10. Harus Balik Kota

1035 Kata
Yudha mengusap kasar wajahnya. "Jadi ... minggu depan gue sudah harus balik kota? Apa nggak bisa ditawar lagi? Gue ikhlas jabatan CEO gue ... elu handel, Abdul!" Wildan berdecak. "Ogah! Gue belum kawin. Males gue berpusing-pusing ngurusin semua kerjaan elu. Asal elu tau, Bar. Tiga bulan gantiin elu, kepala gue botak sebagian. Bagaimana jika lebih lama lagi. Bisa mati berdiri gue." "Tapi gaji dan bonus yang elu terima sepadan dengan kerjaan yang gue berikan." Wildan mengangkat kedua tangan. "Gue nyerah dan lebih baik gue jadi kacungnya elu aja. Lebih fleksibel waktu kerjanya. Palingan yang marah-marahin gue cuma elu doang. Lah, kalau jadi CEO, perasaan napas aja udah salah. Kena marah sana sini. Sampai-sampai gue trauma setiap pagi. Tiap bangun dari tidur, kepala gue langsung pening." "Jangan lebai! Perasaan selama ini, gue baik-baik aja. Enggak se-mengenaskan cerita elu." "Ya itu elu. Udah, pokoknya gue cuma nyampein mandat dari bos besar. Urusan elu mau balik atau kagak ... bukan ranah gue lagi." Yudha berdecak. Tentu saja dia pusing karena harus melibatkan Alina dalam hal ini. Tidak mungkin tiba-tiba dia ngaku ke Alina kalau sebenarnya dia adalah orang kaya. Dipikirnya Alina, selama ini dia hanya mainin perasaan orang saja. Jadi sekarang Yudha sedang berpikir keras mencari cara, juga entah kebohongan seperti apa lagi yang akan dia ciptakan untuk mengelabuhi istrinya. "Dari tadi kakek dengar kalian ribut terus. Ada apa? Kamu ini, Wil. Datang-datang kayaknya mau bikin huru hara. Tuh, buktinya Bara sampe kelihatan stres berat." Kakek Guna datang dan ikut bergabung dengan dua orang anak muda yang sedang terlibat perdebatan. "Tau tuh cucu kakek. Udah kadung betah tinggal di desa. Enggak mau balik kota. Pasti karena Alina." Wildan mulai mengadu. Mata Yudha mendelik tidak suka karena Wildan malah menyangkut pautkan Alina segala. Apapun yang ada kaitannya dengan Alina, Yudha merasa terusik dan entah kenapa bisa begitu. "Padahal ya, Kek. Dia tinggal bawa Alina ikutan pindah, selesai urusannya." Wildan kembali melanjutkan. "Lu ngomongnya doang mudah. Ngejalaninya yang susah. Gue enggak yakin Alina bakal mau ikut gue. Secara ... dia punya ibu yang seorang janda. Mana mungkin tega dia tinggalkan begitu saja." Yudha mulai berasumsi sendiri. "Ya udah tinggal elu angkut semua, anak dan emaknya sekalian. Aduh!" Wildan memekik karena pukulan Yudha di kepalanya. "Mending elu diem. Malah bikin gue pusing kepala." Kakek Guna geleng-geleng kepala melihat pertikaian keduanya. Sudah hal yang biasa ketika Wildan dan Yudha bertemu, maka bagaikan Tom dan Jerry yang terus meributkan segala macam hal. Demi kenyamanan bersama, kakek Guna ikutan bicara. "Asal kamu tahu, Wil. Istrinya Bara itu tidak tahu kalau Bara sebenarnya kaya raya. Alina taunya si Bara hanyalah buruh pabrik biasa." "Serius, Kek? Wah, pantesan tadi gue lihat ada yang beda dari penampilan Bara. Gue pikir elu memang sengaja menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dengan berpakaian biasa agar tidak mencolok. Rupanya elu lagi nyamar jadi gembel betulan?" "Sialan lu!" Untuk kali sekian Yudha melakukan kekerasan fisik pada Wildan karena mulut asistennya itu tidak ada saringan. "Sudah ... sudah kalian ini ribut terus." "Dia itu yang resek, kek!" Kesal Yudha. "Sudah, Wil. Kamu ikuti saja permainan Bara. Kakek dan Nenek juga di sini hidup sederhana jadi orang biasa saja." Wildan garuk-garuk kepala. Merasa aneh dengan sandiwara orang kaya. "Gabutnya orang kaya beda, ya, Kek?" Dan Kakek Guna hanya tertawa. "Sebaiknya kamu istirahat sana. Sudah malam. Pasti kamu juga capek tadi nyetir sendirian. Dan kamu Bara. Pesan Kakek, sebaiknya mulai dari sekarang kamu harus bicara pada Alina tentang rencana kepulanganmu ke kota. Karena perusahaan juga butuh kamu. Tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar untuk kamu tinggalkan. Kasian Ayah kamu jika harus menghandle semuanya." "Iya, Kek." "Apapun yang terjadi ... ini sudah menjadi konsekuensi atas kebohonganmu selama ini." "Ck, aku juga yang kena getahnya. Padahal Ayah yang mengatur sandiwara ini " "Sudah sana kamu pulang. Kasihan Alina nungguin kamu." "Iya." Yudha berdiri dan hendak meninggalkan rumah sang kakek. Tapi lekas dicegah oleh Wildan. "Tunggu, bos. Ini ada banyak berkas yang sengaja gue bawa. Cek dan tandatangani. Kalau besok gue balik, semua berkas itu sudah harus ready." "Yang bos di sini elu apa gue?" "Ya elu. Tapi kan sekarang gue yang nyamar jadi bos." "Sialan!" Yudha mengambil alih setumpuk dokumen dari tangan Wildan lalu pergi meninggalkan rumah Kakek Guna. *** Masuk ke dalam kamar, Yudha pikir istrinya sudah tidur. Rupanya belum. Yudha meletakkan berkas di atas meja, lalu memperhatikan Alina yang duduk bersila di atas ranjang memangku Ipad-nya. Akhir-akhir ini Yudha memang merasa penasaran dengan kesibukan Alina yang dia sendiri tak tahu apa yang tengah dikerjakan istrinya itu. Betapa tidak, jika Alina yang hanya gadis desa, tapi mampu membeli ipad dan gadget mahal. Namun, Yudha menepis semua pemikirannya dan mencoba berpikir positif. Bisa jadi kan ipad juga iphone-nya dibeli sudah bekas. Atau mungkin dia beli barang kw? Serah dia lah. Beli pakai duit dia sendiri juga. Yudha mendekati ranjang dan Alina meletakkan ipad di atas meja. Selalu begitu. Acapkali Yudha ingin bertanya, Alina selalu mengakhiri pekerjaannya dan tidak memberikan kesempatan padanya untuk melihat apa yang sedang perempuan itu kerjakan. Seperti halnya malam ini. Yudha iseng bertanya. "Lagi sibuk?" Alina justru menggelengkan kepalanya. "Tidak. Hanya main game sambil nunggu Mas Yudha pulang." "Oh," jawab Yudha manggut-manggut. Tak tau saja Yudha jika Alina sedang berusaha untuk tetap tenang. Karena Alina belum ingin Yudha tahu apa pekerjaannya sekarang karena perempuan itu takut andai kata Yudha insecure dengannya. Karena kebanyakan jika lelaki tahu bahwa istrinya lebih hebat dan memiliki penghasilan yang lebih besar maka mereka kaum adam banyak yang tidak terima. Yudha duduk di tepi ranjang. Pria itu tengah dilanda kebingungan dan gugup harus mulai dari mana mengatakan soalan rencana kembalinya dia ke kota minggu depan. "Mas Yudha. Apa ada yang ini disampaikan ke saya? Kok, kelihatannya gugup begitu? Katakan saja. Saya akan dengarkan." Yudha menyugar rambutnya. Melihat hal demikian, jantung Alina sudah tak mampu dikondisikan. Jedag jedug tidak karuan. Sayangnya, suaminya itu tidak peka. Bagaimana mungkin ada lelaki yang bahkan tidak ada inisiatif untuk mengajaknya begituan padahal sudah tiga minggu menikah. Alina jadi kepikiran apa mungkin suaminya ini tidak suka perempuan. Terbukti dari tidak pedulinya Yudha dari setiap godaan para wanita. "Alin. Kamu ngelamun?" tanya Yudha membuat Alina tergagap dengan mengerjabkan matanya. "Hah! Apa, Mas? Mas Yudha tadi bicara apa?" Yudha mengembuskan napas panjang. "Minggu depan aku harus balik ke kota."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN