BAB 3 Gerhana yang Mulai Mendesak

2375 Kata
“Dead man take the steering wheel. What makes me know it’s time to cross over?” ~ Metalica * Musim gugur yang tidak seperti tahun sebelumnya. Bahkan malam ini Hannah mendapati alat pengukur suhu sudah menunjukkan suhu dua derajat Celcius. Apakah ia masih bisa tidur nyenyak tanpa selimut tebal malam ini?   Setelah kejadian tidak mengenakkan di kelas Hannah beberapa waktu lalu, gadis itu menjadi semakin pendiam. Meski ada Flo di dekatnya yang senantiasa mau berbagi kotak bekal dengan Hannah, tapi Hannah tetap merasa jika dirinya sedang dikucilkan.   Jangan lupakan Max, yang tetap tidak pernah menganggap keberadaan Hannah meski gadis itu tepat berada di depannya. Tapi, jangan berburuk sangka. Max memang menganggap semua orang di sekitarnya seperti pohon yang tak perlu diajak bicara.   Hannah menginginkan kehidupan kampus yang tenang. Bahkan ia sempat berpikir jika lebih baik tak seorang pun mengenalnya demi ketenangan masa-masa kuliahnya. Namun kejadian Max yang menggendong Hannah saat pingsan dan kejadian coklat waktu itu, membuat nama Hannah mulai menjadi buah bibir, terutama di kalangan ‘Maximal Love’.   Satu demi satu kejadian yang membuatnya geram sering bergiliran terjadi padanya akhir-akhir ini.   “Huuuft ….” Hannah mendesahkan napasnya, pikirannya cukup gelisah beberapa hari terakhir, ditambah suasana kampus yang semakin tidak membuatnya nyaman. Contohnya pagi tadi, seorang mahasiswi menjegal kaki Hannah hingga gadis itu terjatuh.   “Hannah?” Suara Mrs. Ferer terdengar dari bawah tangga.   Hannah menatap ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Tak lama kemudian, terlihat Mrs. Ferer menyembulkan kepalanya dari arah tangga.   “Hannah? Bisakah kau membeli s**u?”   “Bukankah Daddy baru saja membelinya beberapa hari yang lalu?” Hannah mengerutkan dahinya.   “Iya, memang! Tapi, siapa yang menghabiskan stok s**u dalam lemari pendingin?”   Hannah mendecak. “Kemarikan uangnya!”   “Beli saja di minimarket ujung jalan.” Mrs. Ferer berkata sambil melemparkan gulungan uang pada Hannah dari tempatnya.   Hannah tidak berusaha menangkap uang itu, ia hanya melihat gulungan hijau yang menggelinding di atas kasurnya.   Mrs. Ferer langsung turun kembali tanpa peduli dengan bagaimana reaksi putrinya.   “Hari sudah gelap. Dia memang senang sekali memerintah orang lain!” gerutu Hannah dengan wajah cemberutnya.   Ia pun menggunakan jaket bomber berwarna oranye-coklat favoritnya, lalu keluar dari kamar setelah menutup pintu.   Hannah melihat kedua orang tuanya sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing di lantai bawah. Mr. Ferer dengan kerutan dahi di atas kacamatanya serta surat kabar hari ini di tangannya, sementara itu Mrs. Ferer dengen ketel mengepul yang entah apa sedang direbusnya.   “Apa hanya s**u saja?” tanya Hannah begitu langkahnya sampai pada pijakan terbawah dari tangga.   “Jika kau mau membeli coklat juga boleh. Aku memberimu uang lebih,” jawab Mrs. Ferer tanpa menoleh.   “Kalau begitu, aku mau bir dan kacang!” jawab Mr. Ferer yang langsung mendapat sorotan tajam dari istrinya. “Ah, maksudku soda saja, dan eee … beberapa bungkus roti gandum.” Mr. Ferer tiba-tiba meralat pesanannya dan ia pun kembali membaca surat kabar sambil berpura-pura tidak tahu jika tadi ada sepasang mata yang hampir terlepas saat menatapnya.   Hannah menggeleng-gelengkan kepala. Jika dipikir-pikir, terkadang ia ingin kabur saja dari rumah dan tinggal sendiri di apartemen sewaan. Yang mungkin itu hanya bisa terjadi jika Hannah sudah bekerja.   Minimarket itu tidaklah jauh, hanya beberapa meter saja sudah dapat ia temukan. Bukan masalah jaraknya, tapi waktunya. Hannah mulai membenci jika malam datang, maka dari itu ia segera menyelesaikan tugasnya lalu kembali ke rumah dengan segera.   Tanpa perlu waktu lama, Hannah segera kembali ke rumahnya dengan sedikit tergesa.   “Emmmh … emmmh … ah …!”   Suara laknat yang siapapun juga tau, tapi kenapa ketika Hannah berjalan di trotoar yang sepi seperti ini malah mendengar suara seperti itu?   “Emmmh … I love you, Edmund!”   Hannah segera menutup mulut dengan sebelah tangannya, karena tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perlahan ia langkahkan kakinya mengikuti sumber suara. Di depannya ada sebuah gang sempit, apakah mereka melakukannya di sana?   Langkahnya semakin mendekat, Hannah mencoba mengintip melalui celah pipa yang terpasang di dekat tembok.   “Itu Edmund?” batin Hannah.   Semakin lama Hannah memperhatikan mereka, semakin dalam dan panas ciuman antara Edmund dan pasangannya.   Hannah melihat mereka sambil bergidik dan merasa tak nyaman sendiri. Sepertinya dua sejoli yang ada di sana sedang menikmati dinginnya musim gugur dengan saling menghangatkan satu sama lain.   Mereka kini menghentikan ciumannya, dan Edmund mengalihkan sasarannya pada leher sang gadis. Hannah kembali menutup mulutnya yang menganga semakin lebar, dia tidak menyangka, akankah Edmund menggigit leher gadis tersebut? Begitu pikir Hannah.   Namun itu tidak terjadi, Edmund menyeringai dan tatapannya bersirobok dengan Hannah.   “Dia melihatku!” Hannah yang terkejut melepaskan kantung belanjaannya.   Namun belum sempat usai rasa terkejutnya, ada seseorang yang menarik lengan Hannah dan membawanya pergi.   “Sial!” umpat Edmund saat ia gagal menangkap Hannah.   Padahal tidak sampai satu detik jarak antara Edmund saat menatap Hannah dan pergerakannya untuk menangkap gadis itu. Namun sayang, sepertinya makhluk yang menyelamatkan Hannah bergerak lebih cepat dari Edmund.   Hannah kini menyadari dirinya berada di sebuah kabin, yang terjadi barusan sangatlah cepat dan Hannah sama sekali tidak menyadari perpindahannya. “Apakah tadi itu lorong waktu?” tanya Hannah dalam hatinya.   “Maaf tadi aku membawamu secara tiba-tiba. Yah … sebenarnya atas perintah seseorang,” ujar seorang gadis dengan rambut berwarna hitam. Iris matanya biru, sama seperti milik Max saat ia tidak sedang marah.   “Perkenalkan aku Anneth.” Gadis itu mengulurkan tangannya.   Hannah pun menyambut uluran tangan tersebut. “Aku ---“   “Hannah, aku sudah tau.” Gadis itu tersenyum sambil mengguncangkan sedikit jabatan tangannya.   “Kalau begitu, aku minta maaf karena aku belum tau tentangmu,” jawab Hannah.   “Ah, belanjaanku!” Hannah terkejut saat ia melupakan kantung belanjaannya yang pasti saat ini sedang teronggok di trotoar.   “Maksudmu ini?” Anneth menjinjing sebuah tas kain yang merupakan kantung belanjaan Hannah, yang entah ia bawa darimana.   “Ah, ya terima kasih.” Hannah segera meraihnya dari tangan Anneth.   “Ini di mana? Aku harus segera pulang.” Gadis itu terlihat khawatir terutama saat ia menyadari jika saat ini, ia berada cukup jauh dari rumahnya.   “Aku yang akan mengantarmu pulang.” Anneth tiba-tiba menawarkan diri dan mengeluarkan sebuah kontak dengan logo kuda meringkik. “Sepertinya kau tidak akan suka jika aku mengantarmu dengan cara yang sama seperti tadi, jadi … aku akan mengantarmu dengan cara yang normal seperti para manusia lakukan.” Gadis dengan rambut sebahu itu tersenyum. “Ayo ikuti aku,” ajaknya.   * “Apakah ini kawasan gunung Rainier?” tanya Hannah sambil menebak-nebak, karena ini adalah pertama kalinya Hannah berada di sebuah hutan pada malam hari.   “Ya, memang benar!” Anneth menjawab sambil tetap fokus pada jalannya.   Saat ini mereka sedang berada di atas mobil mewah yang sedang dibawa oleh Anneth dan menuju ke tempat Hannah. Ia tidak mengerti, apa yang membuat Anneth membawanya kemari? Siapa orang yang menyuruhnya? Dan sebenarnya Anneth sendiri ini siapa? Apa jangan-jangan dia juga sebangsa dengan Edmund dan ingin mencelekainya? Batin Hannah terus bertanya-tanya.   “Aku bisa mendengarmu,” ucap Anneth dengan ekspresi riangnya.   “Aaah, eem … apa maksudmu? Aku tidak berkata apa-apa?” Hannah mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali.   “Hahaha! Hannah, kupikir dengan caraku membawamu ke kabin tadi kau sudah tahu siapa sebenarnya aku.” Anneth malah tertawa.   Hannah malah menjadi canggung dan semakin tidak mengerti.   “Maksudku, aku tau apa yang kamu pikirkan!” Anneth mengklarifikasi kata-katanya.   “Jadi …,” ujar Hannah yang ragu pada tebakannya jika Anneth sebangsa dengan Edmund.   “Ya, aku bukan manusia.” Anneth menyambung perkataan Hannah. “Aku adalah sepupu Max. Aku berasal dari bangsa yang sama dengan dia, jadi aku sama seperti Max.” Anneth menjelaskan lagi.   Hannah meneguk air ludahnya sendiri. Jadi saat ini dia sedang berada dalam mobil dengan seorang … vampir? Gadis itu pun meraba tengkuknya sendiri, untuk melindungi diri. Ia tidak berani berbicara sepatah kata pun, walau hanya dalam hati.   “Tenang saja, aku tidak akan mencuri ciuman pertamamu seperti yang Edmund lakukan!” seru Anneth seakan mengerti kekhawatiran Hannah.   “Mencium? Maksudmu?”   “Bukankah Edmund pernah berusaha menciummu?”   “Eemm,” gumam Hannah. “Mencium? Aku tidak ingat,” jawab Hannah. Karena setau Hannah, Edmund saat itu hendak menghisap darahnya, bukan menciumnya.   Mereka berdua pun saling terdiam, mobil yang mereka lalui membelah jalanan yang ada di gunung Rainier. Hannah tidak mengerti bagaimana cara Anneth menjalankan mobilnya jika kebanyakan pendaki saja mengalami kesusahan.   “Anneth, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Hannah kembali membuka percakapan.   “Apa yang ingin kau tanyakan?”   “Kenapa kau mau menolongku? Padahal, gadis yang diterkam Edmund keadaannya lebih gawat daripada aku.” Hannah mengerucutkan bibirnya.   “Maksudmu?” Anneth mengerutkan dahi.   “Ya … bukannya kalian bangsa vampir selalu ingin meminum darah manusia? Gadis tadi hampir diterkam oleh Edmund!” kata Hannah dengan sangat serius.   Anneth terdiam sejenak, dan …. “Pfft!” Ia menyemburkan tawanya mendengar pertanyaan dari Hannah.   “Hannah, apa kau percaya jika vampir selalu menghisap darah manusia?” tanya Anneth.   Kini Hannah yang malah semakin terkejut, kenapa Anneth menertawakannya? “Bukankah itu benar?” tanya Hannah.   “Kami sudah tidak seperti itu, aku, Max, dan juga Edmund. Kami tidak pernah lagi meminum darah manusia, namun ….” Anneth menghentikan penjelasannya yang masih menyisakan tanda tanya besar dalam pikiran Hannah.   “Namun,” ulang Hannah menunjukkan ketidaksabarannya.   “Namun kami menghisap energi dengan berciuman di bawah bulan. Itu artinya, kami akan berciuman pada malam hari. Lalu gadis yang bersama Edmund tadi adalah seorang vampir,” terang Anneth yang ternyata malah membuat Hannah bergidik ngeri. “Bukannya itu lebih baik daripada menghisap darah?”   “Bukankah itu artinya, para vampir telah berevolusi menjadi predator ciuman?” tanya Hannah dengan polos.   “Hahaha hahaha, pantas saja Edmund dan Max tertarik padamu. Aura murni dari tubuhmu tak dapat dielak lagi. Dan itu … predator ciuman? Istilah apa itu?” Anneth semakin tertawa.   Hannah hanya terdiam tak menimpali. Ia sangsi pada pernyataan jika Max juga tertarik padanya, karena pada kenyataannya, Max justru sering menjauhinya.   “Kami para vampir mengisi energi kehidupan dengan berciuman, baik itu dengan sesama vampir atau lebih baik dengan manusia. Dan ciuman itu dilakukan pada malam hari saat bulan sudah muncul,” jelas Anneth. “Lalu energi terbesar akan kami dapatkan jika kami berciuman di malam gerhana bulan,” lanjutnya.   Tanpa mereka sadari kini mobil yang mereka naiki telah melaju di jalan raya kota, dan sudah tak jauh dari rumah Hannah.   “Tapi, energi gadis murni seperti dirimu, akan menjadi energi terbesar ketika seorang vampir berhasil menciummu di bawah gerhana.” Penjelasan Anneth masih berlanjut. “Yah, seperti seorang Max, yang sama sekali belum pernah berciuman seumur hidupnya. Dirimu akan menjadi pengisi energi terbaik untuknya,” cerocos Anneth sembari mengemudi.   Sementara itu, Hannah sudah sangat mengantuk, namun ia menghargai Anneth yang sedang bercerita sambil mengemudi mobil di sampingnya. Entah berapa jam mobil ini bergerak, yang pastinya ia sudah bersiap untuk diomeli oleh Mrs. Ferer karena pergi terlalu lama.   *   Jauh dari tempat Anneth dan Hannah, ada sepasang mata yang terus menatap mereka melalui ketajaman indranya. Dingin adalah sahabatnya, dia merengkuh seluruh udara yang berembus di sampingnya. Tak ada bulu-bulu yang berdiri karena rendahnya suhu, tak ada tubuh yang bergidik karena tiupan angin kencang, dia terlihat biasa saja. Berdiri kokoh di atas sebuah ranting yang nyaris patah.   “Max?” Sebuah suara memanggil makhluk yang sedang terfokus itu.   Tak ada keinginan untuk menoleh, dia tetap pada posisinya semula. Iris biru itu masih setia pada objek yang sedang diintainya sejak tadi.   “Apa kau mengincar gadis itu untuk malam gerhanamu yang ke-seribu?”   Pertanyaan tersebut berhasil menarik perhatian Max. Pria vampir itu menoleh, namun ia tak membalas perkataan lawan bicaranya. Yang ada hanya tatapan dingin yang sangat arogan.   “Jika kau berkata, Ya, maka aku akan berhenti menjadikannya sasaranku. Tapi jika tidak, biarkan aku yang menikmatinya, Max!”   Max tidak menjawab, seperti biasa rahangnya mengeras dengan iris mata yang mulai menghitam.   “Cih!” Lawan Max meremehkan.   “Satu ujung rambut kau sentuh Hannah! Aku jamin tidak akan ada lagi bulan yang bisa kau lihat, Edmund!” ancam Max sambil menarik kerah baju lawannya.   “Calm, Buddy!” Edmund berusaha tenang di tengah cengkeraman Max. “Kau tidak pernah membuatku takut meski dalam kondisi seperti ini!”   “Aku bukan menakut-nakuti! Hanya sekedar memberi tahu,” ujar Max masih dengan tatapan membunuhnya.   “Kau adalah makhluk ter-naif yang pernah ku temui sepanjang hidup. Ingatlah! Tidak akan pernah ada vampir yang bisa bertahan tanpa ciuman, suatu saat kau akan mengingikannya! Bukan hanya untuk mengisi energi, tapi juga untuk memenuhi nafsu binatangmu!” Edmund menyeringai memperlihatkan sebelah taringnya.   Max semakin mengeratkan cengkeramannya. “Hidupku itu bukan urusanmu!”   Edmund membuang ekor matanya ke samping dengan senyum khas yang merendahkan. “Jangan sok kuat! Aku sudah tahu kau semakin lemah,” gertak Edmund yang kali ini ia tatap bola Max dengan rona menantang.   “Aku akan membunuhmu jika kau sentuh Hannah!” Max mengancam balik pada Edmund.   “Ayo bunuh aku sekarang! Kau tak akan pernah bisa!” Edmund semakin nyalang dalam tatapannya.   Keduanya tak menunjukkan gentar satu sama lain. Max bukan pria vampir yang mudah terpancing emosinya, ia masih diam dan perlahan iris hitam itu mulai kembali membiru.   “Aku sedang tidak ingin membunuh sesama vampir. Kali ini kau selamat!” Max melonggarkan cengkeramannya. Dan hanya dengan waktu sepersekian detik, Edmund sudah tak ada lagi di tempatnya.   Max masih bisa menangkap bayang Edmund yang menjauh melalui ketajaman indranya. Bukan hanya perkataan Edmund, tapi banyak vampir di sekitarnya, ibunya, keluarganya, termasuk juga Anneth, meminta Max agar segera mengisi energi dari Dewa bulan. Terkadang desakan itu mampu membuat prinsip hidup Max menjadi goyah.   Pria vampir yang masih berdiri dengan kokoh di atas ranting itu, telah bertekad tidak akan merugikan manusia hanya untuk sekedar memberi ciuman pertamanya di bawah gerhana bulan. Dia memang merasakan jiwanya sedikit melemah, bahkan untuk membawa Hannah berlari dengan sangat cepat saat tadi ia ragu jika ia mampu, sehingga dengan terpaksa ia meminta bantuan Anneth.   Aura kegelapan dalam tubuhnya semakin merongrong menguasai dirinya karena ingin segera merasakan kekuatan bulan. Tapi dengan sekuat tenaga, pria vampir itu mengelak mengendalikan nafsu iblisnya, dia tidak mau merugikan seorang manusia. Karena setelah memberikan ciuman pertamanya di bawah gerhana untuk seorang vampir, maka manusia tersebut juga akan menjadi bagian dari vampir. Sama seperti yang dialami oleh ibunya dahulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN