Seno mendengus kesal. "Kenapa aku bisa punya anak seboddoh ini?" Ia menggelengkan kepalanya. "Apa kamu bisa mencari pria yang bisa menyukaiku dan anakmu? Bisa menjalankan perusahaan? Kau selalu mengumpulkan sampah, Clarissa! Tampan, tapi miskin! Juga penjillat! Kalau kau menikah dengan mereka, bukan saja kamu yang hancur tapi juga keluarga ini!"
"Nicko orang baik, Ayah." Clarissa membelanya.
"Mana ada orang baik yang suka pergi ke bar dan meniduri istri orang! Kau terlalu naif, Rissa. Kau terlalu naif!"
Merah padam wajah Clarissa mendengarnya. Ayahnya telah tahu perselingkuhannya. Sia-sia ia menutupi. Sebentar lagi ia akan kehilangan pria itu entah ke mana.
Seketika Clarissa jatuh berlutut sambil menyatukan kedua tangan. "Ayah, jangan apa-apakan Nicko, Ayah. Jangan buang dia keluar kota atau ke tempat lainnya ...," pintanya.
Seno menaikkan satu alisnya. 'Apa dia coba mengira-ngira?' "Buat apa kamu memohon untuknya? Apa agar kau bisa bertemu lagi dengannya di belakang ayah?"
"Ayah, bukan begitu ...." Clarissa tertunduk. Sebelumnya sudah berapa kali ia sempat berselingkuh dan semua pria yang berhubungan dengannya selain Abi, hilang lenyap tak berbekas. Clarissa tak pernah lagi bisa mencari mereka di mana pun, seolah ditelan bumi. Tak bisa dihubungi dan tak tahu harus mencari ke mana.
"Kamu tahu, ayah tak suka basa basi. Suamimu hanya Abi dan tidak ada lelaki lain yang boleh mengganti posisinya, kau dengar itu, Clarissa?!" Seno heran, anak satu-satunya tak bisa mencari pria dengan benar.
Ia tak sengaja bertemu dengan Abi di sebuah perkumpulan bisnis dan ia mengetahui pria itu sedang kesulitan keuangan. Setelah diselidiki, Seno kemudian menawarkan jasa melunasi utang-utang Abi asalkan pria itu mau menikah dengan anaknya yang saat itu diketahui hamil tanpa suami. Pria yang menghamili Clarissa malah meninggalkannya. Clarissa masih menutupi identitas pria itu hingga kini.
Di mata Seno, Abi adalah pria yang jujur. Selama menjalankan perusahaan, bisnis berjalan baik dan Abi hanya mengambil apa yang sudah menjadi haknya, padahal ia bisa meminta lebih. Apalagi, Abi terlihat sayang pada Enri dan sangat santun padanya. Beberapa kali ia sakit, menantunya itulah yang menemani. Kadang ia berharap Abi adalah anaknya, karena Clarissa sama sekali tak bisa diandalkan untuk keluarga. Namun, takdir tak bisa diubah. Setidaknya Seno harus berumur panjang agar bisa memastikan Abi takkan menceraikan Clarissa sepanjang hidupnya.
****
Abi terbangun. Matanya terbuka di sebuah ruangan yang tak ia kenal. Sejenak ia bingung karena bukan berada di tempat tidur melainkan ... dipangkuan Yasmin. Yasmin sendiri tengah tertidur dengan duduk bersandar di sofa. Semua pasti karena dirinya.
Diingat-ingat lagi kenapa ia ada dipangkuan gadis itu. Teringat terakhir kali mereka sedang berbincang dan ... ia pingsan? Karena itukah ia ada dipangkuan gadis ini? Kenapa ia tidak dipindahkan ... ah, mungkin karena tubuhnya terlalu berat untuk seorang wanita memindahkannya sendirian.
Dengan pelan Abi duduk. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan memperhatikan wajah sang istri. Ternyata penglihatannya sudah mulai membaik walau belum pulih benar. Ia sudah bisa melihat wajah istrinya walau tidak begitu jernih. Gadis itu begitu cantik. Apa ia sudah punya pacar? Abi belum pernah menanyakan hal ini sebelumnya.
Terlihat dahi gadis itu berkerut. Abi panik. Apa Yasmin akan bangun? Ia tak tahu harus melakukan apa. Namun kemudian ia kembali ke posisi semula, dengan meletakkan kembali kepalanya di pangkuan Yasmin. Ketika gadis itu membuka mata, Abi buru-buru memejamkan matanya. Yasmin menyadari ia telah tertidur cukup lama. Dilihatnya lagi, sang suami masih menyandarkan kepalanya di pangkuan dengan mata tertutup. Yasmin hanya bisa menghela napas. Abi begitu nyaman berada dipangkuan istrinya hingga tak sadar telah tertidur kembali dengan nyenyaknya.
****
Seno dan Enri datang pada saat Abi tengah diperiksa oleh dokter.
Enri begitu senang bertemu lagi dengan ayahnya. "Papi ...!" Tapi ia heran dengan kepala Abi yang diperban. "Papi, kepalanya kenapa?"
Abi hanya menatap Enri dan memberi senyum kecilnya.
"Bagaimana, Yasmin, dengan Abi?"
Yasmin terkejut, Seno bertanya padanya. Ia belum pernah bicara dengan pria ini walaupun sudah bertemu muka. "Eh, ma-matanya sebelah tidak bisa melihat." Ia begitu gugup bicara pada pria ini.
"Buta maksudmu?" Seno terkejut.
"Eh, bukan buta, Pak." Dokter itu mengambil alih pembicaraan. "Hanya kabur. Rupanya saraf penglihatan tertekan oleh luka yang sedikit membengkak di atasnya. Tapi bengkaknya sudah mulai pulih, begitu juga penglihatannya, jadi sebentar lagi juga akan pulih semua."
"Alhamdulillah, terima kasih, Pak." Seno sudah bisa tersenyum.
"Hari ini sudah bisa pulang. Mungkin sudah bisa mengurus administrasi. Sebentar aku buatkan resep. Tiga hari lagi kemari untuk memeriksa lukanya."
Yasmin kemudian mengikuti dokter dan suster ke bagian administrasi. Enri yang berulang kali ingin memanjat brankar tapi tak bisa, akhirnya dibantu kakeknya naik ke atas ranjang hingga bisa memeluk Abi. Bocah itu begitu riang dengan menjatuhkan tubuhnya pada dadda Abi.
"O-o-o, Enri." Abi memeluk bocah itu dengan senyum lebar.
Seno tak pernah melihat senyum Abi yang terlihat bahagia. Ia harus akui istri baru Abi membuat menantunya lebih bahagia dibanding dengan anaknya sendiri. Ia tahu kini, Abi pasti tak bahagia bersama dengan Clarissa. Namun demi anak keturunannya, ia tak bisa melepaskan pria ini begitu saja. "Kau mau langsung pulang?"
"Aku mau mengecek pekerjaan di kantor dulu. Tapi karena penglihatanku kurang jelas, bisakah aku membawa Yasmin ke kantor?"
****
"Mas, kita ke mana? Ke mal? Katanya temani Mas kerja?" Yasmin memperhatikan, mobil bergerak ke arah mal yang ada di depan.
Abi tersenyum kecil. "Kantorku ada di dalam Mal ini."
"Mas pemilik Mal ini?" Yasmin masih terperangah. Ia tidak tahu suaminya berbisnis apa.
"Hanya salah satunya saja, tapi aku hanya mengelola punya mertua," jawab Abi merendah.
Yasmin masih terpukau melihat Mal yang mewah ini. Di tempat tinggalnya tidak ada Mal yang sebagus ini, tentu saja ia terperanjat, mengagumi.
Satu hal yang membuat Abi senang, selain datang ke sana bersama Yasmin, gadis itu memegangi lengannya agar tak salah jalan. Padahal kini Abi bisa melihat dengan lebih jelas dibanding kemarin walaupun belum pulih benar.
Dibanding menuntun, Yasmin lebih mirip menggandeng suaminya pergi ke tempat kerja di lantai paling atas. Sambil berjalan, ia mengagumi tempat-tempat yang dilalui.
Hal ini tak luput dari perhatian Abi. "Apa setelah ini kita belanja?"
"Apa? Belanja? Belanja apa?"
"Apa saja yang kau mau. Bukankah wanita suka belanja? Kau ingin beli apa?"
Ditanya begitu wajah Yasmin tersipu sekaligus senang. "Apa ya." katanya menyembunyikan wajah.
Abi tersenyum gemas melihat istrinya yang terlihat senang belanja walau malu mengakuinya.
Lift yang sebagian terbuat dari kaca itu tiba-tiba berhenti karena ada orang yang masuk ke dalam lift. Yasmin terlihat panik dan mendekatkan tubuhnya, saling berhadapan dengan sang suami. Abi meraih tubuh istrinya dan mendekapnya karena jumlah orang yang masuk ternyata banyak.
Ada sepasang suami istri muda yang menggendong seorang anak kecil di dekat mereka. Anak perempuan itu memperhatikan Yasmin dan Abi. Ketika lift bergerak naik, anak itu berceloteh. "Ayah, dia pelukan, Yah!"
Banyak mata menoleh pada Yasmin dan Abi membuat Abi salah tingkah. Yasmin yang gugup terlihat bingung.
"Dina, jangan usil sama orang ya, Sayang." Untung saja ayah anak itu memarahi anaknya. Pria itu menganggukkan kepala dengan sopan pada Abi.
Abi bisa memaklumi. Di perhentian berikutnya ternyata semuanya keluar selain Abi dan Yasmin. Abi lega hingga bisa melepas Yasmin yang terlihat sedikit malu. "Kamu tidak apa-apa, 'kan?"
Yasmin mengangguk cepat walau gugup. Terlihat sekali ia sempat ketakutan. Pintu lift kemudian terbuka. Mereka sudah sampai di Mal lantai paling atas.
Bersambung