Bab. 7

1293 Kata
 Tidak sulit bagi Ben untuk mendapatkan barang-barang berharga yang mahal. Selera Ben cukup tinggi. Bahkan sejak kecil ia sudah menggunakan banyak fasilitas mahal dan barang mewah dari Paman Andreas untuknya, hingga ia mendapatkan penghasilan sendiri dari pekerjaan misi memburu target.   Selain itu, Ben memiliki usahanya sendiri dalam bisnis perdagangan. Beberapa orang kepercayaannya dengan sangat baik menjalankan bisnis tersebut dan mampu menghasilkan omset berjumlah fantastis. Modal yang Ben berikan adalah warisan dari Paman Andreas, yang ia kembangkan menjadi bentuk usaha baru. Tidak ada yang tahu soal itu, selain orang-orang kepercayaannya. Jadi, mudah saja bagi Ben jika ia memborong perhiasan mahal untuk Nayla. Sayangnya, Ben masih belum percaya sepenuhnya pada gadis itu.   Namun, Ben tidak keberatan akan memberikan kejutan-kejutan kecil setiap perjumpaan mereka, sesuai janjinya, Ben akan menjemput Nayla di kampus siang ini.   Ben melihat Nayla sudah berdiri di depan gerbang kampus menunggunya datang. Ia terlihat cantik menggunakan baju terusan selutut berwarna putih dengan tali kecil keemasan melingkar di pinggang. Gadis itu tampak gelisah, beberapa kali ia melirik arloji di tangannya, dan sesekali mengibaskan rambut ke belakang.   Ben menghentikan motor tepat di depan Nayla. Membuka helm, dan menggodanya, "Ojeknya, Mbak?"   Nayla baru menyadari laki-laki di hadapannya adalah Ben, ia hampir tak mengenali lantaran Ben berpenampilan tertutup berwarna hitam-hitam.   "Aku pikir kamu bawa mobil." Nayla memasang tampang malas. "Pake rok pendek gini gak enak lah kalo naik motor." Nayla melihat kesekeliling, masih ramai mahasiswa lalu lalang keluar kampus. Sebagian mengelompok duduk di bawah pohon taman.   "Mobil saya lagi di bengkel, Nay. Jadi ... terpaksa pakai motor dulu. Lagipula, sama saja 'kan?" jelas Ben singkat, ia tidak mengatakan mobilnya rusak akibat serangan tembak, jika Nayla tahu ia makan pertanyaan demi pertanyaan akan meluncur dari bibirnya.   "Ya, Beda dong, Dave. Kamu tuh lebih keren kalo pakai mobil itu. Aku gak suka sama motor balap kayak gini." Nayla mengusap keningnya yang berkeringat.   "Lagian siang-siang gini pakai motor, ya debu yang panas tau nggak, sih?" cerca Nayla, tampak sekali gadis itu kesal karena Ben menjemputnya dengan motor.   Namun, Ben menjadi mengerti alasan sebenarnya mengapa Nayla itu menyukainya, terbaca sudah dari sungutan gadis itu siang ini.   Ben agak emosi. Tapi bersusah payah ia tahan. Banyak mahasiswa menatap Ben kasihan karena Nayla menolak bonceng di atas motornya.   "Nay, come on! Ini hal sepele. Tak ada hal buruk apapun, percayalah!" Ben mencoba membujuk, antara kesal dan malu karena kini keduanya jadi pusat perhatian.   Nayla masih keras kepala.   "Nay, pulang bareng, yuk!" Seseorang datang dari arah belakang dan menepuk pundak Nayla pelan.   Nayla menoleh. Lalu bibirnya tersenyum masam.   "Makasih, Dit. Tapi gue udah ada yang jemput." Nayla melirik Ben yang tengah menatap tajam ke arah Radit--teman sekelas yang naksir Nayla.   "Gebetan baru lo?" Radit memicingkan mata, "jadi ... selera lo berubah lagi?" bisik Radit di telinga Nayla.   Tangan Ben mengepal melihat sikap tak sopan Radit. Laki-laki itu terlihat tak bersahabat. Sementara Nayla, beberapa kali melirik ke arah Ben tapi tak kunjung lekas naik ke motor.   Ben bukan tipe orang yang senang bertele-tele. Ia benci situasi yang tidak jelas. Nayla sudah mengabaikannya,  sudah hampir 30 menit Ben menunggu dan terus membujuk.   "Pulanglah bersama temanmu, Nay. Saya tak cukup waktu lagi, ada hal penting yang harus saya selesaikan." Dengan tegas Ben berkata sebelum ia gas motornya melaju kencang.   Tak sempat Nayla berucap apapun, Ben sudah meninggalkannya bersama Radit yang menyeringai penuh kemenangan.   "Dave!" panggil Nayla setengah berteriak. Tapi sayang, Ben sudah menghilang.   Nayla berdecak kesal. Ditatapnya Radit tak suka.   "Rese' lo!"   ***   Ponsel Ben terus bergetar, si pembunuh bayaran itu tahu Nayla terus menghubunginya. Mungkin sebuah permintaan maaf, pikir Ben. Namun bule itu sengaja abai, ia masih belum berminat berurusan dengan perasaan konyol yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.   Ben menghempaskan tubuhnya di sofa, menyalakan televisi, berusaha mengalihkan fokus.   Ponsel Ben kembali bergetar, sengaja ia tak mengatur nada dering karena sering terganggu oleh panggilan-panggilan beruntun dari nomor tak dikenal.   "Sam?" Ben melihat nama yang menghubunginya. Ben segera menekan tombol hijau.   "Ben, gue pikir, yang nyerang lo kemaren itu salah satu anak buahnya Leo. Hati-hati, mafia-mafia itu bermaksud balas dendam Kematian bosnya." Napas Sam terdengar memburu di seberang sana.   "Sudah saya tebak sejak awal. Hanya saja, komplotan mafia itu masih belum berani menunjukkan diri." Ben berkata santai, "Tenang, Sam. Saya sudah menyiapkan semuanya setelah menghabisi Leo."   "Baguslah, gue khawatir aja. Pasalnya, info yang gue dapat, mafia itu masih berusaha mengincar lo."   "Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya, Kawan." Ben tersenyum lebar sekaligus menggoda Sam.   "Oh, ayolah, Ben. Jangan senang dulu. Gue cuma kasihan kalo lo mati dalam keadaan menjomblo. Hahahaha." Tawa Sam meledak, dan Ben menggerutu mendengarnya.   ***   Semalaman Ben menyusun strategi, tidak kecil kemungkinan markasnya akan diserang komplotan mafia itu, atau para musuhnya yang lain. Resiko menjadi seorang pembunuh adalah diburu dan dibunuh.   Dalam setahun belakangan, Ben sudah menghabisi sekitar 15 ketua geng atau kelompok baik kecil atau besar, dan tidak sedikit para anggota mencari keberadaan Ben. Beruntungnya, mereka nyaris putus asa karena kesulitan mencari tahu siapa si pembunuh.   Saat Leo mati, Ben menyerahkan mayat mafia itu pada Hendrik--polisi yang menyuruhnya menghabisi Leo. Sebab dialah yang bertanggung jawab atas perintahnya.   Menjelang pagi, Ben masih sibuk menyiapkan senjata. Ia tak boleh lengah, waktu istirahatnya pun hanya sebentar. Ia terus berjaga-jaga demi keamanan, meskipun tempat tinggalnya masih aman.   Pukul 07:30, Sam datang mengendarai mobil Ben, yang kemarin ia perintahkan untuk memperbaikinya. Sam jagonya di bidang automotif, baik merakit, menservis, atau memodifikasi kendaraan dengan baik. Dialah satu-satunya andalan Ben saat dibutuhkan.   ***   "Mobil ini jadi alasan kemarahan Nayla kemarin." Ben duduk berdampingan dengan Sam di rumput taman. Menatap mobil mewah Ben yang terparkir di hadapan mereka.   "Kenapa? Gegara lo nggak bawa mobil?" Sam tertawa sinis.   Ben menoleh sebentar, ia tersenyum miring.   "Kamu benar, Sam. Gadis itu bergengsi tinggi. Tapi entahlah, agak rumit memikirkan apa tujuan Nayla sebenarnya. Ia terlihat polos, dan sedikit kekanakan." Ben melempar batu kecil ke arah semak-semak di seberang jalan.   "Cewek matre!" ketus Sam, "Coba aja lo bilang kalo lo cowok melarat, terus Lo bilang tuh mobil boleh pinjem. Gak yakin gue dia bakal suka sama lo." Sam agak emosi, "yaah, kalau enggak, dia mau karena tampang."   Ben terdiam. Sam benar, kebanyakan wanita menilai harta dan penampilan. Itu yang terpenting. Mereka tak peduli si lelaki buruk rupa yang penting memiliki harta melimpah, atau ... mereka tergila-gila dengan pria tampan meski penghasilan pas-pasan. Mungkin, Ben akan menemukan seribu satu gadis yang benar-benar mencintai dengan tulus tanpa melihat bagaimana ia. Materi, ketampanan, kehidupan, masa lalu serta kekurangannya apa adanya.   Ben melihat jelas, raut wajah kesal Nayla saat di kampus. Ia terkesan enggan menyentuh motor Ben yang terlihat jelek meski sebenarnya didapatkan dengan harga tidak murah.   "Jadi penasaran gue, kayak gimana aslinya tuh cewek," kata Sam lagi.   "Sudahlah, Sam. Itu tak penting." Tangan Ben menepis angin, dan ia berkata penuh sesal, "Sorry, Sam. Harusnya kan kamu fokus sama acara pernikahan nanti."   "Santai, Bro. Itu bisa diatur."   Ben menepuk bahu Sam. "Thanks."   ***   Sam pamit pulang, dan meminta maaf karena tak bisa berlama-lama. Biasanya ia orang paling setia jadi penghuni markas menemani Ben sepanjang waktu. Tak jarang pula Sam ikut membantu sahabatnya itu mempersiapkan keperluan misi dan lainnya.   Selain Sam, Hendrik pun kerap ikut berkumpul bersama mereka, membahas seputar kriminal yang sering meresahkan masyarakat atau hal-hal lain sekadar berbagi informasi dan menugaskan misi. Namun polisi itu tak cukup banyak waktu bertemu Ben, karena tugasnya yang padat.   Ben merasa jenuh, ditambah ia masih memikirkan Nayla. Kata-kata Sam terus terngiang soal bagaimana para gadis memilih pasangan.   Susah payah Ben menepis wajah Nayla, memikirkan tentangnya, dan mengingat betapa lembutnya bibir gadis itu.   "Dasar payah!"   Ben menghempaskan diri di kursi putar dan menjambak rambutnya yang sudah panjang. Tanpa di sengaja, ia melihat pantulan dirinya sendiri di cermin besar di dinding ruangan pribadinya. Ben terlihat sangat lelah dan kusut.   "Ide bagus, Ben," seru Ben spontan, ia bangkit dari duduknya dan melakukan apa yang seharusnya sering ia lakukan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN