Entah ini hanya perasaan Elvin atau bagaimana. Ia merasakan langit Bali malam ini lebih pekat hitamnya dari hari-hari sebelumnya yang ia tau. Hari-hari dimana ia masih menetap di rumah peninggalan kakeknya didaerah Uluwatu. Jadi, apa pekatnya malam ini terkesan buruk? Absolutely not!
Ervan yang notabene menjadi pria paling berpengaruh di hatinya, ini berdiri tegak dihadapannya. Bukan tegak sih, tapi sedikit membungkuk dengan bertopang pada sebelah tangan yang menekan meja didepan Elvin.
"El.." suara berat Ervan sukses membuat gemuruh dijantung Elvin.
Sungguh, yang berdiri dihadapannya kini masih sama dengan pria yang tiga belas tahun silam yang ia temui. Pertemuan terakhir yang tak pernah ia lupakan hingga kini. Bagaimana bisa lupa, jika di malam perpisahan itu Ervan berhasil mencuri ciumàn pertamanya.
Sebenarnya, Ervan pun rasanya sulit percaya jika takdir mempertemukannya lagi dengan wanita yang bertahun-tahun lalu pernah membuat hatinya bergetar. Gadis kecil nan lugu itu kini bertransformasi menjadi wanita yang sangat cantik. Lihat saja binar matanya yang masih seceria dulu, pipi tembam nya pun masih sama meski kini merahnya karena usapan blush on. Terlihat sekali Elvin yang sekarang adalah wanita yang sangat pintar merawat kecantikannya.
Ervan beberapa kali mengamati Elvin dari akun sosial media miliknya. Memang cantik, tapi bertemu dan berhadapan sangat dekat seperti sekarang menyadarkannya bahwa kecantikan itu berkali-kali lipat memang nyata menghiasai netranya.
Melemparkan senyum simpul, Ervan menarik mundur kursi kayu disebelahnya. Lantas dengan gerakan cepat ia duduk berhadapan dengan Elvin yang sedari tadi mematung tanpa suara.
"Elvin? Kamu apa kabar?" tanya Ervan lagi, kali ini ia mengulurkan sebelah tangannya berharap akan mendapat balasan dari perempuan cantik didepannya.
"Eh iya bang, eh Van."
Elvin tergeragap. Usia Ervano Bhalendra memang 7 tahun diatasnya, tapi ia lebih sering memanggilnya hanya dengan nama. Atau dengan bie alias libie, yang artinya kesayangan. Tapi itu dulu, dulu sekali. Sebelum negara api menyerang dan memisahkan mereka. Meninggalkan serpihan luka dihati Elvin, namun entah bagaimana dengan hati Ervan.
"Aku baik." lanjut Elvin lagi setelah membuang nafas panjang. Wanita itu mengukir senyum tipis lantas membalas uluran tangan Ervan. Padahal dalam benaknya ia sangat ingin berlari dalam pelukan pria tinggi itu. Tapi kan.... Ah.. sudahlah.
Ervan membalas senyuman Elvin dengan sangat manis. Ceria. Dan tampak bahagia sekali raut wajahnya. Seperti balita yang baru saja mendapat hadiah permen kesukaannya
"Kenapa gak kasih kabar kalau ke Bali? Kan bisa aku jemput di bandara." ucap Ervan santai.
"Hmm.. itu, dadakan sih jadi gak sempat kasih kabar." dusta Elvin, padahal ia jelas-jelas tau seminar yang diadakan besok sudah direncanakan jauh-jauh hari.
"Sendirian aja nih?"
"Kesininya sendiri, tapi aku ke Bali sama editor aku kok."
"Kenapa editor mu gak diajak ke cafe aku juga?" tanya Ervan dengan senyum santai, senyum yang belasan tahun mampu membuatnya luluh. Sekarang juga masih sih... Eh?
"Dia lagi kencan, ya kali aku gangguin." Elvin meremas ujung sweaternya demi meredam gugup.
"Eh bentar? ini cafe kamu?" Elvin baru menyadari perkataan terakhir Ervan.
"Hmmm... kan aku udah pernah cerita kalo aku kelola cafe di Bali."
"Iya tapi kata kamu di daerah Ngurah Rai kan?" Elvin memastikan lagi.
"Yang di Ngurah Rai itu yang baru buka El. Kalau yang ini cafe pertama aku."
"Aaah... I see."
Bagus Elvin, mati-matian ia menjauh dari kawasan Ngurah Rai karena khawatir bertemu dengan Ervan. Dan ternyata, disinilah sekarang ia terdampar. Berhadapan dengan pria yang menguasai hatinya di tempat yang dimiliki pula olehnya.
"Udah pilih menu?"
"Udah, tuh kayaknya selesai." Elvin mengendikkan dagu pada waitress yang tengah tersenyum ramah dan berjalan mendekati mejanya.
"Silahkan Iced Salted caramel coffe dan lasagna roll pesanannya." ucap sang waitress dengan nametag 'Audy' di dadà kanannya.
"Terimakasih."
"Audy, bawakan saya baumkuchen green tea ya. Dua." titah Ervan pada waitress cafenya.
"Kamu masih suka caramel coffe ya El?" Ervan beralih menatap Elvin sambil menopang dagu dengan sebelah tangannya.
"Hmm... masih. Gak tergantikan sih."
Seperti kamu kan Van, gak tergantikan. Lanjut Elvin dalam hati.
"Barusan aku pesenin cake terlaris disini. Semoga kamu suka. Aku sendiri yang bikin."
"Serius kamu bikin sendiri?"
Elvin tak yakin. Tapi melihat lawan bicaranya mengangguk mantap, hati kecilnya mendadak meyakini bahwa yang dikatakan pria didepannya ini benar adanya.
"Kamu beneran jadi chef hebat ya, jadi inget cerita kamu dulu yang punya mimpi buka restoran sendiri dan jadi chef disana."
"Hmm.. gak nyangka sekarang jadi kenyataan. Bukan restoran seperti bayangan awalku dulu sih, tapi cafe cozy seperti ini gak kalah dengan imajinasi ku yang sebenarnya." Ervan menoleh ke kanan dan kiri seolah mengamati lagi cafe miliknya.
"Jangan-jangan lasagna ini juga bikinan kamu sendiri?" Elvin menghentikan gerakannya memotong lasagna roll di piring kecil dihadapannya.
"Ya.. begitulah kira-kira. Cobain deh." jawab Ervan menyipitkan matanya.
"Enak. Serius ini enak banget Van." Elvin mengangguk-angguk sambil mengunyah potongan lasagna dalam mulutnya.
"Abis ini kamu cobain baumkuchen cake, pasti lebih enak lagi." saut Ervan dengan senyum mengembang penuh kebanggaan.
"Belum ada sehari aku di Bali udah bisa naik berkilo-kilo nih berat badanku." Elvin tergelak.
"Nggak laah, rendah lemak semua kok ini. Aman deh berat badan kamu."
"Eh... Van gimana kabar keluarga? Mama, Papa. Sehat semua kan?"
"Syukur alhamdulilah sehat semua, mama papa pindah ke Singapura, ikut kak Sashi. Yang stay di Bali tinggal aku aja."
"Anak udah berapa Van?" tanya Elvin basa-basi, padahal ia sendiri sudah tau Ervan memiliki seorang putra.
"Masih satu, cowok."
"Nambah lah... cewek gitu satu lagi."
"Kamu aja yang nambah duluan, kamu kan masih muda, anak masih satu juga kan. Cewek ya?"
"Iya cewek, Malika namanya." kata Elvin tersenyum karena sekilas mengingat senyum ceria sang putri.
"Kak VIIINN...!!!"
Suara tak asing menginterupsi pembicaraan mereka. Membuat Elvin dan Ervan kompak menoleh ke sumber suara. Tampaklah Melisa yang baru masuk area cafe diikuti Bayu dibelakangnya.
"Mel.." Elvin hanya melambaikan tangan pada Melisa yang bergandengan tangan dengan Bayu, tunangannya. "Dia editorku Van." bisik Elvin pada Ervan yang ikut menoleh.
Meli menghampiri Elvin, tangannya penuh dengan paper bag berbagai merk, menandakan sekali gadis itu sudah menghabiskan waktu dengan kalap berbelanja. Meninggalkan Bayu yang berhenti di meja kasir nampak memesan sesuatu untuk langsung dibawa pulang.
"Ngapain?" tanya Elvin begitu Meli berdiri disebelah kursinya.
"Capek abis keliling shopping, mas Bayu minta beli minum tuh." jawab Meli dengan nada manja.
"Manja..!" desis Elvin mencibir.
"Bodo amat manja ke laki sendiri juga, bukan laki orang." balas Meli.
"Eh.. Mel, kenalin ini te—"
Belum selesai Elvin dengan kalimatnya, Meli sudah mencolek dagunya dengan lirikan menggoda.
"Naah gitu dong kak Vin, keluar kamar, hangout, biar gak ngenes banget jadi jomblo akut. Siapa tau dapet cowok ganteng buat dijadiin ayah barunya Malika. Iya kan? Kayak yang ini mungkin co—" lirikan Meli berpindah pada sosok Ervan yang terlihat sedikit terkejut dengan kalimat panjangnya.
"Melisa...!!! Mulut lo please." potong Elvin sudah memasang wajah garang sekaligus kecewa dengan kecerewetan Meli yang setara dengan kecepatan cahaya.
"Eh kenapa mulut gue?" Meli menutup mulut tak menyadari kesalahannya.
"Laknàt..!!" desis Elvin mencubit lengan Meli.
"Iiih... Dasar janda baperan." cibir Meli lirih namun tetap tertanggal pendengaran Ervan.
"Sayang... lanjut yuk." panggil Bayu dari belakang punggung Meli. Gadis itu langsung beringsut mundur dan berpamitan pada Elvin tanpa mengindahkan sosok pria yang duduk diseberang atasannya.
"Sampai ketemu besok ya Bu boss. Bye... muuach." pamitnya setelah mencium kedua pipi Elvin.
Selepas kepergian Meli, keheningan mulai melingkupi Elvin dan Ervan. Elvin mencoba menghabiskan baumkuchen cake yang sengaja dipesan Ervan.
"Enak banget ini Van, makasih ya udah dijamu dengan makanan seistimewa ini."
Elvin menelungkupkan garpu kecilnya. Dan hendak mengangkat tangan memanggil waitress untuk membayar tagihannya. Namun segera ditahan oleh tangan besar Ervan. Pria itu menggeleng, tanda tak setuju.
"Kayak apa aja sih El, sampai kapanpun kamu gak akan aku bolehin bayar kalau makan minum disini, dan di cafe ku yang lain." decak Ervan menatap lurus sepasang mata kelam milik Elvin.
"Hmm..." Elvin memaksakan senyum dan membalas tatapan pria yang diam-diam dicintainya ini. "Makasih banyak yaa... jadi betah nih kalo ditraktir seumur hidup gini." Elvin terkekeh kecil.
Sedetik kemudian ia merapikan tas kecilnya. Memasukkan dompet dan ponsel yang tergeletak di atas meja.
"Aku pamit Van, besok harus prepare acara pagi banget."
Ervan menyadari jika sejak kepergian Meli tadi, Elvin sengaja menghindari tatapannya. Baru beberapa saat sejak Elvin berdiri dan hampir melangkahkan kaki. Tangan besar Ervan menahan lengan atas Elvin. Membuat perempuan bersurai panjang itu berhenti. Mematung. Dengan jantung yang tak bisa diajak berkompromi sama sekali.
"Rega kemana El?"
.
.
24/4/2021
➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜➜
Mulut Meli emberrrr nih, jadi keceplosan kaaan kalo Elvin jomblo beranak satu alias jendesss. ( ꈍᴗꈍ)
Love you all guys,
mbak Li ( ˘ ³˘)♥