03 : Before the Concert

1730 Kata
“Makasih, Mbak Sisil,” ucap Aura disertai acungan jempol. Tatapannya terlalu fokus pada layar laptop, seolah menoleh sedikit saja maka konsentrasinya akan buyar. Mumpung lagi mood mengerjakan tesis, Aura tidak ingin mebuang waktunya barang sedikit pun. “Bilang sama mom, aku nggak bisa diganggu sampai satu jam ke depan. Okay?” “Okay.” Mbak Sisil tersenyum tipis, “Panggil aja kalau butuh sesuatu. Mbak di ruang santai sama ibu.” Melihat Aura mengangguk, Mbak Sisil langsung beranjak pergi setelah menambah beberapa derajat suhu pendingin ruangan. Kamar kembali tenang seperti sebelumnya. Aura menyukai suasana seperti ini, karena otaknya lebih produktif dalam keadaan senyap. Jika sebagian orang senang mengerjakan sesuatu ditemani musik, maka Aura sebaliknya. Dia pikir itu sangat berisik. Alih-alih ide mengalir lancar, yang ada justru mengalami kebuntuan. Jam menunjukkan pukul setengah dua, artinya setengah jam sudah dia berkutat mencicil tugas akhir pascasarjananya. Siapa sangka Aura bisa mencapai tahap ini. Padahal kalau diingat-ingat, setelah menamatkan strata satu dia pernah bilang pada Dennis dan Asmaya untuk tidak melanjutkan pendidikan lagi. Belajar membuat Aura kelelahan, padahal waktu itu dia tidak mengikuti organisasi apa pun. Hanya sebatas mahasiswi kupu-kupu, dikatakan pintar juga tidak terlalu. Namun, melihat latar belakang pendidikan Diaz yang mengagumkan entah kenapa membuat Aura mendadak termotivasi. Dia jadi ingin setara, supaya layak bersanding dengan kakaknya. Walaupun Diaz terlalu luar biasa untuk disamakan dengan Aura yang biasa-biasa saja. Sejak saat itu dia bertekad untuk lanjut ke jenjang S2. Untungnya Dennis dan Asmaya termasuk orang tua yang selalu mendukung keputusan putra-putri mereka. Asal tidak melanggar norma, maka semuanya sah-sah saja. Dalam proses menuju setara versi Aura, tentu saja segala yang dilalui tidak mudah. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak dia mengeluh, bahkan berkali-kali bilang pada Asmaya ingin menyerah dan berhenti saja. Namun, bukan Aura namanya kalau dia benar-benar merealisasi ucapan putus asanya. Dikenal karena memiliki sifat pantang menyerah membuat Aura berhasil melalui kesulitannya. Demikian cerita singkat perjalanan Aura dalam meraih gelar megisternya. Agak sedikit konyol memang, tetapi begitulah adanya. Diaz bukan kakak yang baik, dia tidak pernah bicara lembut pada Aura. Namun, Aura selalu ingin dilirik olehnya. Hingga tanpa sadar Aura melakukan sesuatu dengan menjadikan Diaz sebagai alasan. Mungkin karena haus pengakuan kakaknya, Aura akan melakukan apa pun dan tidak akan berhenti sebelum Diaz menerima keberadaannya dan menyayanginya. Saat menyadari sirup melonnya habis, Aura menghentikan gerak jarinya di atas keyboard. Sekalipun kepalanya sedang merancang berbagai kalimat dan harus ditulis secepat mungkin sebelum kelupaan, Aura tetap tidak mau melanjutkan. “Ah, haus,” gumamnya seolah kaget. “Padahal sedikit lagi selesai.” Satu hal yang perlu diketahui. Dalam situasi genting sekalipun, makanan dan minuman tetap jadi prioritas utama. Selebihnya tidak ada lagi. Aura mudah blank kalau tidak mengunyah sesuatu. Mulutnya harus penuh kalau jarinya ingin lincah bergerak. Tenggorokannya harus basah kalau ingin segera menyelesaikan pekerjaan. “Mbak Sisil, tambah sirupnya!” teriak Aura. Pintu kamarnya tidak ditutup, harusnya Mbak Sisil bisa dengar. Apa lagi jarak antara kamar dan ruang santai tidak terlalu jauh. “Aku haus! Nggak bisa lanjut kalau nggak minum!” Satu, dua ... sepuluh detik berlalu, tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan Mbak Sisil. Aura otomatis mengerucutkan bibir, merasa tidak ikhlas saat memutuskan beranjak dari ranjang. Ada jeda sejenak, takutnya nanti Aura jadi malas kalau mau lanjut lagi. Padahal belum genap satu jam dari waktu yang ditetapkan. Dia menargetkan hari ini harus selesai revisi dan menambah beberapa bagian di bab empat. Supaya besok bisa dicek lagi, lalu Kamis siangnya bisa bimbingan. “Mbak Sisil!” panggil Aura lagi begitu melewati pintu. Niatnya ingin langsung ke ruang santai, tetapi langkah Aura mendadak terhenti saat berpapasan dengan Diaz tepat di depan kamar pria itu. “Lho?” Aura refleks menunjuk Diaz tepat di depan mukanya. “Kok Kakak udah di rumah? Ini ‘kan belum jam pulang?” Alih-alih menjawab, Diaz justru mendorong jari Aura. “Berisik. Ini bukan hutan.” Kemudian tatapannya memindai tubuh Aura dari atas sampai bawah. “Kenakan pakaian sopan sekalipun di rumah. Kau bukan anak-anak lagi.” “Aku nggak keluyuran, Kak. Ini cuma mau nyari Mbak Sisil.” “Apa susahnya menurut? Satu hal lagi, jangan manja! Kaubisa membuatnya sendiri tanpa dibuatkan orang lain.” “Itu ... aku lagi sib–” “Buat sendiri!” putus Diaz. Di bawah tatapannya yang tajam, Diaz memerintah Aura dengan kedikkan dagu, seolah mengatakan; “Cepat ke dapur! Aku mengawasimu sampai selesai!”. Kalau sudah begini, jangankan menjawab membuka mulut saja Aura tidak berani. Diaz itu diktator. Membantah kata-katanya, maka siap-siap saja disembur kalimat pedasnya. Dengan ragu-ragu Aura berjalan lebih dulu. Sesekali dia memberanikan diri melirik Diaz, mengamati penampilan serta apa yang Diaz pegang di tangan kanan. Sepertinya ada berkas yang tertinggal. Map yang Diaz bawa sudah menjelaskan segalanya. Kebetulan tadi Diaz akan balik ke kantor kalau saja tidak berpapasan dengan Aura. Sesampainya di dekat kitchen set, Aura mendadak kebingungan memulai. Bahkan untuk sekadar mengambil gelas saja dia lupa karena saking bingungnya. Area dapur memang sering Aura kunjungi, tetapi tidak untuk tahu letak bahan makanan dan minuman. Maksudnya, terbiasa dilayani membuat Aura tidak memperdulikan itu semua. “Aduh, di mana botol sirupnya?” Diaz mengawasi, tadinya. Namun, tidak lagi setelah merasa waktu terbuang percuma dan kesabarannya sudah habis. Tanpa bicara Diaz meletakkan map di meja konter, mendekati Aura kemudian memegang kedua tangannya dalam posisi yang bisa dikatakan memeluk. Diaz menuntun Aura mengambil gelas dan sendok, berikut botol sirup di kabinet atas, lalu es batu di dalam kulkas. “Sifat manjamu sudah melampaui batas. Harusnya Sisil dipecat, dengan begitu kau melakukan semuanya sendirian.” “Jangan, Kak. Nggak boleh!” Aura merasa panik mendengarnya. Dia menarik kedua tangan berharap bisa lepas, tetapi genggaman Diaz terlalu erat. “Aku mau belajar mandiri! Mbak Sisil yang ajarin, jadi jangan pecat!” Setelah jus selesai dibuat baru Diaz menjauhi Aura. Mereka saling pandang, tentunya Diaz selalu mengintimidasi Aura dengan tatapan tajamnya. “Aku janji ...” lirih Aura penuh permohonan. Namun, Diaz tidak bicara lagi. Dia mengambil mapnya, setelah itu lekas beranjak pergi. Mata Aura langsung berkaca-kaca. Setelah menghirup napas banyak-banyak, Aura mengusap dadanya berulangkali untuk menenangkan degup jantung yang tidak beraturan. Tadi rasanya menegangkan sekali. Aura harus menepati janji kalau tidak ingin mengalami hal serupa di kemudian hari. *** Malam konser yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Dennis tetap membelikan tiket untuk dua orang, tentu saja tanpa sepengetahuan Diaz. Dennis meyakinkan putrinya kalau malam ini Aura dan Sisil bisa pergi sekalipun harus sembunyi-sembunyi. Intinya selagi dia dan Asmaya mengizinkan, maka Aura bebas ke mana pun asal ditemani Sisil dan pulang di jam yang sudah ditetapkan. Betapa senangnya Aura mendengar hal itu. Dia memeluk Dennis dan Asmaya bersamaan, lalu setelahnya berlari menuju kamar Mbak Sisil untuk memberitahu sekaligus memintanya bersiap-siap. Aura terlalu bersemangat sampai-sampai dia hampir tersungkur begitu melewati belokan. Jempol kakinya terasa nyut-nyutan karena terantuk keramik, tetapi rasa sakit langsung terlupa saat teringat tujuan awal. “Mbak Sisil, kita jadi pergi!” pekiknya tepat di depan pintu. “Setelah ganti pakaian, susul ke kamarku, ya!” Tanpa menunggu pintu dibuka atau pun jawaban, Aura langsung beranjak pergi lagi. Kali ini tujuannya lantai dua di mana kamarnya berada. Mumpung Diaz belum pulang, mereka harus pergi sekarang. Urusan dimarahi itu belakangan, yang penting Aura bisa melihat tujuh bujangnya secara langsung walaupun hanya dari kejauhan. *** Aura bagai anak hilang di tengah kerumunan. Dia tidak terlalu akrab dengan tempat ramai dan harus diuji mental saat menyadari seseorang yang dia pegang sejak tadi bukanlah Mbak Sisil, melainkan orang lain. Betapa malunya Aura karena hal itu. Dia bahkan meminta maaf berulangkali dan untungnya orang tersebut tidak keberatan sama sekali. Setelah insiden yang memalukan, Aura kembali tersadar kalau dia terpisah dari Mbak Sisil. Area depan stadium sudah dipadati dari berbagai kalangan, tentu akan sulit mencari seseorang di antara sekian banyak orang. Memikirkan hal itu membuat Aura cemas. Konser yang bahkan belum dimulai mendadak tidak membuat Aura tertarik lagi. Saat ini yang paling dia inginkan adalah bertemu Mbak Sisil, lalu menenangkan diri sampai kecemasannya hilang. Umur Aura 25, tetapi usia baginya hanyalah angka. Dia tidak ada bedanya dari remaja yang awam mengenai dunia luar. Keprotektifan Diaz membuat Aura lebih sering berada di rumah ketimbang mengetahui lebih banyak seluk-beluk kota tempat mereka tinggal. Itu sebabnya dia terlihat seperti perempuan tidak bisa apa-apa di umur yang mengharuskan bisa bersikap dewasa. Aura segera menuju tempat yang lenggang untuk menenangkan diri. Setelah pikirannya kembali jernih, Aura segera mengambil ponsel di dalam ranselnya. Ada tiga panggilan tak terjawab dan tujuh pesan dari Mbak Sisil. Saat ingin melakukan panggilan balik, Aura kaget mendapati nama Diaz muncul di layar. Ini bukan kali pertama, tetapi percayalah Diaz selalu muncul di saat Aura mengalami kesulitan. “Kakak,” lirih Aura setelah menerima panggilan. “Aku sama Mbak Sisil–” “Di mana?” Hanya kalimat singkat. Namun, Aura merasa seolah ada angin segar bertiup ke wajahnya. “Di ... samping pilar dekat pintu masuk,” jawabnya setelah celingak-celinguk. “Maafin aku. Mungkin karena pergi nggak izin, hasilnya jadi kayak gin–” Sambungan diputus sepihak oleh Diaz. Di tengah rasa penyesalan, Aura dibuat mengerucutkan bibir oleh tingkah kakaknya. Dia kira Diaz akan bicara panjang lebar, atau setidaknya mengomel saat tahu Aura tidak ada di rumah. Nyatanya tidak, pria itu justru tidak perduli. Aura memilih tidak berharap apa-apa. Keinginan untuk menelpon Mbak Sisil langsung padam, berganti dengan hanya sekadar mengiriminya pesan. Bertemu atau tidaknya mereka, Aura memutuskan tidak akan beranjak dari tempatnya duduk. Setelah konser berakhir baru dia pulang. Tidak mengenal jalan bukan berarti dia bodoh, Aura masih punya otak untuk berpikir dan punya mulut untuk bertanya. Terlebih ada ponsel yang membantunya untuk selamat sampai tujuan. Untung perbekalannya cukup lengkap. Jadi ketika merasa haus, Aura langsung mengambil air mineral dalam tas. Dia bahkan punya cokelat, jaga-jaga kalau merasa lapar. Pasalnya di dalam nanti mereka akan teriak-teriak sampai tenggorokan sakit. Saat minum, dia nyaris tersedak saat menangkap keberadaan Diaz di tengah kerumunan. Tinggi badan yang mencolok membuat Aura mudah mengenalinya sekalipun jarak mereka terpisah puluhan langkah. Dalam keadaan mata melotot Aura langsung berdiri, bahkan lupa memasang tutup botol air mineralnya saat melangkah tergesa-gesa menghampiri. “Kakak?!” Itu panggilan kaget. Namun, saat ingin melanjutka kalimat, tangan Diaz sudah lebih dulu merengkuh Aura ke dalam pelukan. “Perempuan bodoh! Kau membuatku khawatir!” Aura tidak bisa berkata-kata, kedua tangannya bahkan menggantung di sisi tubuh Diaz. Untuk sejenak dia tidak bisa memikirkan apa pun, tetapi Aura menghangat saat mengingat kembali kalimat Diaz. Ah, kakaknya mengkhawatirkan Aura. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN