagi?" Meli mengedipkan sebelah matanya tanpa sungkan. "Nggak gitu juga kali..." Ervan terkekeh kecil. "tentu saja bukan, hanya beberapa saja kok. Tapi cafe saya selalu punya ciri khas, selalu ada kata 'Miracle' dan simbol kecil seperti itu." Ervan mengangkat telunjuknya ke arah plang nama dengan icon mahkota kecil diatas huruf 'M'. "Pantas suasananya mirip-mirip ya chef." tukas Meli sesaat setelah melirik icon tersebut. "Masih lama stay di Bali?" Ervan mendadak ingin mengorek informasi mengenai jadwal Elvin di Bali. "Saya sih besok udah balik ke Surabaya chef, tapi kalau Kak Elvin menetap lama di sini." jawab Meli tanpa beban. Ervan menghembuskan nafas panjang seraya tersenyum miring mendengar informasi dari editor Elvin yang ia tau selalu ceplas-ceplos dalam berbicara. Baginya menjadi sangat mudah untuk mencari tau akan sesuatu jika berhadapan dengan orang bertipikal seperti Meli ini. "Oh ya?" Ervan menatap antusias pada Meli. "Iya, ada projects sama Bu Kasih gitu deh chef, jadi mau tinggal di rumahnya yang di Uluwatu." Meli mengusap sedikit keringat yang membasahi keningnya, Bali siang hari seperti ini memang sedang panas-panasnya. Pantas saja banyak wisatawan asing yang rela berjemur berjam-jam demi mendapatkan kulit eksotis seperti kulit wanita Indonesia pada umumnya. "Papa cepetan... Panas niih." pekik seorang perempuan dari balik kursi penumpang di mobil yang terparkir tak jauh dari mereka. Meli dan Ervan menoleh bersamaan ke arah suara. Disana, Irina melambaikan tangan memberi isyarat agar suaminya itu segera menghampiri. "Oke, have fun ya Meli. Semoga suka dengan jamuan pegawai saya. Saya duluan, masih ada perlu." Ervan menunduk sekilas sebelum berlalu melewati Meli yang masih mengamatinya hingga masuk ke mobil. "Oke. Oke chef, saya juga udah ditunggu dari tadi sama kak Vin." Meli mempersilahkan Ervan untuk berlalu. "Ckk.. dari dekat emang ganteng gitu, pantes lah kak Elvin susah move on." ucap Meli lirih lebih ke dirinya sendiri. ▪️▪️▪️ Beberapa menit setelah pertemuan dengan Bu Kasih, Elvin sengaja mengajak Meli untuk mengunjungi museum seni yang letaknya tak jauh dari Miracle Coffee. Lama tak mengunjungi pulau eksotis Bali, membuat Elvin merindukan beberapa tempat disana. "Diem aja Lo kak dari tadi." Meli menyikut lengan Elvin yang sedang menekuri lukisan estetik di depannya. "Sariawan Lo ya? Atau sakit giginya kumat?" sambungnya lagi. Elvin dan Meli sekarang sedang berada di Agung Rai Museum of Art atau yang lebih dikenal dengan ARMA, yang letaknya tak jauh dari cafe tempat mereka bertemu dengan bu Kasih beberapa jam yang lalu. Tak berselang lama setelah munculnya Ervan tadi, Meli akhirnya tiba di cafe tempat Elvin menunggunya. Gadis itu datang dengan membawa beberapa dokumen untuk ditandatangani oleh bu Kasih dan juga Elvin. "Jangan bilang Lo lagi mens? Perasaan ini belum jadwalnya elo datang bulan deh. Harusnya perputarannya setiap 25 harian kan kak?" Meli tak gentar berceloteh demi menarik perhatian sahabat sekaligus boss nya itu. "Anjirr, elo sampe hafal jadwal bulanan gue Melisa Sukoco." akhirnya Elvin bersuara, diikuti dengan gerakan bola matanya yang berputar jengah. "Hafal dong, gue udah kenal elo lebih dari lima tahun by the way, dan jadwal bulanan elo cuma selisih satu dua hari doang dari jadwal gue." kelakar Meli lantas terbahak. Elvin bergerak pelan menyurusi area museum kesenian yang ia kunjungi, matanya tak pernah bosan untuk terpesona dengan hasil karya para maestro seni lukis ternama baik dari pulau dewata atau dari daerah lainnya. Langkahnya berhenti tepat di depan lukisan milik Raden Saleh Syarif Bustaman, pelukis legendaris abad 19 dari pulau Jawa. Tatapannya tak lepas dari rasa kagum pada lukisan yang menggambarkan sepasang pria dan wanita tempo dulu yang berdiri berdampingan, dengan menggunakan busana adat Jawa berwarna biru muda dengan kain batik sebagai bawahan. "Jadi elo gak mau cerita nih, apa yang bikin elo lebih pendiem hari ini?" Meli masih belum berniat diam dari segala pertanyaan seputar diamnya seorang Elvin Eleanor. "Gue tadi ketemu Ervan." jawab Elvin singkat tanpa mengalihkan fokusnya. "Sudah gue duga." Meli mendekat dan ikut memandangi lukisan di depan Elvin. "Gue tadi juga papasan sama chef Ervan kok di depan cafe." "Lah itu elo tau, kenapa masih bawel aja tuh mulut ember?" kelakar Elvin. "Ya kali aja elo diem karena hal lain, kesambet syaiton mungkin." Untungnya Elvin sudah kebal mendengar celotehan pedas dari editor sekaligus sahabatnya itu. Jadi ia tak pernah merasa sakit hati dengan celetukan asal dari mulut ember seorang Meli. "Elo kali syaitonnya." Elvin berdecak sebal. "Mana ada syaiton modelan seksi kek gue kak El." Meli memutar sedikit tubuh rampingnya. "Diiih.. pede banget. Heran gue deh Mel, semakin gue berusaha menghindar dan berusaha melupakan Ervan. Kenapa tuh cowok makin sering muncul di depan hidung gue ya?" perempuan itu menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal sama sekali. Elvin beranjak ke bagian lain museum yang terdapat sebuah lukisan aliran ekspresionis berukuran besar, tampak diapit dua lukisan yang lebih kecil di kanan dan kirinya. "Ya berarti elo jangan pernah berusaha menghindari chef Ervan lagi kak, jalanin aja sebagaimana mestinya. Takdir kalian gak ada yang tau akan gimana ujungnya kan. Semakin elo menghindar, semakin elo sakit hati." celoteh Meli asal. Tapi kalimat Meli benar, Elvin tak harus menghindari Ervan terus menerus karena Ervan sendiri tak tau akan perasaannya. Dan kalaupun mereka lagi-lagi bertemu tanpa sengaja, itu juga bukan salah Ervan sepenuhnya. Salahkan saja hati Elvin yang terlalu nyaman berkubang dalam lumpur derita selama belasan tahun. "Tumben mulut Lo bijak? abis sarapan sianida tadi pagi?" Elvin terkekeh kecil melihat wajah sebal editor kesayangannya. "Serah elo deh kak, asal Lo happy." Meli ikut tersenyum miring dan memeluk lengan atas Elvin. "Balik hotel yuk, sebelum terlalu malam. Gue belum packing buat balik besok nih." Hampir saja Elvin lupa bahwa besok siang Meli sudah harus check out dari hotel. Meli memutuskan untuk langsung kembali ke Surabaya sebelum akhirnya kembali bekerja hari senin nanti. Sedangkan Elvin memutuskan tetap tinggal di hotel beberapa saat untuk menyiapkan rumahnya di Uluwatu sebelum kepindahannya nanti. "Ya udah yuk, gue juga belum beberes sih. Tapi gue kan nyantai, besok udah ada supir yang jemput gue ke rumah Uluwatu." "Langsung ke Uluwatu?" Meli memicingkan sebelah matanya. "Maybe, masih betah di hotel sih sebenernya. Mau jalan-jalan ke pantai dulu sebelum balik ke rumah, kan masih dicat ulang." Hampir satu minggu disibukkan dengan kegiatan seminar dengan beberapa penulis lain. Membuat Elvin ingin bersantai sejenak dari segala aktivitasnya sebelum berkutat lagi dengan pekerjaan barunya menyusun biografi Cendana Kasih. "Awas ketemu chef Ervan lagi kalo keluyuran di pantai loooh.." goda Meli lantas terkikik. "Gak akan.. dia lagi ke Palembang sama bininya." Elvin masih ingat kok apa yang dikatakan oleh Ervan beberapa jam lalu, bahwa ia akan ke bandara hendak menuju ke Palembang. "Cieee... Udah tau jadwalnya chef Ervan segala sih." "Ckk, apaan sih. Dia sendiri tadi yang ngomong tanpa gue banyak tanya." seru Elvin meninggalkan Meli beberapa langkah di belakangnya. ▪️▪️▪️ Setelah kepulangan Meli ke Surabaya, Elvin tetap bertahan di hotel, bahkan menambah waktunya di sana selama dua hari. Sambil menunggu dua orang pekerja yang ia mintai tolong membersihkan rumahnya di Uluwatu. Rumahnya di Uluwatu terbilang cukup besar jika untuk dihuni dua orang saja, dia dan putrinya, Malika. Empat kamar tidur lengkap dengan kamar mandi dalam, ruang tengah yang sangat luas, dapur bersih dan kolam renang kecil di halaman sebelah. Elvin kadang sudah tak sabar ingin segera menghabiskan waktu berdua dengan Malika di pulau Dewata ini. Suasana asri yang sangat bertolak belakang dengan hiruk pikuk kota padat seperti Surabaya rasanya cukup tepat untuk tumbuh kembang putri kecilnya. Apalagi di Bali ia menyediakan kolam renang pribadi di rumah, beda jauh dengan kondisi di Surabaya, dimana mereka tinggal di lantai atas sebuah apartemen mewah di tengah kota. "Bu sudah sampai." suara supir mobil yang disediakan oleh pihak hotel menyadarkan Elvin dari lamunannya. "Ah.. iya pak, makasih ya." Elvin memastikan kamera dan ponselnya sudah ia masukkan ke dalam tas selempang yang selalu dibawanya. "Iya mbak Elvin, nanti mau dijemput jam berapa?" tanya beliau lagi. "Hmm..." Elvin menaikkan sebelah alisnya seraya berpikir. "Nanti saya hubungi lagi ya pak Manaf, nomornya masih yang kemarin kan?" sambung Elvin. Beberapa hari tinggal di hotel Sanur Secret dan mendapatkan layanan terbaik, membuat Elvin hafal dengan nama supir yang selalu mengantarkan ke beberapa tempat di Bali. "Masih bu, kalau begitu saya tinggal balik ya Bu." angguk supir itu lagi. "Iya pak." Sembari menikmati waktu senggangnya di Bali, Elvin memilih untuk memanjakan mata dengan mengunjungi pantai yang sedikit jauh dari Sanur. Dan pilihannya jatuh pada Pantai Bias Tugel, juga dikenal dengan White Sand Beach, berlokasi di Desa Padangbai, Kabupaten Karangasem. Pantai indah yang tersembunyi di antara batu-batu karang berukuran besar di sisi kanan dan kirinya. Hampir satu jam berkeliling dan memuaskan matanya dengan pemandangan cantik pasir putih dan air laut yang membiru. Elvin memilih bersantai di salah satu sundeck yang ia sewa di tepi pantai sambil menikmati kelapa muda yang ia pesan. Memeriksa beberapa hasil gambar dari kamera yang ia bawa, Elvin seolah tersihir dengan pemandangan cantik yang berhasil ia bidik dengan lensanya. "Suka foto-foto juga ternyata kamu El." suara berat seorang pria yang tak asing kembali membuat detak jantung Elvin melaju tak beraturan. Mengambil nafas panjang, Elvin memberanikan diri menengadahkan wajahnya demi memastikan pemilik suara tersebut. Menaikkan kacamata hitamnya hingga ke puncak kepala, Elvin menyipitkan mata untuk mempertajam penglihatannya. Seketika suara Meli kembali terlintas di benaknya. Awas ketemu chef Ervan lagi kalau keluyuran di pantai. Hell.. mungkin lain kali ia harus mendengarkan saran dari bibir editor titisan cenayang itu. Karena benar saja, koki tampan bernama Ervano Bhalendra itu kini sedang berdiri menjulang di sebelah kursi santai yang diduduki Elvin. Tersenyum santai seolah tak tau jika perempuan di depannya ini sedang menggeram frustasi. Merasa semesta sedang meledeknya berkali-kali dengan mempertemukannya lagi dengan pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN