BAB 6. Tak Seorang Pun

1956 Kata
BAB 6. Tak Seorang pun Brak brik bruk Suara langkah kaki Anneth bagai dentuman meriam yang menghantam lantai. Malam itu, ayah dan ibunya sedang duduk saling memberi energi di bawah cahaya bulan. Ya, mereka adalah pasangan suami istri vampir yang selalu berciuman setiap malam. Namun pertautan penuh energi dan gairah itu harus terhenti kala mereka menyadari jika satu penghuni lain rumah itu baru saja datang dengan suasana hati yang tidak baik-baik saja. Manik hijau itu saling bertatapan, kemudian sang pria mengedikkan bahunya, ia berniat untuk merengkuh leher istrinya lagi dan menghisap bibir sang istri yang sudah menjadi candu baginya. Namun, ibu dari Anneth itu menyingkirkan lengan suaminya. Manik matanya yang hijau langsung kembali menjadi biru. Hal itu membuat sang suami pun menurunkan libid0nya sehingga manik matanya juga menjadi kembali biru. “Honey ….” Suara teriakan itu diabaikan oleh orang yang ia panggil. “Apa yang terjadi, Nat?” Pria itu bertanya pada istrinya yang bernama Natalie. “Sepertinya, terjadi sesuatu pada putri kita,” jawab Natalie sambil terus berlari menuju ke kamar anak gadisnya. “Anneth, ini mommy. Buka pintunya!” pinta Natalie. Tak ada sahutan dari dalam. Bahkan Natalie pun tak bisa menjangkau pikiran putrinya. “Lucas, tolong buka pintu ini. Atau baca pikiran Anneth. Apa yang terjadi padanya? Aku tidak bisa menembus barrier yang ia buat.” Natalie mengeluh pada suaminya. Pada akhirnya, Lucas pun mencoba menuruti keinginan istrinya. Pria vampir yang terlihat paruh baya itu tampak memusatkan pikirannya untuk mencoba membaca pikiran anaknya yang berada dalam kamarnya. Namun …. Kriiieeet. Anneth membuka pintu kamar dengan sendirinya. “Tolong pergi! Aku benar-benar sedang ingin sendiri!” ujar Anneth dengan wajah sedihnya. Natalie memegang wajah putrinya dan membaca raut wajah Anneth. “Berhenti berusaha membaca pikiranku!” Anneth menepis tangan ibunya. “Mommy, khawatir padamu, Honey.” “Kalau kalian khawatir padaku, tolong pergi. Aku sedang tidak ingin diganggu!” keluh Anneth yang langsung berbalik meninggalkan kedua orang tuanya. “Apa ini karena Max?” Suara pria paruh baya yang menebak pikiran Anneth membuat gadis itu mematung dan merenungi ucapan ayahnya. “Dari mana daddy tahu?” Anneth memicingkan matanya curiga. Ia berpikir jika barrier yang ia pasang cukup kuat untuk diterobos orangtuanya. “Aku … hanya menebak.” Lucas gugup. “Aku benar-benar tidak membaca pikiranmu.” Anneth tidak peduli dengan yang dikatakan Lucas. Ia pun langsung masuk ke dalam kamar dan meninggalkan kedua orangtuanya yang masih berdiri di depan kamarnya. Kemudian, Lucas dan Natalie kembali bertatapan. “Sepertinya anak kita jatuh cinta pada pria vampir yang belum pernah berciuman itu,” tukas Natalie. “Kau benar. Aku pun berpikir seperti itu,” ujar Lucas sambil meninggalkan pintu kamar putri semata wayangnya. Lain dengan Lucas, sebagai seorang ibu, Natalie merasa peduli pada putrinya. “Anneth ….” Natalie melangkah pada kamar putrinya yang pintunya tak tertutup itu. Ia dapat melihat Anneth yang sedang berbaring telungkup dan menyembunyikan wajah pada bantal. “Dear … apa yang terjadi?” Anneth tak bersuara, ia masih setia dengan bantal yang bersinggungan dengan wajahnya. “Apa kau menyukai Max?” tanya Natalie langsung pada intinya. Anneth langsung mendongak begitu mendengar ucapan mommy-nya. “Bukan seperti itu. Aku hanya kesal padanya.” Natalie pun tersenyum. “Apa yang membuatmu kesal pada Max?” Anneth diam beberapa jenak, menghirup dan mengembuskan kembali napasnya yang dingin. Baru kemudian ia menjawab pertanyaan ibunya. “Max jatuh cinta pada seorang gadis. Dia manusia. Namun Max enggan menciumnya!” Natalie mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kau cemburu pada gadis manusia itu?” “No!” Anneth langsung mengelak dengan suara yang agak kencang. “ That was impossible, Mommy!” marah Anneth pada tebakan mommy-nya. “Tidak perlu marah jika itu tidak benar.” Natalie tersenyum penuh pengertian. Padahal dengan sikap Anneth yang seperti itu, hal tersebut semakin memperlihatkan jika Anneth menyukai sepupunya yang bernama Max itu. Anneth semakin memberingsut. “Kalau begitu mommy keluarlah! Aku masih ingin sendiri!” “Baiklah, Mommy akan keluar.” * Sementara itu, pada rumah yang lain di Southland Village. “Aku mencium bau Black Blood. Apa yang terjadi?” Seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam panjang, menyambut kedatangan Max dengan pertanyaan. Namun pria tampan dari ras vampir itu langsung menjauh tanpa mau menjawab pertanyaan tersebut. “Apa perlu aku yang mencarikan manusia murni untukmu? Yah … walaupun manusia murni di usia remaja saat ini semakin sulit untuk ditemui.” Max mengabaikan ocehan itu tanpa berusaha sedikitpun mendengarnya. “Tapi … hawa manusia murni tercium dari tubuhmu. Kau sedang mendekatinya, Max?” Max masuk ke dalam kamarnya dan menutup kembali pintunya tanpa mengizinkan siapapun untuk masuk ke sana. Melepas kaus yang menempel di tubuhnya. Ia menatap percikan black blood yang cukup banyak pada kaus tersebut. Ia merasakan seakan ada lubang di dalam dadanya. Sedikit ia menekan dadanya yang tidak tertutupi pakaian, Max merasakan rasa sakit yang luar biasa. “Sepertinya aku terlalu memaksakan diri,” gumamnya tanpa disertai rasa sesal. Max berjalan ke arah kamar mandi, punggungnya terlihat begitu tegap dari belakang. Dengan warna kulit yang putih pucat, otot-otot itu membentuk sempurna di seluruh tubuhnya. Meskipun ia merasakan sakit yang luar biasa di dalam tubuhnya, namun di luar tubuhnya masih terlihat sangat indah dan sempurna. Tubuh dambaan bagi seluruh pria di muka bumi. Menuangkan sabun dengan aroma woody ke telapak tangan, Max membusakannya dan kemudian membasuh seluruh tubuhnya di bawah shower. Dalam guyuran shower, manik matanya berubah menjadi hijau dan suhu tubuhnya menjadi hangat. Max mematikan air dingin yang mengguyur dari shower. Dengan bertumpu menggunakan telapak tangan kanan yang menempel di dinding, Max terengah-engah. Bayangan Hannah, memenuhi pikirannya. Bagaimana ketika gadis itu terpejam sambil membuka sedikit bibir ranumnya di depan Max. Kejadian di dalam mobil itu berputar-putar dalam kepala Max. “Apa yang terjadi dalam pikiranku?” Max sendiri tidak paham dengan bagaimana otaknya mulai bekerja. Semenjak ia mengenal Hannah dan bau gadis itu terus menerus mengikuti indra penciumannya, ia benar-benar merasa terganggu dengan kehadirannya. Namun gangguan itu lama-lama menjadi sesuatu yang selalu ia tunggu-tunggu dan semakin ingin melibatkan diri dengannya. Bagaimana ketika Max selalu berusaha menutupi bau Hannah agar tidak tercium oleh vampir lain. Hingga ada satu momen di mana ia lengah, sehingga bau Hannah tercium oleh Edmund dan membuat gadis itu berada dalam bahaya karena menjadi incaran Edmund. Bukan hanya sekedar lengah, sebenarnya Max yang semakin lemah. Sehingga ia tidak bisa memperkuat barrier-nya untuk melindungi Hannah. Hingga pada malam gerhana beberapa hari yang lalu, Edmund berhasil membawa Hannah dan hampir menciumnya. Beruntungnya, Max berhasil menemukan mereka dan menggagalkan rencana Edmund. Namun masalah muncul lagi bagi Max, karena Hannah mulai menyadari jika Max menolong dirinya. “Haaaa … haaaa … haaaa ….” Max terengah-engah saat ia berusaha menguasai pikirannya agar tidak semakin dikuasai oleh ingatannya tentang Hannah yang hendak menyerahkan ciumannya. Sungguh hal ini juga cukup menguras energinya. Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya manik mata Max kembali menjadi berwarna biru. Ia berhasil menguasai dirinya kembali. Kejadian ini adalah hal baru baginya. Sebelumnya ia tak pernah sama sekali berusaha untuk mencium seseorang, baik itu vampir maupun manusia. Sensasi dan gelenyar aneh yang tiba-tiba mendebarkan dadanya saat ia bersama dengan Hannah tadi, merupakan sesuatu yang baru baginya. “Apa menyenangkan bermain solo?” Wanita berambut panjang tadi, sudah berada di dalam kamar Max begitu ia selesai mandi. “Mom! Kenapa kau bisa masuk?” Max tiba-tiba membentak pada ibunya yang masuk ke kamarnya tanpa seizinnya. “Rumah ini milikku, aku bebas ingin masuk ke ruangan mana saja yang aku inginkan.” Max mendecak sebal. Ia mengambil baju dan kembali masuk ke dalam kamar mandi. “Kesempatanmu memang tinggal dua gerhana lagi, Max. Tapi apa yang terjadi padamu dengan gadis murni itu tidak bisa kau abaikan begitu saja. Dalam dua hari, aku yakin kau tidak akan bisa untuk tidak mengambil ciuman pertama gadis itu. Dia adalah gadis murni dengan bau yang sangat menarik bagi bangsa vampir seperti kita, sementara kau … adalah vampir yang membutuhkan ciuman karena kau tidak pernah berciuman sebelumnya. Dia bagaikan air jernih yang mengalir di padang gersang, sementara kau adalah musafir di gurun sahara. Kalian adalah dua kutub magnet yang saling berlainan, mustahil untuk tidak saling tertarik satu sama lain.” Brak! Max membanting pintu kamar mandi dan menatap sinis pada wanita yang sedang menceramahinya itu. Ia keluar dari kamar mandi dalam keadaan sudah berpakaian. “Aku bisa membaca pikiranmu dengan mudah, aku tahu kau tak bisa begitu saja melupakannya …,” bisik wanita itu dan hal tersebut membuat Max langsung pergi dari kamarnya. * “Anneth … Anneth …! Mau pergi ke mana?” Natalie berteriak saat putrinya sedang berlari hendak keluar rumah tengah malam. Anneth tak menggubris kata-kata ibunya, ia terus membuka pintu dan ke luar dari rumah tersebut. “Lucas! Anakmu pergi dari rumah larut malam, kenapa kau hanya sibuk bergumul dengan cerutu!” Natalie merasa kesal pada suaminya. “Sayang … tenanglah. Anakmu itu vampir dewasa, dia bisa menjaga dirinya.” Lucas nampak tenang dengan semua ocehan istrinya. “Tapi ini sudah larut malam. Ayolah, kau kejar dia!” Natalie terdengar sangat cerewet di telinga Lucas. Hingga akhirnya pria vampir paruh baya itu menyimpan cerutunya. “Kau mulai terdengar seperti manusia!” “Lucas! Aku tidak mau tau! Kejar Anneth dan jangan pulang sebelum kaubawa dia ke mari!” Lucas menghela napas panjang. Istrinya yang suka memerintah itu memang selalu seperti itu. Akhirnya Lucas pun mengalah dan pergi ke luar rumah untuk mencari putri semata wayangnya, Anneth. “Anneth …! Anneth …!” teriak Lucas memanggil-manggil putrinya yang berlari. Punggung Anneth masih ada dalam jangkauan pandangnya. Ia mempercepat langkah kakinya hingga lengan gadis itu berhasil ia raih. “Daddy!” protes Anneth sambil membanting tangan Lucas. “Berhenti, kau mau ke mana? Mommy –mu mengomeliku dan memintamu untuk pulang.” “Kembalilah, Dad! Kau tak perlu ikut campur urusanku!” Lucas menghela napasnya dengan kasar, ia meraih kembali tangan putri semata wayangnya. “Kalau mommy-mu tidak memintaku, aku tidak akan menjemputmu.” Anneth diam tak menjawab, dalam pikirannya benar-benar kalut. Ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan. “Kau mau pergi ke rumah Max dan mencium laki-laki itu?” tebak Lucas yang langsung membuat pipi Anneth memerah. Kembang kempis dadaa Anneth yang menunjukkan ia sedang kelelahan. Apalagi daddy-nya ini berhasil menebak apa yang ada dalam pikirannya. Anneth tak mampu lagi berkata-kata. “Dengar, honey. Daddy tau kau mencintai Max.” “Aku tidak mencintainya …,” elak Anneth dalam suara bisiknya. “Baiklah, apapun perasaanmu pada Max, Daddy tau kau peduli padanya. Tapi … Daddy mohon, jangan korbankan dirimu untuk orang lain yang tidak memiliki perasaan yang sama sepertimu.” Anneth menunduk, ia tak berani menimpali ucapan Max. “Kau tau, vampir seperti Max, tidak bisa hanya berciuman dengan vampir biasa seperti kita. Tapi … harus manusia murni yang bisa mencium dan menolongnya.” “Aku sudah tau,” lirih Anneth. “Kalau kau tau, kenapa kau nekat ingin menciumnya?” tanya Lucas yang membuat Anneth membelalakkan matanya. “Tidak … aku tidak ingin ….” “Dengar, vampir biasa yang memaksa mencium Max, akan kehilangan energi dan ia akan mati sebagai gantinya.” Anneth membelalakkan matanya. Ia baru paham ada fakta semacam ini. Ia pikir, jika dirinya mencium Max, bisa menolong pria vampir itu walau beberapa saat. Ia juga berpikir, tak apa jika dirinya harus berciuman dengan Max setiap malam seperti yang dilakukan oleh orangtuanya, yang saling mengisi energi setiap malam. “Jika Max tidak akan menghisap energi vampir yang menciumnya, mungkin ayah yang akan menolongnya dan menciumnya dari dulu,” gurau Lucas yang membuat Anneth semakin sebal. “Kalau begitu, aku harus pergi dan beritahu Hannah!” ungkap Anneth keras kepala dalam keputus asaannya. “Untuk apa?” “Hannah harus mencium Max!” * Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN